Menu Close

Polemik RUU Penyiaran: kebebasan pers indonesia terancam?

Rancangan revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran mendapat kritik tajam dari masyarakat. Revisi yang awalnya diharapkan akan menciptakan keadilan bagi industri penyiaran di era kemunculan media-media digital baru, kini justru dikhawatirkan akan mengancam kebebasan pers.

Salah satu yang menjadi kontroversi adalah larangan menayangkan konten eksklusif investigasi, yang tercantum dalam Pasal 50B ayat 2.

Selain jurnalistik investigasi, ada 10 jenis siaran dan konten yang juga dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah Standar Isi Siaran (SIS). Di antaranya adalah larangan menayangkan konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta manipulasi negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.

Apakah draft RUU Penyiaran ini mengancam kebebasan pers di Indonesia?

Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Wisnu Prasetya Utomo, dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Wisnu mengatakan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan RUU Penyiaran ini, yaitu definisi penyiaran yang diperluas, larangan jurnalistik investigasi, dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menindaklanjuti permasalahan jurnalistik.

Dalam pembahasan mengenai definisi penyiaran, Wisnu menyuarakan kekhawatirannya terhadap alur logika RUU Penyiaran yang berusaha memperluas definisi penyiaran hingga mencakup dunia maya.

Ia menambahkan bahwa dengan diperluasnya definisi penyiaran ini, ada potensi ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di platform digital, terutama dengan banyaknya media alternatif baru yang bermunculan. Wisnu juga mencemaskan bahwa aturan ini bisa menargetkan User-Generated Content, yang pada akhirnya dapat menghambat kebebasan berekspresi publik.

Lebih lanjut, ketika membahas tentang larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi, Wisnu mengatakan pasal itu bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers.

Wisnu juga menyoroti perluasan kewenangan KPI dalam RUU penyiaran. Menurutnya, aturan ini berpotensi memberikan wewenang yang terlalu besar terhadap KPI dan di saat yang bersamaan mengebiri Dewan Pers khususnya terkait sengketa jurnalistik yang mengancam independensi pers Indonesia.

Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 184,600 academics and researchers from 4,975 institutions.

Register now