Menu Close

2 tahun perang di Ukraina: disinformasi agama dan retorika antisemit menyelimuti narasi pro-Rusia di Indonesia

Tepat 24 Februari dua tahun yang lalu, Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina. PBB memperkirakan sudah lebih dari 27 ribu warga sipil menjadi korban, baik meninggal dunia maupun terluka, dan sekitar 10 juta orang terpaksa mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.

Hingga tulisan ini diterbitkan, perang masih berlanjut tanpa ada tanda-tanda akan segera berakhir. Meskipun perang ini diklaim berdampak secara ekonomi bagi Indonesia-setidaknya sempat disebut menjadi salah satu faktor kelangkaan pupuk dan minyak goreng-baik pemerintah maupun masyarakat tampaknya masih ragu-ragu mengecam Rusia dengan keras.

Calon presiden (capres) yang saat ini dinyatakan unggul versi hitung cepat dalam perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Prabowo Subianto, sempat mengajukan proposal yang ganjil untuk mengakhiri perang. Usulannya yang paling problematik adalah pembentukan zona demilitarisasi dan penyelenggaraan referendum, yang dianggap lebih mewakili kepentingan Rusia. Proposal ini mengabaikan fakta bahwa invasi Rusia merupakan pelanggaran kedaulatan dan kejahatan kemanusiaan.

Narasi pro-Rusia justru sangat populer di Indonesia. Alih-alih bersolidaritas dengan rakyat Ukraina yang dijajah, banyak warganet di media sosial yang justru secara terbuka menunjukkan simpati mereka kepada Rusia. Sebagian besar dari mereka menunjukkan kekaguman terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, tetapi mempersepsikan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan sangat negatif.

Saya dan tim melakukan survei terhadap 1.044 responden pada Juni 2022 untuk meneliti faktor-faktor psikologis yang menjelaskan dukungan terhadap narasi pro-Rusia ini. Survei tersebut menemukan bahwa narasi pro-Rusia berkaitan dengan keyakinan konspiratif antisemit (prasangka negatif atau kebencian terhadap orang Yahudi).

Mengapa demikian?

Kampanye disinformasi agama

Rusia gencar melakukan upaya penyebaran disinformasi yang menarget audiens internasional, termasuk Indonesia.

Presiden Rusia Vladimir Putin. Rokas Tenys/Shutterstock

Dalam perang modern, disinformasi berguna untuk menggalang dukungan dan rasa percaya, serta membelokkan dan menahan kritik dari masyarakat internasional.

Ekosistem disinformasi Rusia melibatkan beberapa kanal informasi. Beberapa di antaranya adalah siaran pers resmi pemerintah, media yang dikontrol negara, sumber-sumber proxy (perantara) yang tidak terkait langsung dengan pemerintah Rusia, dan penggunaan platform media sosial.

Yang paling ekstrem, Rusia juga terlibat aktivitas ilegal seperti peretasan, pencucian uang, dan pencurian identitas yang berkaitan dengan Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2016.

Merusak citra publik Zelenskyy biasanya menjadi inti dari kampanye disinformasi Rusia. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Rusia menggunakan latar belakang Zelenskyy sebagai seorang Yahudi dan mantan komedian untuk menciptakan narasi yang menyudutkan karakternya.

Menariknya, disinformasi Rusia yang paling populer di Indonesia hampir selalu mengandung unsur agama. Di antaranya adalah isu bahwa Putin telah memeluk agama Islam, pasukan Ukraina membakar Al-Quran, seorang komandan dari Republik Chechnya menyatakan bahwa invasi Ukraina adalah perang suci melawan Barat yang jahat, dan masih banyak lagi.

Inilah sebabnya mengapa latar belakang Zelenskyy sebagai seorang Yahudi sangat berguna bagi mesin disinformasi Rusia-komponen ini sangat ampuh untuk menghasut audiens di Indonesia. Dua contoh dari narasi ini adalah sebuah video TikTok yang viral dan sebuah tweet di X (dulunya Twitter) yang menyoroti latar belakang Zelenskyy. Komentar-komentar yang mengikutinya kebanyakan mendiskreditkan kompetensi Zelenskyy (“seorang pelawak bukan pemimpin”) dan karakternya (“orang Yahudi suka menipu dan pengecut”).

Retorika antisemit

Di Indonesia, persepsi publik tentang karakter Zelenskyy, anehnya, kerap bercampur dengan pandangan antisemit.

Memanfaatkan retorika antisemit untuk mempromosikan narasi pro-Rusia tampak tidak masuk akal, karena orang Yahudi di Indonesia adalah minoritas yang nyaris tak terlihat. Namun sepertinya keyakinan terhadap konspirasi antisemit tidak membutuhkan keberadaan fisik seorang Yahudi.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Stock Holm/Shutterstock

Survei yang kami lakukan mengukur beberapa variabel yaitu faktor kepribadian dan profil kognitif. Kami juga bertanya kepada para responden apakah mereka menginginkan seseorang yang “kuat” sebagai pemimpin dan bagaimana perasaan mereka terhadap Barat. Tentu saja, kami juga mengukur tingkat kepercayaan mereka terhadap teori konspirasi antisemit.

Temuan kami menunjukkan bahwa kepercayaan konspirasi antisemit memiliki hubungan kuat dengan kecenderungan untuk mendukung narasi pro-Rusia, jauh di atas variabel kepribadian atau profil kognitif yang secara teoritis terkait dengan sikap sosial dan politik yang ekstrem.

Hal ini tidak terlalu mengherankan. Kepercayaan konspirasi tentang Yahudi ternyata telah ada cukup lama di Indonesia. Kepercayaan ini awalnya diperkenalkan pada tahun 1950an oleh para ulama Islam yang pernah tinggal di Timur Tengah, kawasan yang kerap mempolitisasi retorika semacam ini.

Beberapa media cetak berbasis Islam, seperti Media Dakwah, Suara Hidayatullah, Sabili, dan Republika juga pernah memopulerkan narasi ini dari tahun 1980-an sampai 2000-an. Narasi antisemit juga ditemukan di sebuah manuskrip dari abad ke-17.

Keyakinan konspirasi antisemit juga rentan dipolitisasi. Salah satu contohnya adalah mantan Presiden Suharto yang menuduh konspirasi Yahudi global berperan dari balik layar untuk menjatuhkannya.

Namun, penting untuk dicatat bahwa kepercayaan konspirasi antisemit tidak boleh disamakan dengan gerakan antizionisme. Kepercayaan konspirasi antisemit merupakan prasangka ekstrem, dan tanpa disertai bukti, yang meyakini bahwa orang-orang Yahudi secara diam-diam berkonspirasi untuk mengendalikan dunia, sementara antizionisme bertujuan untuk memprotes dan menentang eksistensi negara Israel.

Keinginan untuk dipimpin “orang yang kuat” juga menjelaskan kecenderungan mempercayai narasi pro-Rusia, tetapi ukuran korelasinya hampir empat kali lebih kecil daripada kepercayaan konspirasi antisemit.

Dengan demikian, tidak heran jika orang yang percaya pada teori konspirasi antisemit cenderung cepat terhubung dengan narasi pro-Rusia.

Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian ini bersifat korelasional, dan dengan demikian, hubungan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai hubungan sebab-akibat.

Solidaritas untuk menggalang dukungan publik

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengoreksi keyakinan yang salah ini?

Disinformasi memang sangat sulit dikoreksi. Mengoreksi kepercayaan konspirasi bahkan lebih rumit, dan teknik intervensi yang saat ini tersedia bisa dikatakan nyaris tidak efektif.

Namun, masih ada harapan.

Sepanjang sejarah, masyarakat Indonesia selalu berdiri membela mereka yang tertindas. Ini misalnya terlihat dari bagaimana masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas untuk rakyat Palestina.

Aksi damai solidaritas untuk rakyat Ukraina di Jakarta. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Perlu dicatat bahwa saya tidak bermaksud menyamakan genosida Palestina dengan invasi Ukraina. Kedua krisis kemanusiaan ini memiliki konteks yang sangat berbeda.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah menemukan kesamaan dengan orang-orang Ukraina, dan itu tidak mudah. Kebanyakan orang Indonesia mungkin tidak pernah mendengar tentang Ukraina sampai perang dimulai.

Di sisi lain, orang Indonesia dapat dengan mudah mengekspresikan solidaritas dengan Palestina karena memeluk agama yang sama. Nilai-nilai dan identitas yang sama adalah sarana yang ampuh untuk membangun rasa percaya, mendorong kita untuk saling menyapa, dan menunjukkan solidaritas.

Masyarakat Indonesia perlu mengetahui bahwa invasi ini juga berdampak pada Muslim Ukraina. Di saat Rusia menggunakan figur pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov untuk menggalang dukungan dari negara-negara Muslim, kelompok Muslim Tatar di Krimea dan Chechnya mengangkat senjata untuk mempertahankan Ukraina sebagai tanah air mereka.

Singkatnya, karena umat Islam berperang di kedua belah pihak, menekankan solidaritas universal dengan semua orang yang tertindas mungkin dapat membantu untuk menggalang dukungan publik untuk mewujudkan perdamaian di Ukraina.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now