Menu Close

Yang tidak kalah penting dari isu kepulangan simpatisan ISIS: mengawasi arus keuangan mereka

AAP

Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk tidak memulangkan warga negara Indonesia yang diketahui telah bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Setelah ISIS mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pada 2014 - hingga dikalahkan oleh koalisi militer multinasional pada 2017 - lebih dari 30.000 orang dari 85 negara, termasuk Indonesia, bergabung menjadi anggota kekhalifahan negara Islam (IS) untuk wilayah Suriah dan Irak.

Saat ini, ISIS telah berhasil diusir dari Suriah dan Irak, namun 689 warga Indonesia, termasuk teroris lintas batas (foreign terrorist fighter/FTF), masih terdampar di berbagai negara termasuk Suriah, Afganistan, dan Turki.

Saat ini masih panas diperdebatkan apakah kebijakan untuk tidak memulangkan para pejuang teroris tersebut adalah langkah yang tepat untuk mengatasi ekstremisme kekerasan di Indonesia.

Namun demikian, perlu tinjauan lebih mendalam terkait bagaimana anggota ISIS ini mulanya sanggup dan mampu berangkat ke Suriah, dan strategi apa yang harus disiapkan pemerintah ketika kelompok ini kembali ke Indonesia (baik secara legal maupun tidak).

Saya melakukan riset tentang pendanaan terorisme dan memandang perlu adanya kebijakan yang lebih kuat untuk mengawasi aliran keuangan para simpatisan ISIS untuk melemahkan kemampuan mereka menghimpun dana dalam melakukan tindakan ekstrem pada masa datang.

Berangkat ke Suriah

Terkait pembiayaan hijrah mereka ke Suriah, saya mengidentifikasi tiga tipe strategi pendanaan: swadaya, dengan dukungan keluarga, dan bantuan dari kelompok.

Salah satu contoh kasus pendanaan swadaya adalah Dwi Djoko Wiwoho, mantan pegawai negeri sipil yang memutuskan untuk bergabung dengan IS pada 2015 dan menggunakan tabungannya untuk membiayai perjalanan dirinya dan keluarga ke Suriah.

Dwi diketahui menjual rumahnya sendiri yang bernilai Rp500 juta dan menyerahkan Rp 325 juta ke Iman Santosa, alias Abu Umar, seorang ustaz yang menyatakan dukungannya kepada ISIS dan terhubung dengan kelompok di Suriah. Dana tersebut digunakan untuk membiayai akomodasi, dokumen perjalanan, dan transportasi selama perjalanan hijrah ke Suriah pada Juli 2015.

Di Suriah, Dwi bergabung dalam pelatihan militer sampai kemudian ia dideportasi kembali ke Indonesia pada Agustus 2017 dan ditahan. Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan hukuman pidana tiga tahun penjara terhadap Dwi terkait dakwaan kejahatan pendanaan terorisme.

Selain Dwi, Syahrul Munif merupakan FTF yang menggunakan uang hasil usaha penjualan buku untuk membiayai perjalanan ke Suriah pada Maret 2014.

Syahrul berhasil kembali ke Indonesia setelah menghabiskan waktu enam bulan di Suriah. Pada awal tahun 2017, polisi menangkap Syahrul di rumah kontrakan di Malang, Jawa Timur. Pada 2018, Syahrul dijatuhi hukuman pidana tiga tahun penjara atas dakwaan memproduksi video propaganda dan perencanaan sejumlah serangan di Indonesia.

Pada periode 2017-2018, Mohammad Okasa, mentransfer dana hingga Rp 60 juta ke saudara laki-lakinya, Ade Rahmat dan Mohamad Irsya, yang telah lebih dulu bergabung dengan IS di Suriah. Dengan menggunakan identitas Ade Rahmat, Okasa berhasil menarik dana Jamsostek atas nama saudaranya tersebut dan melakukan pengiriman uang melalui sejumlah perantara hingga dana tersebut diterima oleh Ade Rahmat di Suriah.

Selain menggunakan teknik swadaya dan mendapatkan dukungan dana dari anggota keluarga, beberapa kasus lain menunjukkan strategi pendanaan dengan memanfaatkan bantuan uang dari jejaring kelompok teroris domestik dan asing.

Pada 2015, Gigih Rahmat Dewa dan kelompoknya, Khatibah Gonggong Rebus, berhasil memberangkatkan sejumlah pejuang teroris ke Suriah dengan menyediakan tempat transit, membantu pengurusan dokumen imigrasi, mengelola agen perjalananan, serta bertindak sebagai perantara di Turki dan Suriah.

Gigih adalah bagian dari kelompok militan Indonesia pimpinan Bahrun Naim yang telah merencanakan beberapa serangan teroris di Indonesia. Publik mengenal Gigih sebagai tokoh penting dalam rencana peluncuran serangan roket terhadap Marina Bay di Singapura.

Pada 2017, Deny Hariansyah Putra ditangkap dengan tuduhan membantu pejuang teroris yang akan berangkat ke Suriah.

FTF teroris lain, Muhammad Iqbal Ramadhan, yang menyatakan diri bergabung dengan Jemaah Islamiyah - organisasi teroris yang memiliki tujuan untuk mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara, menerima dana yang kemudian digunakan untuk mendanai keberangkatannya ke Suriah melalui rute Jakarta - Vietnam - Turki. Diduga kuat bahwa dana tersebut bersumber dari anggota kelompok Jemaah Islamiyah.

Pengawasan terhadap keuangan pejuang teroris

Pasangan suami-istri, Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani, anggota kelompok teroris terkait ISIS bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kembali ke Indonesia dari Suriah pada 2017, dan kemudian terlibat serangan bom bunuh diri di sebuah gereja Katedral di Jolo, Filipina, pada Januari tahun lalu.

Pasangan ini mencoba hijrah ke Suriah, namun mereka dideportasi oleh otoritas Turki kembali ke Indonesia pada Januari 2017. Mereka kemudian menjalani program rehabilitasi yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama satu bulan, sebelum akhirnya mereka kembali ke rumah mereka di Sulawesi Selatan dan bekerja sebagai penjual makanan.

Namun pada Desember 2018, mereka berhasil berangkat ke Filipina dan bertemu dengan pimpinan kelompok Abu Sayyaf serta jaringan teroris yang terafiliasi dengan ISIS. Kelompok Abu Sayyaf adalah kelompok teroris yang berbasis di Filipina selatan dan juga bertujuan mendirikan khilafah.

Tidak diketahui apakah ada program pengawasan terhadap keuangan pasangan tersebut hingga akhirnya mereka mampu berangkat ke Filipina melalui Malaysia pada 2019.

Kasus lain yang melibatkan Ahmed Musto, seorang warga negara Bulgaria yang kembali dari Suriah pada 2016, memberikan gambaran risiko lain terkait isu kembalinya militan IS ke negara asal.

Setelah kembali, Ahmed Musto membangun bisnis pemrosesan tembakau hingga kemudian uang hasil penjualan produk tersebut dikirimkan ke kelompok ISIS di Suriah dengan menggunakan layanan hawala, jasa keuangan tidak resmi yang kerap dimanfaatkan oleh kelompok kriminal untuk mencuci uang hasil kejahatan.

Dengan demikian, terdapat risiko-risiko yang akan timbul dalam upaya memulangkan mantan pejuang teroris ISIS dan keluarga mereka termasuk adanya kemungkinan mereka menjadi lebih radikal setelah menerima pelatihan militer, indoktrinasi, dan menjalin hubungan sosial yang kuat dengan para pejuang asing lainnya di medan perang.

Keahlian dalam berbahasa inggris, indoktrinasi, dan keahlian dalam IT, merupakan keterampilan baru yang mereka peroleh untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas dari para simpatisan dan masyarakat khususnya di sosial media dan internet.

Analisis saya memperkirakan bahwa mantan pejuang teroris sangat berpotensi untuk menghimpun dana dengan menggunakan kekuatan jejaring sosial. Mereka mampu mengumpulkan uang baik untuk mendukung kelompok ISIS atau pun menolong kelompok radikal lokal untuk merekrut lebih banyak lagi anggota dan simpatisan, bahkan perencanaan pendanaan untuk melakukan serangan yang dilakukan oleh jejaring teroris lain.

Pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan yang lebih kuat dalam rangka menangani risiko dan ancaman sebagaimana tersebut di atas.

Selain peningkatan strategi dalam bidang deradikalisasi dan disengagement untuk mantan pejuang dan keluarganya, penting juga untuk mengembangkan kebijakan anti-pendanaan terorisme.

Dalam rangka memperkuat penerapan Undang-Undang Anti Pendanaan Terorisme, perlu dibangun database daftar pemantauan para mantan pejuang teroris, keluarga, dan teroris. Ini merupakan langkah penting dalam upaya mengawasi aliran pendanaan untuk tujuan terorisme.

Dengan mempertimbangkan adanya potensi penyalahgunaan donasi untuk kegiatan terorisme, pemerintah juga perlu mengadakan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran publik dalam memberikan donasi sukarela ke kelompok-kelompok tertentu, khususnya terkait penghimpunan dana untuk masyarakat di daerah konflik. Dalam hal ini, adanya kemungkinan bahwa uang tidak sampai pada mereka yang seharusnya menerima bantuan yaitu korban, namun justru diberikan kepada kelompok radikal.

Peningkatan pengawasan perbatasan dan sistem integritas keuangan juga merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati lebih lanjut.

Dengan demikian, pertukaran informasi dan koordinasi strategis di antara lembaga-lembaga berwenang seperti penyidik, pengawas keuangan, lembaga intelijen keuangan, sektor swasta dan kementerian terkait yang berkepentingan dalam mengelola data informasi publik, menjadi langkah penting dalam mengatasi ancaman yang akan timbul akibat adanya gelombang kembalinya para mantan pejuang teroris ke Indonesia.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now