Menu Close

‘Aku juga mengalaminya!’ Berbagi pengalamanmu saat ngobrol mungkin hal biasa, tapi kadang lebih baik mendengarkan saja

Laki-laki dan perempuan sedang melakukan percakapan.
Alex Green/Pexels

Apakah kamu punya teman yang menanggapi hampir setiap hal yang kamu ceritakan dengan “Ya ampun, aku juga! Aku jadi ingat waktu aku mengalami itu.” Bisa jadi kamu adalah salah satu dari mereka.

Mungkin secara naluriah, kamu berniat menunjukkan bahwa kamu punya ikatan yang sama dengan lawan bicaramu, dengan cara membagikan pengalaman yang kamu rasa mirip dengan apa yang baru saja diceritakan oleh temanmu.

Dalam ilmu psikologi, situasi ini disebut “pengungkapan diri” (self-disclosure) – kebiasaan mengungkapkan sesuatu tentang diri sendiri kepada orang lain, seringkali dalam upaya membangun hubungan atau koneksi.

Namun, meski kebiasaan ini terasa sangat alami bagi beberapa orang (biasanya lebih pada individu ekstrover dibandingkan introver), hal ini dapat membuat orang lain justru tersinggung atau geram, seperti yang ditunjukkan oleh tweet viral baru-baru ini:

Beberapa orang sangat setuju, sementara beberapa lainnya merasa bahwa tidak menanggapi cerita teman dengan pengalaman kita rasanya adalah hal yang sangat aneh dalam norma percakapan.

Jadi mengapa praktik pengungkapan diri ini menimbulkan reaksi yang begitu kuat? Apa kata psikolog tentang kebiasaan ini?


Read more: Now, let's talk about me: self-disclosure is intrinsically rewarding


Kenapa orang menceritakan pengalaman diri sendiri?

Mengungkapkan pengalaman diri adalah alat untuk membentuk ikatan – cara untuk berbagi suatu bagian dari dirimu. Ini dapat memperdalam keintiman dan persahabatan serta bisa membuatmu sedikit rentan karena terbuka (vulnerable). Keterbukaan ini dapat menyentuh emosi orang lain, membuat mereka merasa bahwa kamu memercayai mereka, sehingga kalian dapat menjalin hubungan.

Perempuan biasanya lebih banyak melakukan ini daripada laki-laki. Mungkin ini karena perempuan cenderung dibiasakan secara sosial bahwa mereka boleh membuka diri atau bercerita ketika mereka mengalami masalah, sedangkan laki-laki sering dibiasakan secara sosial untuk tidak melakukannya.

Lalu kenapa hal ini bisa membuat beberapa orang geram?

Memahami situasi dan konteks (nuance) menjadi kunci. Tidak semua pengungkapan diri itu bermanfaat dan, sebaliknya, menurut saya bukan hal yang pas juga jika seseorang hanya duduk diam saja ketika temannya terus-terusan bercerita.

Targetnya adalah supaya seimbang; pengungkapan diri yang efektif adalah yang bersifat timbal balik.

Terlalu cepat merespons dengan “Oh ya, aku juga mengalaminya” dapat membuat percakapan jadi jenuh dan membuat temanmu merasa bahwa mereka tidak didengarkan sejak awal. Kebiasaan semacam ini bisa membuat seseorang merasa perasaannya tidak tervalidasi dan membuat suasana jadi tidak seimbang.

Sejumlah besar penelitian psikologi menunjukkan bahwa, pada dasarnya, manusia ingin merasa didengarkan. Jika temanmu baru saja memberi tahu kamu tentang beberapa hal penting yang terjadi padanya, beri dia ruang untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya.

Cara lain pengungkapan diri, walaupun bermaksud baik, yang dapat memperburuk suasana dalam percakapan adalah ketika satu orang berbagi pengalaman yang bagi mereka terasa setara – tetapi sebenarnya tidak. Pengalamanmu saat hampir kehilangan orang yang kamu sayangi tidak sama dengan pengalaman temanmu yang benar-benar kehilangan orang yang ia sayangi.

Terkadang seseorang langsung memberikan saran dan menceritakan apa yang, bagi mereka, terasa seperti pengalaman serupa – padahal salah tempat – seolah-olah untuk mencoba “memperbaiki” masalah lawan bicaranya.

Faktanya, konteks pengalaman dan kapasitas setiap orang berbeda-beda.

Ironisnya, kadang upaya kamu untuk “membantu” mungkin membuat temanmu merasa malu karena merasa tidak dapat menyelesaikan masalahnya semudah kamu melakukannya.

Kesedihan bisa menjadi titik sensitif

Kesedihan (grief) seringkali bisa menjadi titik sensitif yang nyata untuk terjadinya “bentrokan” seputar pengungkapan diri ini.

Jika seorang teman berbicara tentang kesedihannya dan instingmu adalah membandingkannya dengan pengalamanmu sendiri, ingatlah bahwa tidak ada dua pengalaman kesedihan yang persis sama.

Kesedihan bisa menjadi pengalaman yang sangat mengasingkan. Setelah suatu kejadian sedih, orang-orang akan berkerumun menemanimu dan kamu bisa merasa sangat sibuk, tetapi beberapa hari atau minggu kemudian kamu akan terjebak dalam kesedihan lagi, sementara semua orang kembali ke kehidupan normal mereka masing-masing.

Bahkan, teman dekat pun bisa panik dan tidak tahu harus berkata apa setelah kesedihan teman mereka mereda. Mereka mungkin mencoba untuk “membantu” dengan berbicara tentang pengalaman mereka sendiri, atau menyemangatinya untuk lekas pulih dari rasa sedihnya (move on). Namun, hal ini pada akhirnya dapat membuat temannya itu merasa pengalaman dan rasa berdukanya tidak valid.

Hal yang paling aman adalah mendengarkan dan membiarkan orang yang berduka meresapi emosinya.

Bukan kompetisi

Tentu saja tidak setiap “perselisihan” tentang pengungkapan diri itu tentang kesedihan. Terkadang ini bisa terjadi pada hal-hal yang tampaknya biasa saja. Kamu senang dengan pencapaian kecil, tetapi setelah menceritakannya pada seorang teman, mereka mengatakan bahwa mereka juga pernah melakukannya.

Jika kamu adalah orang yang suka menceritakan pengalaman dirimu secara naluriah, berhati-hatilah agar tidak melakukannya terlalu cepat. Temanmu bisa saja membacanya sebagai bentuk persaingan (bahkan jika tidak disengaja).

‘Bentrokan’ dalam pengungkapan diri dapat terjadi karena sesuatu yang remeh. Pexels/Liza Summer, CC BY

Tidak semua pengungkapan diri itu salah!

Tidak semua pengungkapan diri berdampak buruk. Berbagi pengalaman hidup dapat menjadi awal percakapan yang baik dan juga hubungan yang bermakna. Kita pasti tidak ingin berada dalam posisi harus “mengkerdilkan” kegembiraan kita sendiri karena selalu khawatir terkait bagaimana ekspresi kegembiraan itu akan memengaruhi orang lain.

Pada akhirnya, kita perlu membiarkan satu sama lain merasakan kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dan semua emosinya masing-masing.

Saling memberi ruang untuk merasakan emosi itu adalah kuncinya. Saat teman kamu menceritakan kisahnya, ajukan beberapa pertanyaan tentang itu. Beri mereka waktu dan ruang untuk merenungkan pengalaman mereka dan bagaimana hal itu memengaruhi mereka, sebelum kamu langsung memotongnya dengan menceritakan pengalamanmu sendiri.

Ingat, konteks juga menjadi kunci: terkadang pengungkapan diri dapat memperdalam hubunganmu dengan temanmu, tetapi di saat tertentu, menceritakan pengalamanmu bisa jadi justru tidak akan terlalu membantu.


Read more: What do your earliest childhood memories say about you?


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now