Menu Close

Angka kelahiran terus menurun pada abad ini. Kenapa dan bagaimana mencegahnya?

Penduduk dunia tumbuh cepat setelah Revolusi Industri pada abad ke-18. Geralt/Pixabay

Penurunan tingkat kelahiran (fertility rate), jumlah anak yang dilahirkan oleh setiap perempuan selama masa reproduksi mereka, merupakan salah satu tantangan besar kependudukan pada abad ke-21.

Data riset dari University of Newcastle’s Priority Research Centre for Reproductive Science menunjukkan, sebelum abad ini berakhir, 183 dari 195 negara akan memiliki tingkat kelahiran di bawah replacement level. Level ini angka minimal untuk mempertahankan regenerasi suatu populasi.

Level penggantian generasi ini ditetapkan pada angka 2,1 anak per perempuan, sebagai pengganti kedua orang tuanya pada generasi selanjutnya.

Negara-negara berpendapatan tinggi seperti Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan kota Hong Kong secara serempak mulai menunjukkan penurunan kelahiran sejak 1960. Saat ini negara-negara itu memiliki tingkat kelahiran sekitar 1 anak per perempuan usia produktif, di bawah replacement level.

Penurunan tingkat kelahiran yang terjadi bersamaan dengan peningkatan usia harapan hidup akan berdampak pada bertambahnya populasi usia tua. Hal tersebut akan berpengaruh pada perekonomian karena beban biaya kesehatan yang lebih tinggi dan jumlah tenaga kerja yang lebih rendah.

Dampaknya, fenomena ini akan memberatkan masyarakat usia produktif untuk harus bekerja lebih keras agar dapat mendukung biaya pensiun dari populasi usia tua.

Kita perlu melihat kebijakan seperti apa yang mampu mempertahankan tingkat kelahiran untuk mempertahankan populasi dunia.

Apakah sebuah keniscayaan?

Hingga kini, sebenarnya penurunan tingkat kelahiran adalah sebuah keniscayaan. Semua negara pasti akan mengalaminya, hanya pada waktunya berbeda-beda.

John Aitken, profesor sains reproduksi dari University of Newcastle Australia, menyimpulkan ada tiga faktor yang memengaruhi fertilitas, yaitu sosial - edukasi, lingkungan - gaya hidup, dan evolusi.

Faktor pertama, sosial - edukasi, diwakili oleh kemajuan pendidikan perempuan yang merupakan siklus self-perpetuating (pengabadian diri). Maksudnya, peningkatan kesempatan pendidikan tinggi bagi perempuan akan memberikan lebih banyak peluang pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, transisi demografi, dan penurunan tingkat kelahiran.

Faktor kedua berupa lingkungan-gaya hidup berkaitan dengan estrogenic attack (serangan hormon estrogen) baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh produksi estrogen dari jaringan adiposit pada overweight dan obesitas, konten estrogen dari makanan dan air, paparan estrogen lingkungan, serta peningkatan estrogen terkait usia.

Saat ini banyak terjadi cemaran estrogen di lingkungan, baik pada makanan maupun air, sehingga meningkatkan kadar hormon estrogen pada laki-laki dan perempuan.

Pada laki-laki, serangan estrogenik yang terjadi akibat paparan estrogen dari lingkungan tersebut, hal ini terbukti dapat mendisrupsi perkembangan testis dan mengakibatkan kanker testis serta menurunkan produksi testosteron yang dapat menurunkan jumlah sperma. Kedua kondisi ini sangat memengaruhi fertilitas.

Terakhir adalah faktor evolusi. Ilustrasinya dapat kita lihat dalam kasus perubahan pola hidup suku tradisional !Kung Hunter Gatherers di Afrika dan masyarakat Australia modern.

Dalam kasus !Kung Hunter Gatherers, masyarakat tradisional tersebut mulai melahirkan anak pertama pada usia 19,5 tahun dan terus melahirkan anak dengan rentang usia antaranak hingga 4 tahun. Sehingga, rata-rata masyarakat tradisional melahirkan lima anak dalam masa reproduksi mereka.

Sementara masyarakat Australia modern pada umumnya baru melahirkan anak pertama pada usia mendekati 30 tahun. Sementara itu, pada usia 40 tahun, perempuan sudah memasuki masa infertilitas terkait usia. Sehingga selama masa reproduksi perempuan tersebut hanya melahirkan dua anak saja.

Australia telah mengalami penurunan tingkat kelahiran di bawah replacement level sejak 1960 dan sempat sedikit meningkat pada 2000 saat penerapan kebijakan Costello bonus, sebuah insentif dari pemerintah bagi pasangan yang memiliki anak.

Namun, dengan pergantian kepemimpinan dan penghapusan insentif, tingkat kelahiran Australia kembali menurun hingga tahun 2020. Meski demikian, total populasi penduduk Australia masih berada dalam angka normal berkat tingginya angka imigrasi dari berbagai negara. Pada masa pandemi COVID-19, Australia dimasuki hingga 300 ribu imigran per tahun.

Populasi naik seiring dengan revolusi industri

Populasi manusia baru meningkat sejak abad ke-18.

Pada masa sebelumnya, manusia sedunia mengalami pandemi besar yang dikenal sebagai The Black Death pada pertengahan abad ke-14. Pandemi ini menewaskan seperempat hingga setengah total penduduk Eropa dan menyisakan kurang dari satu miliar penduduk dunia.

Seiring dengan munculnya revolusi industri dan penemuan antibiotik, pertumbuhan populasi manusia pun terus meningkat secara eksponensial mencapai 7,9 miliar penduduk pada 2022.

Pertumbuhan populasi yang sangat tinggi ini kemudian memunculkan teori Malthusian pada abad ke-18. Teori ini memprediksi bahwa dalam tiga abad mendatang kapasitas bumi tidak akan cukup untuk jumlah manusia yang begitu besar.

Akibatnya, dunia akan menghadapi keterbatasan suplai makanan yang menimbulkan perang atau penyakit hingga akhirnya akan menurunkan populasi manusia.

Namun, riset dari University of Newcastle menunjukkan terjadi Malthusian paradox karena indeks produksi tani dan hewan terus meningkat seiring dengan turunnya angka kelahiran dunia.

Hal tersebut menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara kesejahteraan (stabilitas pangan populasi) dengan tingkat kelahiran.

Berkaca pada data Produk Domestik Bruto (PDB) dan tingkat kelahiran di Cina, tingkat kelahiran turut memengaruhi PDB.

Data menunjukkan bahwa total level kelahiran di Cina sudah menurun bahkan sejak sebelum diberlakukannya one child family policy pada 1980.

Sejak 1960, tingkat kelahiran di Cina turun dari 6 menjadi 2 anak per perempuan hanya dalam waktu dua puluh tahun. Tepat saat kelahiran tersebut berada di bawah 3 anak per perempuan, Cina mengalami peningkatan GDP secara stabil hingga sekarang.

Hal serupa juga tampak pada negara lainnya, seperti Brazil, Taiwan, dan Korea Selatan. Indonesia pun telah mengalami penurunan tingkat kelahiran sejak 1960, dari 5,55 menjadi 2,2 per perempuan usia subur pada 2021.

Bagaimana mencegah defisit populasi

Transisi demografi merupakan pola perjalanan demografi yang akan dialami oleh semua populasi tanpa mengenal agama dan kepercayaan.

Pada periode pratransisi, populasi akan memiliki angka kematian dan kelahiran tinggi. Kemudian, saat mencapai periode transisi, angka kematian dan kelahiran populasi akan menurun.

Akhirnya, pada periode pascatransisi angka kematian dan kelahiran akan terus menurun. Walhasil, jumlah populasi akan semakin rendah jika dibiarkan tanpa intervensi.

Aitken mengajukan beberapa langkah intervensi untuk menyelamatkan sebuah populasi dari infertility trap. Beberapa di antaranya adalah usaha membuat perubahan sosial untuk mendukung keluarga muda memiliki anak. Misalnya, dengan pemberian bonus untuk anak, perizinan cuti untuk kedua orang tua, dan fasilitas perawatan anak.

Kebijakan lain seperti penyediaan perumahan terjangkau, peningkatan usia pensiun, pemantauan kadar bahan toksik reproduksi dari lingkungan juga bisa menyelamatkan populasi.

Selain itu, kita perlu menghindari pengutamaan penggunaan in vitro fertilisation (IVF) atau bayi tabung untuk mengatasi infertilitas. Ketimbang IVF, kita perlu lebih mengutamakan pemahaman asal-usul gangguan fertilitas, karena mencegah lebih baik daripada mengobati.

Terakhir, kita perlu meningkatkan kesadaran sosial politik terhadap perubahan demografi yang akan datang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now