Menu Close

Abrasi pesisir Amurang: bagaimana ancaman longsor di kawasan pesisir semakin parah

Abrasi pesisir Amurang. (BPBD Minahasa Selatan)

Abrasi atau luruhnya dataran pantai merupakan fenomena yang harus diwaspadai di Indonesia. Sebab, hampir setengah penduduknya bermukim di tepi pantai dan pulau - pulau kecil.

Salah satu kejadian yang baru terjadi adalah amblasnya sebagian pesisir Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Longsor besar ini mengakibatkan 15 rumah hancur, merobohkan jembatan, dan menggeser garis pantai. Belakangan, fenomena serupa terjadi di pesisir Jembrana, Bali.

Kejadian longsor akibat abrasi sebenarnya sering terjadi terutama di pantai utara Jawa. Namun di wilayah ini, abrasi lebih banyak melanda tambak-tambak milik masyarakat yang langsung berhadapan dengan laut.

Pesisir dan pantai merupakan wilayah yang paling dinamis lantaran menjadi tempat pertemuan laut dan terestrial (daratan). Di tengah iklim yang berubah, kejadian abrasi di sejumlah kawasan pesisir bisa sangat parah dan menjadi berbahaya karena berhubungan dengan tempat tinggal serta aktivitas manusia.

Lantas, apa saja faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan terjadinya abrasi agar kita bisa mengantisipasi risikonya?

Beragam faktor penyebab abrasi

Longsor di pesisir bisa diakibatkan oleh banyak faktor. Terutama adalah karakteristik pantai yang berhubungan dengan kondisi fisik perairan seperti arus laut, gelombang, dan angin.

Jika kita amati, pantai memiliki garis yang tidak beraturan atau berlekuk-lekuk. Hal tersebut merupakan hasil interaksi perairan dengan daratan dalam jangka waktu yang lama. Daratan, laut, dan atmosfer, memegang peranan penting dalam mengangkut material yang ada di pantai dan memindahkannya ke tempat lain.

Karakter suatu lokasi juga cukup menentukan kerentanan abrasi. Misalnya, kawasan tanjung atau daratan yang menjorok ke laut lebih rentan karena diterpa energi gelombang laut yang lebih besar. Kerusakan pun akan semakin cepat terjadi di pantai yang landai.

Sedangkan di kawasan teluk, karena kontur daratan yang ‘memagari’ perairan di dalamnya, aliran arus bisa berputar di didalamnya akibat kontur daratan dan fenomena amfidromik (bertemunya arus pasang-surut laut). Perputaran arus mengakibatkan abrasi di suatu sisi, tapi menambah jumlah sedimen ke sisi pantai lainnya (yang dikenal dengan akresi).

Riset kami yang berbasiskan data kerentanan pesisir atau Coastal Vulnerability Index (CVI) 2000-2019 menemukan bahwa kejadian abrasi dan akresi parah di pantai utara Jawa Barat. Selama 20 tahun, angka abrasi dan akresi di kawasan ini mencapai 210 m untuk abrasi dan 165 m. Hal ini disebabkan kawasan sempadan (batas antara perairan dan daratan) pantai utara Jawa Barat banyak tergerus arus dan gelombang.

Selanjutnya, penelitian lainnya di Pangandaran, Jawa Barat, juga menemukan abrasi terjadi sangat masif dengan tingkat 0.1 m sampai 40 meter per tahun. Hal ini dikarenakan pesisir selatan Jawa mengarah langsung ke samudra sehingga energi gelombang yang dihasilkan lebih besar dibandingkan pantai utara pulau Jawa.

Namun, di sisi lain, material pantai di selatan jawa lebih keras jika dibandingkan dengan utara Jawa yang banyak mengandung endapan lumpur. Hal ini mengakibatkan pantai utara Jawa justru lebih rentan abrasi jika dibandingkan dengan bagian selatan.

Vegetasi di sekitar pantai juga turut menentukan tingkat kerentanan. Kawasan pantai yang tidak memiliki banyak tumbuhan akan lebih mudah tergerus, terutama oleh arus yang menyusur pantai. Pasalnya, vegetasi seperti hutan mangrove dan vegetasi pantai lainnya dapat mengikat tanah sehingga lebih tahan terhadap gelombang.

Pengendara melintasi jalan yang diterpa ombak air laut di pesisir pantai Teluk Palu, Sulawesi Tengah. (Sumber: Basri Marzuki/Antara)

Perubahan iklim dan aktivitas manusia

Kerentanan abrasi semakin meningkat karena perubahan iklim. Sebab, perubahan iklim telah menaikkan permukaan laut. Kenaikan muka air laut sekitar 0.3 centimeter per tahun telah mengubah karakteristik pantai.

Nilai ini akan berbeda beda di setiap perairan. Banyak negara negara yang mengalami pengurangan pantai. Misalnya negara pantai seperti Vanuatu yang berada di Pasifik.

Selain kenaikan muka air laut, perubahan iklim juga dapat meningkatkan intensitas gelombang sehingga dapat menambah risiko luruhnya material pantai.

Faktor lainnya adalah penurunan muka tanah dan gempa. Penurunan ini dipengaruhi oleh tekanan yang dilakukan di atas permukaan tanah. Keadaan ini memungkinkan tanah turun akibat tekanan yang terlalu berat seperti pembangunan gedung.

Ini terjadi di Jakarta. Selain pembangunan gedung, penyedotan air tanah besar-besaran menciptakan ruang kosong di bawah tanah menjadi sehingga permukaan menjadi turun.

Kejadian gempa juga turut mempengaruhi konstruksi daratan. Hal ini dapat mengakibatkan pergeseran yang mengarah pada penambahan dan pengurangan ketinggian permukaan daratan.

Abrasi juga turut dipengaruhi aktivitas manusia seperti melakukan rekayasa, misalnya, membangun rumah, di sempadan pantai. Kawasan ini, mulai 100 meter dari titik pasang tertinggi, semestinya bebas dari pembangunan. Tujuannya untuk mencegah abrasi yang mengakibatkan kerugian bahkan korban jiwa.

Sayangnya, di banyak daerah, batasan tersebut masih banyak dilanggar. Pemerintah daerah semestinya menetapkan sempadan sesuai karakteristik pantai-pantainya, dan memantau kebijakan tersebut.

Selain rumah, pembangunan dermaga dan infrastruktur lainnya turut mempengaruhi dinamika pantai. Misalnya, infrastruktur yang dibangun di pantai sering sekali menghambat aliran sedimen yang mengakibatkan perubahan-perubahan arah arus dan material yang dibawanya.

Warga berada di samping rumahnya yang sebagian sudah hancur dihantam gelombang, di Kawasan Pasie Nan Tigo, Padang, Sumatera Barat. (Sumber: Iggoy el fitra/Antara)

Pemantauan perlu diperkuat

Seiring dengan meningkatnya kerentanan kawasan pesisir, pemerintah perlu memperkuat pemantauan di wilayah yang berisiko tinggi abrasi dan akresi.

Pemerintah sebenarnya telah membuat indeks ancaman terhadap pantai dengan skala tinggi sampai rendah. Sebagai contoh, kemunduran garis pantai 2 meter/tahun disebut dengan laju ancaman yang tinggi. Sementara, laju ancaman disebut rendah apabila kemundurannya hanya mencapai 1 meter/tahun dalam 5 tahun.

Salah satu contohnya adalah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Daerah ini memiliki pantai dengan laju ancaman yang tinggi. Alasannya, selain karena kontur datarannya yang rendah, abrasi di Demak diperparah oleh alih fungsi lahan pesisir menjadi tambak dan permukiman.

Untuk meredam laju abrasi, otoritas setempat dapat menginisiasi program penanaman mangrove sebagai peredam alami gelombang laut. Penataan lingkungan pesisir dengan menggalakkan rumah panggung, dan rekayasa lingkungan seperti pembuatan pemecah ombak juga bisa dilakukan.

Solusi yang lebih baik adalah perencanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Aspek ini penting RTRW memetakan wilayah-wilayah yang menjadi sentra permukiman penduduk, ekonomi, wisata, dan zona pemanfaatan lainnya. Sayangnya, tata ruang ini hanya menjadi dokumen semata karena sulit diimplementasikan akibat benturan dengan masyarakat.

Langkah lainnya adalah penyesuaian tata ruang untuk beradaptasi dengan iklim yang berubah, sekaligus mengurangi dampak bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kawasan sempadan pantai mesti dipulihkan dan dikembalikan sesuai fungsinya guna mencegah abrasi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now