Menu Close

Analisis pidato kenegaraan Jokowi ungkap keterbatasan pemerintah dalam hadapi pandemi

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tiba di lokasi sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menyampaikan pidato kenegaraan pertengahan Agustus lalu. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras

Kebijakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo selama pandemi COVID-19 mengundang banyak perdebatan dan kritik.

Banyak pihak telah mengkritik kebijakan Jokowi yang dianggap terlalu mengutamakan sektor ekonomi dan terkesan mengabaikan keselamatan warga negaranya.

Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan tingkat kematian tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 7.417 kasus per akhir Agustus. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah kasus tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara setelah Filipina.

Sebagai pengamat bahasa, saya mencoba memperkaya diskusi di publik dengan mencoba memberi titik terang tentang kebijakan Jokowi selama pandemi melalui pilihan kata dalam pidato kenegaraannya yang disampaikan di sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dalam pidato kenegaraan itu ada informasi-informasi tersurat berupa laporan kinerja, rencana kerja, dan berbagai harapan yang diungkapkan. Informasi ini bersifat terbuka. Selain itu ada juga informasi-informasi tersirat yang bisa digunakan untuk mengetahui hal-hal yang berusaha disembunyikan, disangkal, atau tak sengaja diungkapkan namun tetap dapat ditelusuri keberadaannya.

Analisis saya terhadap pidato kenegaraan Jokowi tahun ini menunjukkan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menghadapi pandemi, sikap yang cenderung pesimis, dan perubahan prioritas pemerintah selama pandemi.

Pesimis dan tidak berdaya

Bagi bangsa Indonesia, pidato kenegaraan memiliki posisi khusus karena digunakan sebagai laporan kepala negara kepada lembaga tinggi negara yang merepresentasikan rakyat (lembaga legislatif). Pidato kenegaraan menggambarkan pencapaian yang telah diraih dan ambisi yang ingin diwujudkan pada masa yang akan datang.

Dibandingkan pidato tahun-tahun sebelumnya, pidato kenegaraan tahun ini bernuansa muram karena pandemi COVID-19. Pilihan kata Presiden juga cenderung menunjukkan sikap pesimis.

Salah satu ekspresi pesimis terungkap di balik banyaknya kata negatif.

Dalam pidato sepanjang 2.357 kata itu, kata “krisis” menjadi kata kunci paling sering digunakan (14 kali) setelah kata “kerja” yang menjadi kata kunci dalam pemerintahannya (21 kali).

Selain kata “krisis”, kata negatif lain seperti “kosong”, “masa sulit”, “kemunduran”,“ kematian”, “negatif”, “minus”, “macet”, “hang”, dan “sakit” juga tersebar di berbagai bagian pidato. Kata-kata itu mengindikasikan sentimen negatif penutur terhadap objek yang dibicarakannya.

Sementara itu, analisis terhadap penggunaan kata keterangan (adverbia) bisa membantu menunjukkan asumsi-asumsi ideologis yang diutarakan pembawa pidato.

Peneliti pragmatik dari Al-Najah University Palestina Sufyan Abuarrah menjelaskan adverbia seringkali digunakan untuk mengkategorikan tindakan mana yang layak, perlu, atau bahkan wajib dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dari situlah formulasi ideologis penutur bisa ditelusuri.

Dalam pidato Presiden Jokowi tahun 2020 ada tiga adverbia utama yang paling sering digunakan yaitu harus, akan, dan telah.

Adverbia “harus” memiliki fungsi gramatikal penting karena selalu diikuti dengan jenis tindakan yang dalam layak, perlu, wajib, atau mau tak mau harus dilakukan.

Dalam pidato Jokowi intensitas keharusan “harus” dapat dirinci ke dalam empat tingkat tersebut yaitu layak (patut), perlu, wajib, atau terpaksa dilakukan. Cara penutur menggunakan kata “harus” menunjukkan pandangan moral atau sikap penutur dalam merespons situasi tertentu.

Dalam teks pidato kenegaraan tahun 2020, kata “harus” digunakan 37 kali. Berdasarkan gradasi keharusannya, 18 kali kata harus digunakan untuk hal yang perlu dilakukan, 13 kali digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang wajib dilakukan, dan 6 kali digunakan untuk menyatakan hal yang terpaksa dilakukan.

Enam kali penggunaan “harus” untuk menyatakan kondisi yang terpaksa menunjukkan bahwa pemerintah tidak selalu punya kendali atas situasi yang berkembang. Hal tersebut menciptakan kesan bahwa meski lembaga eksekutif merupakan lembaga yang sangat otoritatif, kemampuannya dalam menghadapi COVID-19 ternyata sangat terbatas. Pesan tersirat itu menunjukkan pengakuan bahwa lembaga eksekutif benar-benar kesulitan menangani COVID-19.

Adverbia “akan” lazim digunakan untuk menunjukkan rencana, tindakan yang akan dilakukan. Frekuensi penggunaan adverbia ini menunjukkan optimisme penggunanya.

Dalam pidato kenegaraan 2020 adverbia ini hanya digunakan 5 kali yang merupakan angka terendah sejak 2015 dan 2019. Pada 2018 adverbia ini digunakan sebanyak 22 kali, 6 kali pada 2017, 8 kali pada 2016, dan 22 kali pada 2015.

Rendahnya penggunaan adverbia “akan” menunjukkan pemerintah tidak memiliki banyak rencana yang perlu disampaikan kepada MPR seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sama seperti “akan”, frekuensi penggunaan adverbia “telah” dalam pidato kenegaraan 2020 juga relatif kecil yaitu hanya 9 kali, sama seperti pada 2019.

Padahal pada tahun sebelumnya adverbia ini digunakan sebanyak 42 kali (2018), 18 kali (2017), 25 kali (2016), dan 8 kali (2015). Frekuensi ini juga menunjukkan pemerintah tidak memiliki ambisi memamerkan prestasi kerjanya kepada MPR sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Penggunaan tiga adverbia tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa pemerintah mengakui berbagai kelemahan pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Bagi masyarakat, sikap ini relatif melegakan karena pemerintah tidak berusaha berbohong atau mengelabui masyarakat. Namun di sisi lain, sikap itu sekaligus menunjukkan kapasitas pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 relatif rendah. Dalam pidatonya, Jokowi mengakui pemerintah belum mengelola sumber daya politik, ekonomi, sosial, dan kultural secara optimal.

Disorientasi prioritas kerja

Analisis terhadap teks pidato kenegaraan Jokowi tahun ini juga menunjukkan perubahan prioritas pemerintah.

Bidang kesehatan menjadi bidang kerja yang paling sering disebut oleh presiden (12 kali). Frekuensi ini menunjukkan pergeseran bidang prioritas. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya bidang ini hanya disebut sebanyak 2 kali (2019 dan 2018), 1 kali (2017), 6 kali (2016), dan sama sekali tidak disebut pada 2015.

Sebagai perbandingan, pada 2019 bidang yang paling banyak disebut adalah sumber daya manusia (SDM) (13 kali). Saat itu frekuensi penggunaan kata SDM digunakan untuk menunjukkan pergeseran prioritas pembangunan dari infrastruktur ke bidang sumber daya manusia.

Sementara pada 2018 dan 2017 secara berturut-turut bidang “ekonomi” menjadi bidang yang paling sering disebut (masing-masing 22 kali). Sementara “infrastruktur” menjadi bidang kerja paling sering disebut pada 2016 (16 kali).

Frekuensi penggunaan kata kunci ini menunjukkan ada hubungan antara kata kunci paling populer dengan prioritas kerja pemerintah pada tahun bersangkutan.

Penggunaan kata “kerja”, “krisis”, dan “kesehatan” sebagai kata paling populer pada tahun 2020 menunjukkan bidang apa, mengapa bidang itu menjadi prioritas, dan bagaimana pemerintah akan bertindak dalam bidang tersebut.

Banyak pihak memang mengkritik pemerintah karena dianggap lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi. Namun teks pidato menunjukkan bidang kesehatan yang paling menyita perhatian Presiden. Pidato kemarahannya di hadapan para menteri pada 18 Juli juga menunjukkan bidang ini paling mengurasi emosi dan energi Presiden.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now