Menu Close

Ahli ungkap bagaimana sikap membantu orang lain tanpa kepentingan (altruisme murni) bisa terjadi

Dua tahun yang lalu, kota kelahiran saya, Manchester di Inggris, mengalami serangan teroris. Setelah konser penyanyi Ariana Grande, seorang pria muda meledakkan bom yang diikat di dadanya, menewaskan 22 orang dan melukai beberapa ratus orang.

Di tengah serangan yang kejam ini, ada banyak kisah tentang kepahlawanan dan orang-orang yang rela berkorban.

Ada seorang dokter yang sedang tidak bertugas berlari ke area kejadian untuk membantu para korban. Lalu ada perempuan yang mengarahkan sekitar 50 remaja yang kebingungan dan ketakutan ke tempat aman di sebuah hotel terdekat; ia lalu membagikan nomor teleponnya di media sosial sehingga orang tua dapat datang dan menjemput anak-anak mereka.

Pengemudi taksi dari seluruh kota mematikan argo mereka untuk membawa penonton konser dan anggota masyarakat lainnya. Seorang paramedis di tempat kejadian bersaksi: “Banyak orang memberi pertolongan sebisa mereka… Saya belum pernah melihat orang-orang bergotong royong sedemikian rupa.”

Dia menambahkan: “Saya mengenang sekali rasa kemanusiaan yang hadir. Orang-orang saling menatap mata, saling memastikan keadaan, menyentuh bahu, saling memperhatikan.”

Tindakan altruisme semacam itu hampir selalu ada dalam situasi darurat.

Pada sebuah jalan di London pada 2015, seorang pengendara sepeda terjebak di bawah bus tingkat. Sekitar 100 orang kemudian berkumpul, dan dengan kerelaan dan kerjasama luar biasa, mereka mampu mengangkat bus hingga pria itu bisa keluar.

Mengapa manusia kadang mempertaruhkan hidup mereka sendiri untuk menyelamatkan orang lain? Ini pertanyaan yang telah membingungkan para filsuf dan ilmuwan selama berabad-abad. Menurut pandangan Neo-Darwinian modern, manusia pada dasarnya egois, sebagai “pembawa” ribuan gen yang tujuannya hanya untuk bertahan hidup dan mereproduksi diri mereka sendiri.

Menurut pandangan ini, masuk akal bila kita membantu orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan kita secara genetik, seperti anggota keluarga atau sepupu jauh.

Apa yang tampak seperti pengorbanan diri sebenarnya bermanfaat bagi kumpulan gen kita. Tetapi bagaimana ketika kita membantu orang yang tidak kita kenal secara genetis, atau bahkan membantu binatang?

Berbagai penjelasan berbeda tentang hal ini telah dikemukakan. Seseorang menyatakan bahwa mungkin tidak ada sama sekali yang namanya altruisme “murni”. Ketika kita membantu orang asing (atau hewan), pasti selalu ada manfaat tertentu bagi diri kita sendiri: kita merasa sebagai orang baik, atau mendapatkan rasa hormat dari orang lain.

Atau mungkin altruisme adalah strategi investasi: kita melakukan perbuatan baik kepada orang lain dengan harapan bahwa mereka akan membalas budi (dikenal juga sebagai altruisme timbal balik).

Bahkan altruisme bisa jadi adalah cara untuk menunjukkan seberapa kaya atau mampu kita, sehingga kita menjadi lebih menarik di mata orang lain dan meningkatkan peluang kita dalam reproduksi.

Berakar pada empati

Saya tidak menafikan bahwa terkadang alasan-alasan tersebut nyata.

Banyak tindakan kebaikan bisa jadi terutama (atau hanya sebagian) dimotivasi oleh kepentingan pribadi. Tetapi apakah altruisme “murni” itu ada? Bahwa ketika kita melakukan tindakan altruistik, motivasi kita murni untuk meringankan penderitaan orang lain?

Dalam pandangan saya, altruisme murni berakar pada empati. Empati digambarkan sebagai kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Tetapi dalam arti terdalamnya, empati adalah kemampuan untuk merasakan (bukan hanya untuk membayangkan) apa yang orang lain alami.

Ini adalah kemampuan untuk benar-benar memasuki ruang pikiran orang lain (atau makhluk) sehingga kita dapat merasakan perasaan dan emosi mereka. Dengan cara ini, empati dapat dilihat sebagai sumber belas kasih dan altruisme.

Empati menciptakan hubungan sehingga kita merasakan belas kasih. Kita bisa merasakan penderitaan orang lain, dan ini menimbulkan dorongan untuk meringankan penderitaan mereka. Lalu selanjutnya memunculkan tindakan altruistik. Ketika kita dapat merasakan perasaan orang lain, kita terdorong untuk membantu mereka ketika mereka membutuhkan.

Terhubung. Shutterstock/vectorfusionart

Seperti yang saya tulis dalam buku saya, Ilmu Pengetahuan Spiritual, anggapan bahwa manusia sebagai mahluk yang benar-benar terpisah satu sama lain, yang terdiri dari gen egois yang hanya peduli dengan kelangsungan hidup dan replikasi mereka sendiri, itu salah. Kapasitas untuk empati menunjukkan kita saling terhubung secara yang mendalam.

Kita bisa merasa bahwa kita adalah bagian dari suatu jaringan kesadaran bersama.

Inilah yang memungkinkan kita untuk mengenali diri kita dalam orang lain, merasakan penderitaan mereka, dan menanggapinya dengan tindakan altruistik.

Kita dapat merasakan penderitaan orang lain karena, dalam kadar tertentu, kita adalah mereka. Jadi kita merasakan keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain–untuk melindungi dan membuat mereka lebih baik–seperti halnya kita menolong diri sendiri.

Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer menyebut:

Jiwa sejati saya ada dalam setiap makhluk … Inilah dasar belas kasih … yang dinyatakan lewat perbuatan baik.

Dengan kata lain, altruisme itu tidak perlu dijelaskan penyebabnya. Sebaliknya, kita harus merayakannya sebagai kemampuan untuk melampaui keterpisahan yang semu. Altruisme itu alami, altruisme adalah ekspresi dari sifat kita yang paling mendasar yaitu terhubung.


Read more: Spiritual science: how a new perspective on consciousness could help us understand ourselves


Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now