Menu Close
Dove menarik iklan ini dari Facebook, setelah ramai diprotes karena tidak sensitif rasial. naythemua/Facebook

Antara Dove, kecantikan sejati, dan sejarah produk pemutih kulit yang rasis

Baru-baru ini kantor pemasaran Dove (merek perawatan pribadi Unilever) menjadi sorotan publik gara-gara sebuah iklan yang dipandang tidak sensitif secara rasial. Di media sosial bahkan sampai ada ajakan untuk memboikot Dove.

Iklan yang dipermasalahkan itu menampilkan seorang perempuan kulit hitam yang berubah putih setelah memakai losion tubuh Dove. Meski segera ditarik, iklan itu telanjur ramai dibahas di media sosial setelah penata rias AS Naomi Blake (Naythemua) menuliskan kekesalannya di Facebook, dan menyebut iklan itu “tidak peka”.

Dove merespons, mulanya lewat Twitter.

Perusahaan itu kemudian memberi pernyataan lebih panjang: “Sebagai bagian kampanye untuk sabun mandi cair Dove, sebuah klip video tiga detik diunggah di halaman Facebook AS … Klip itu tidak merepresentasikan keragaman kecantikan sejati yang menjadi tujuan Dove dan merupakan inti keyakinan kami, dan mestinya itu tidak perlu terjadi.”

Perlu ditanyakan apakah para anggota tim pemasaran Dove ketika mahasiswa kerjanya hura-hura di pub dan membolos kuliah Sejarah Periklanan? Karena kalau tidak membolos mereka tentu tahu iklan sabun Pears’ 1884 dari presentasi dosen. Oke, saya hanya bercanda, tetapi yang jelas iklan bermasalah Dove itu sejalan dengan sejarah rasis yang memandang kulit putih itu bersih dan kulit hitam adalah sesuatu yang perlu dibersihkan.

Iklan orisinal sabun Pears’ berdasarkan fabel Memutihkan Orang Kulit Hitam, dimuat di Graphic for Christmas 1884. Author provided

Sejarah rasis

Insiden semacam ini bukan yang pertama bagi Dove. Dalam sebuah iklan tahun 2011, tiga perempuan yang kulitnya makin lama makin pucat berdiri dililit handuk di bawah papan bertuliskan “Sebelum” dan “Sesudah”, menyiratkan transisi menuju kulit lebih terang adalah janji kecantikan gemerlap Dove. (Dove kemudian mengatakan ketiga perempuan itu merepresentasikan gambaran “sesudah”).

Banyak komentar geram merujuk pada ungkapan metaforis tentang bayi-bayi dan perempuan kulit hitam dicuci sampai putih. Australia punya kasus tersendiri di front ini. Ahli sejarah Gamilaraay Yuwaalaraay Frances Peters–Little (produser film dan artis pertunjukan) menuntut permintaan maaf Dove. Dia mengunggah sebuah iklan sabun Nulla Nulla dari tahun 1901 di Facebook untuk menunjukkan betapa jauhnya jangkauan rasisme melalui ungkapan metaforis terasa dalam iklan-iklan Dove.

Sebuah iklan sabun Nulla Nulla dari tahun 1901. Author provided

Penulis aborigin Wiradjuri Kathleen Jackson juga menulis tentang iklan Nulla Nulla dan bandul kalung (kingplate), sebuah tanda yang diberikan oleh para pemukim kulit putih kepada orang-orang Aborigin, bertuliskan “DIRT” (kotoran). Dia menjelaskan bahwa putih dipandang sebagai kemurnian, sedangkan hitam dipandang sebagai kotoran, dan tugas para kolonialis adalah menghapuskannya dari muka bumi. Iklan itu menunjukkan bahwa sabun imperial memiliki kekuatan untuk melenyapkan kepribumian.

Ini sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dengan jelas ditujukan untuk melenyapkan “orang asli”. Di Australia politik asimilasi didasarkan pada fantasi ilmiah yang sepenuhnya menyesatkan tentang “asimilasi biologis”, bahwa kulit gelap dan ciri-ciri masyarakat adat bisa dilenyapkan melalui “pembersihan kulit berwarna (breeding out the colour)”.


Baca juga: Hugh Hefner, ‘Playboy'dan menjadi laki-laki di era Perang Dingin


Di New South Wales, anak-anak perempuan “campuran” diambil dari keluarga mereka dan ditempatkan sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang kulit putih, di mana diasumsikan laki-laki kulit putih “kelas rendah” akan menikahi mereka. Mereka pun sering kali rentan terhadap kekerasan seksual. Setiap anak yang dihasilkan, bagaimanapun repoduksinya, akan memiliki kulit lebih terang dengan sendirinya karena agen pemutih sperma laki-laki kulit putih.

Para ibu Aborigin dituduh tidak higienis dan sembrono. Sesungguhnya, mereka berjuang keras mengatasi kekurangan yang sering tidak masuk akal untuk menjadikan anak-anak mereka sebersih mungkin dengan harapan polisi tidak punya cukup alasan untuk mengambil mereka.

Kecantikan sejati?

Kebersihan dan kesucian, putih dan kompetensi keibuan: inilah luka-luka yang ditaburi Dove dengan garam iklan buta sejarahnya. Iklan itu tanpa sengaja mengusik perlawanan dan ketahanan keluarga-keluarga Aborigin yang secara turun-temurun menghadapi fragmentasi, administrasi drakonian dan pengawasan tidak mengenakkan oleh para petugas negara. Rabun dekatnya yang menyiratkan karakterisasi kecantikan sebagai buah dari penyingkiran yang hitam sungguh sulit dipahami.

Pada tahun 2004, Dove memulai sebuah kampanye bagi “Real Beauty”. Ia menyatakan diri sebagai “agen perubahan untuk mendidik dan menginspirasi pada gadis tentang definisi lebih luas kecantikan dan membuat mereka merasa lebih percaya diri”. Film-film pendek online Dove tentang standar kecantikan—termasuk Daughters, Onslaught, Amy dan Evolution—mendapat anugerah-anugerah penghargaan periklanan internasional.

Tetapi Dove juga ikut bersama Unilever dalam Fair and Lovely, sebuah produk dan merek pemutih kulit yang dikembangkan di India pada tahun 1975. Perusahaan sepupu Dove ini mengklaim agen pemutihnya sebagai “krim pemutih” No. 1 dan ampuh untuk mengaktifkan “sistem vitamin Fair and Lovely yang membuat bersinar kulit berwarna sekalipun”. Produk ini dijual di lebih dari 40 negara.

Produk-produk pemutih kulit (ada juga Fair and Handsome untuk pria, tidak ada hubungannya dengan Unilever) populer di Asia, di mana lebih dari 60 perusahaan bersaing di pasar yang bernilai sekitar AS$18 miliar. Produk-produk tersebut mengukuhkan hierarki sosial di sekitar kasta dan etnis. Sejak tahun 1920-an politik rasial pemutih kulit sudah menyebar ke seluruh dunia ketika kapitalisme konsumen menjamah Cina, India, dan Afrika Selatan.

Dove menanggapi iklan kontroversialnya dengan mengatakan bahwa “keragaman kecantikan sejati… adalah inti keyakinan kami”. Tetapi “inti” tampaknya cuma sebatas kulit ketika ia gagal menembus pori-pori perusahaan induk dan anak-anak perusahaannya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now