Menu Close
Aksi akbar bela Palestina di Monas, Jakarta. Rifqi Raihan Firdaus/Antara Foto

4 penjelasan psikologis terjadinya aksi solidaritas kolektif bela Palestina: bukan hanya tentang agama

Konflik yang terjadi di Jalur Gaza antara pemerintah Israel dan organisasi Hamas asal Palestina telah menjadi perhatian dunia dalam sebulan terakhir ini.

Di Indonesia, pada 5 November 2023 lalu, ratusan ribu masyarakat dari berbagai daerah dan kalangan, termasuk jajaran petinggi negara dan tokoh masyarakat, menghadiri Aksi Akbar Bela Palestina di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Mereka menyerukan dukungan untuk Palestina dan menyuarakan harapan agar pemerintah Indonesia menunjukkan langkah konkret untuk mendorong perdamaian.

Sebelum konflik kali ini, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa membela Palestina berlandaskan pada kesamaan identitas agama, yaitu Islam. Ini karena dalam hampir setiap aksi, persoalan identitas seringkali diyakini sebagai aspek utama yang mengobarkan semangat beraksi.

Faktanya, aksi bela Palestina di Indonesia ini tidak hanya melibatkan umat Islam dan organisasi Muslim, tetapi juga berbagai organisasi dan masyarakat lintas agama. Aksi serupa juga terjadi di berbagai negara yang mayoritasnya non-Muslim.

Di Sri Lanka, contohnya, umat Buddha yang merupakan mayoritas melakukan aksi protes di ibukota Colombo atas penyerangan Israel di Gaza. Di berbagai negara bagian di Amerika Serikat (AS), negara yang sikap pemerintahnya jelas mendukung penuh Israel, masyarakat lintas agama turun ke jalan untuk mendukung Palestina, serta memprotes sikap Presiden AS Joe Biden.

Di Inggris, yang juga sekutu Israel, puluhan ribu warga dari berbagai kota, termasuk London, melakukan aksi protes serupa untuk mendukung Palestina dan menuntut gencatan senjata. Solidaritas terhadap Palestina bahkan disuarakan oleh Jewish Voice for Peace, organisasi komunitas Yahudi pendukung pembebasan Palestina.

Aksi-aksi tersebut menunjukkan adanya fenomena solidaritas kolektif, yang menjadi bukti bahwa membela Palestina kini tidak hanya dilandasi oleh kesamaan identitas semata.

Studi-studi psikologi sosial memang menyebutkan bahwa isu identitas menjadi penggerak aksi kolektif yang konsisten. Namun, identitas hanyalah satu dari aspek-aspek lain yang juga sangat penting dalam menggerakkan aksi kolektif.

Setidaknya ada empat alasan lain mengapa orang-orang dengan identitas berbeda ikut melakukan aksi solidaritas terhadap Palestina, berdasarkan aspek psikologi.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi (kedua kanan) menyampaikan puisi disaksikan Ketua DPR Puan Maharani (kanan) saat Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di kawasan Monas, Jakarta, Minggu 5 November 2023. Bayu Pratama S/Antara Foto

1. Identifikasi isu politik lebih penting daripada kesamaan identitas

Kesamaan identitas saja tidak cukup dalam menjelaskan aksi kolektif. Tidak semua orang dengan identitas yang sama peduli dengan isu dalam identitasnya. Bahkan, banyak yang menghindari isu ini. Misalnya, mereka dengan identitas keagamaan namun apolitis mungkin tidak terlalu menunjukkan sikap yang kuat dalam isu-isu politik tertentu.

Adapun aspek yang lebih terlihat adalah “identifikasi seseorang terhadap kelompok yang menyuarakan isu politis”. Ini mencakup keterlibatan, keanggotaan, atau sekadar identifikasi seseorang terhadap kelompok-kelompok aktivis, gerakan sosial, ataupun komunitas yang menghadapi ketidakadilan. Contohnya adalah organisasi HAM, gerakan sosial humanitarian, atau forum yang menyuarakan isu politik tertentu baik yang secara langsung maupun lewat dunia maya.

Contoh lainnya adalah kaum buruh. Identitas sebagai buruh sebenarnya melekat pada banyak orang–tidak hanya kelompok menengah ke bawah. Namun, tidak semuanya tertarik melakukan aksi perjuangan buruh. Mereka yang beraksi atau memiliki solidaritas biasanya adalah memiliki identifikasi terhadap isu-isu perjuangan politik.

Studi menunjukkan bahwa identifikasi terhadap kelompok-kelompok ini penting karena mereka biasanya memiliki norma dan tujuan yang jelas dalam memandang suatu isu sosial.

Niatan seseorang melakukan aksi dapat terbentuk ketika mereka–terlepas dari identitas agama masing-masing–merasa terwakili atau memiliki kesamaan dengan kelompok-kelompok aktivis atau gerakan sosial. Jadi, yang penting bukan hanya memiliki agama yang sama, tetapi juga kepedulian senada terhadap isu-isu politik.

Mereka dengan agama berbeda bisa berjejaring juga di lingkaran aktivisme atau gerakan sosial yang memperjuangkan isu lintas agama. Ini juga bisa terjadi dalam dunia maya, seperti gerakan boikot produk-produk Israel.

Warga membawa poster saat aksi akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Minggu 5 November 2023. Rifqi Raihan Firdaus/Antara Foto

2. Keyakinan akan adanya kewajiban moral

Meskipun dipisahkan oleh berbagai identitas, manusia telah lama beradaptasi dengan saling membantu satu sama lain. Mereka yang memiliki kelebihan dapat membantu mereka yang kesulitan, tertinggal, atau mengalami penderitaan. Aksi ini tidak hanya didorong oleh empati, melainkan juga oleh keyakinan dari kelompok berprivilese mengenai kewajiban mereka terhadap yang lemah.

Misalnya saja dalam konteks Black Lives Matter di AS, berbagai identitas etnis–tidak hanya etnis Afrika-Amerika–ikut beraksi dan menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kesetaraan hak antaretnis.

Inilah yang terjadi pada mereka yang berada jauh dari Gaza dan tidak merasakan langsung penderitaan warga di Palestina, tetapi lantang dalam bersuara membela Palestina. Biasanya, orang-orang yang termasuk kelompok ini akan merasa bersalah atau malu jika mereka tidak ikut bersuara secara moral. Mereka merasa jadi terdakwa sebagai pihak yang pasif.

Secara psikologis, banyak masyarakat dari seluruh dunia yang merasa memiliki kewajiban moral dalam melindungi anak-anak atau warga sipil yang tidak berdaya di wilayah perang.

Jika tidak bersuara, maka artinya mereka pasif dan tidak berperan seperti semestinya. Ini juga mungkin menjelaskan orang-orang bisa begitu marah terhadap mereka yang tidak mau bersuara–atau memilih diam–dalam mendukung Palestina.

Aksi bela Palestina di London, Inggris, 28 Oktober 2023. Wally Cassidy/Shutterstock

3. Merasakan ketidakadilan yang sama

Aspek kesamaan pengalaman menghadapi ketidakadilan turut berkontribusi membentuk rasa solidaritas. Banyak komunitas global, terlepas apapun agamanya, yang menilai Israel telah memperlakukan masyarakat Palestina di Gaza secara semena-mena, termasuk penjajahan selama puluhan tahun.

Rasa solidaritas akan lebih mungkin dirasakan oleh mereka yang pernah merasa atau mengalami perlakuan tidak adil terhadap diri mereka sendiri atau kelompoknya.

Genosida yang terjadi pada kelompok Yahudi di masa lalu, misalnya, dapat memupuk perasaan solidaritas terhadap berbagai kelompok lain yang mengalami nasib sama. Seperti yang ditunjukkan pada kelompok Jewish Voice for Peace yang justru menyuarakan pembebasan Palestina.

Riset juga menunjukkan bahwa kelompok dengan sejarah diperlakukan tidak adil, seperti kelompok minoritas, dapat lebih merasakan solidaritas terhadap kelompok-kelompok lain yang mengalami hal sama. Misalnya, kelompok minoritas beragama cenderung mendukung hak-hak minoritas seksual karena mereka memiliki kesamaan dalam pengalaman diskriminatif.

Selain itu, persepsi ketidakadilan juga bisa menimbulkan emosi dan amarah. Emosi tersebut menjadi kunci bagi seseorang untuk bertindak dalam mengubah keadaan, seperti melakukan atau menginisiasi aksi kolektif dalam membela Palestina.

Aksi bela Palestina dan seruan gencatan senjata oleh masyarakat di Washington DC, Amerika Serikat, 20 Oktober 2023. Johnny Silvercloud/Shutterstock

4. Kesempatan melakukan aksi

Di negara demokrasi, penyampaian opini politik adalah hal yang wajar dan positif. Masyarakat era demokrasi dan keterbukaan dapat memperoleh informasi yang lebih luas dengan mudah, sehingga bisa lebih memahami isu yang terjadi.

Ditambah lagi, di negara demokrasi umumnya tidak ada larangan bersuara dan berdemonstrasi, sehingga rakyatnya bisa lebih mendapatkan ruang untuk melakukan aksi solidaritas.

Hal tersebut kemudian mendorong terciptanya aspek persepsi terhadap kemampuan diri dalam bertindak, atau istilahnya adalah efficacy. Menurut riset psikologi sosial tahun 2021, aspek efficacy merupakan salah satu faktor penentu dalam terbentuknya aksi solidaritas kolektif. Mereka merasa mampu untuk bebas berekspresi dan berkoalisi dalam menyuarakan ketidakadilan, sehingga mampu pula mendorong individu lainnya untuk saling mendukung dalam menyuarakan isu-isu masyarakat.

Inilah mengapa aksi-aksi solidaritas biasanya dilakukan terutama di negara-negara dengan kecenderungan demokrasi yang baik. Sebaliknya, pada negara-negara yang membatasi aktivitas, suara, atau ekspresi politik, warganya mungkin kesulitan menyuarakan dukungan atau solidaritasnya.

Dengan kata lain, aksi bisa tercipta bukan hanya ketika ada persepsi ketidakadilan, kewajiban moral, dan tujuan (identitas terpolitisasi), melainkan juga karena adanya kesempatan dan ruang.

Pada akhirnya, aksi solidaritas kolektif terhadap Palestina menunjukkan sisi positif dari kemanusiaan. Apalagi ini dilakukan tidak hanya oleh satu identitas saja, tetapi oleh berbagai kelompok lintas agama dan ras.

Aksi ini bisa tercipta karena adanya identifikasi dengan jejaring aktivisme atau gerakan sosial, adanya keyakinan akan kewajiban moral, adanya persepsi ketidakadilan, dan adanya kesempatan dalam beraksi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now