Menu Close
antisemitisme
Kaca patri yang menggambarkan legenda orang Yahudi yang mencuri roti sakramental, di Katedral Brussel. Shutterstock/jorisvo

Antisemitisme: bagaimana asal-usul kebencian tertua dalam sejarah masih awet hingga saat ini

Antisemitisme tengah menguat. Mulai dari demonstran sayap kanan di Charlottesville, Virginia, dengan yel-yel “Darah dan Tanah” dan plakat “Yahudi tidak akan menggantikan kami” hingga serangan terhadap sinagoge di Swedia, serangan pembakaran terhadap restoran Yahudi di Prancis, dan lonjakan kejahatan kebencian terhadap orang Yahudi di Inggris. Antisemitisme tampaknya telah diberikan kesempatan hidup kembali.

Konflik tak berkesudahan di Timur Tengah telah memperburuk masalah ini karena menimbulkan politik dalam negeri yang memecah belah di Barat. Namun, apakah perkembangan antisemitisme terkait dengan kebangkitan populisme sayap kanan atau pengaruh fundamentalisme Islam?

Satu hal yang jelas. Antisemitisme ada dan semakin memburuk.

Antisemitisme muncul dalam setiap aspek kehidupan publik, baik perdebatan di internal partai politik ataupun dengan tuduhan konspirasi jaringan atau komplotan dalam politik dan bisnis. Aspek lainnya: tuduhan bahwa perilaku predator seksual pesohor Hollywood, Harvey Weinstein, yang dihubung-hubungkan dengan asal-usulnya sebagai orang Yahudi.

Namun, fokus pada konteks antisemitisme modern dapat membuat kita melewatkan sebuah kenyataan yang sangat penting dan menyedihkan. Jeffrey Goldberg, editor majalah The Atlantic, mengatakan dengan tepat bahwa apa yang kita lihat saat ini adalah permusuhan kuno dan tertanam kuat terhadap orang Yahudi. Hal ini muncul kembali seiring dengan surutnya peristiwa-peristiwa biadab Perang Dunia II dari ingatan kolektif kita.

Goldberg mengatakan bahwa selama 70 tahun, di bawah bayang-bayang kamp kematian, antisemitisme tidak dapat diterima secara budaya, politik, dan intelektual. Namun, kini “kita menyaksikan … akhir dari sebuah zaman yang tidak biasa dalam kehidupan Eropa, zaman aksi pasca-Holocaust kepada kaum Yahudi”.

Tanpa pemahaman tentang akar kuno antisemitisme, makna kelam dari tren saat ini mungkin tidak sepenuhnya dipahami. Akibatnya, kebencian dapat semakin memengaruhi opini publik.

Antisemitisme disebut sebagai kebencian tertua dalam sejarah sekaligus dapat berlangsung kapan saja. Kebencian ini diukir dari–dan ditopang oleh–preseden kuat dan stereotip yang turun-temurun.

Namun, antisemitisme juga memiliki beragam bentuk untuk mencerminkan ketakutan dan kecemasan terus-menerus akibat dunia yang terus berubah. Jika dipahami dengan cara ini, antisemitisme adalah manifestasi modern dari prasangka kuno–yang menurut beberapa ahli telah ada sejak zaman kuno dan abad pertengahan.

Tradisi kebencian kuno

Kata “antisemitisme” dipopulerkan oleh seorang jurnalis Jerman Wilhelm Marr. Dia menerbitkan tulisan Der Sieg des Judentums über das Germentum (Kemenangan Yahudi atas Kerjermanan) pada 1879.

Secara lahiriah, Marr adalah seorang yang sepenuhnya sekuler dari dunia modern. Dia secara eksplisit menolak tuduhan-tuduhan Kristen kuno yang tidak berdasar dan sudah lama dilontarkan terhadap orang Yahudi. Misalnya seperti pembunuhan atau bahwa orang Yahudi terlibat dalam ritual pembunuhan anak-anak Kristen.

Sebaliknya, ia menggunakan teori-teori yang modis dari akademisi Perancis Ernest Renan (yang memandang sejarah sebagai kontes pembentukan dunia antara bangsa Semit Yahudi dan bangsa Arya Indo-Eropa).

Marr berpendapat bahwa ancaman Yahudi terhadap Jerman bersifat rasial. Menurut dia, hal itu lahir dari sifat mereka yang tidak dapat diubah dan merusak, “keunikan kesukuan” dan “esensi asing” mereka.

Seorang antisemit seperti Marr berusaha keras untuk mendapatkan kehormatan intelektual dengan menyangkal adanya hubungan antara ideologi modern dan sekuler mereka dengan kefanatikan takhayul di masa lalu yang irasional. Ini adalah taktik yang digunakan oleh beberapa antisemit kontemporer yang menyelaraskan diri mereka dengan “anti-Zionisme”, sebuah ideologi dengan definisi yang menimbulkan banyak kontroversi. Namun, permusuhan yang terus berlanjut terhadap orang Yahudi sejak zaman pra-modern hingga modern ini memengaruhi banyak orang.

Sejarawan Amerika Joshua Trachtenberg selama Perang Dunia II mencatat:

Antisemitisme modern yang disebut ‘ilmiah’ bukanlah ciptaan Hitler… hal ini telah berkembang terutama di Eropa tengah dan timur. Di kawasan ini gagasan dan kondisi abad pertengahan bertahan hingga hari ini. Konsepsi abad pertengahan tentang orang Yahudi yang mendasari sikap antipati emosional terhadap telah dan masih berakar kuat di sana.

antisemitisme
Situs Holocaust di Auschwitz, Polandia. Shutterstock/IgorMartis

Faktanya, hingga Holocaust, antisemitisme berkembang di Eropa Barat sama besarnya dengan di Eropa Tengah atau Timur. Sebagai contoh, lihatlah bagaimana masyarakat Prancis terpecah selama 1894 - 1906. Pemicunya adalah kekeliruan tuduhan dan hukuman bagi perwira militer Yahudi, Kapten Alfred Dreyfus. Saat itu kaum konservatif berhadapan dengan kaum liberal dan sosialis, kaum Katolik melawan kaum Yahudi.

Namun, ucapan Trachtenberg tidak diragukan lagi saat menyatakan bahwa banyak penggagas antisemitisme modern yang terpengaruh oleh tradisi fanatisme buta terhadap agama berkembang di abad pertengahan. Misalnya, Sergei Nilus, seorang rusia sekaligus Editor buku Protocols of Zion yang terkenal–sebuah pemalsuan yang kasar dan jelek, tetapi sangat berpengaruh.

Buku ini menuduh adanya konspirasi dunia oleh Yahudi, sedangkan Sergei adalah seorang reaksioner politik, ultra-Ortodoks, dan pemuja hal-hal mistik.

Nilus–yang dirundung ketakutan dan kebencian terhadap moderrnitas yang menantang agama tradisional, hierarki sosial, dan budaya–meyakini kedatangan Antikristus sudah dekat. Mereka yang tidak meyakini keberadaan “para tua-tua Zion” hanyalah korban dari “tipu daya Setan yang paling besar”.

Jadi, antisemitisme modern tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari para pendahulunya di zaman pramodern. Seperti yang diamati oleh teolog Katolik, Rosemary Ruether:

Mitos Yahudi, yang merupakan musuh konspiratif abadi bagi iman, spiritualitas, dan penebusan Kristen, … dibentuk untuk menjadi kambing hitam bagi [penyakit] masyarakat industri sekuler.

Antisemitisme zaman antik?

Beberapa pakar akan melihat ke dunia pra-Kristen dan melihat sikap orang Yunani dan Romawi kuno sebagai asal mula bagi awetnya sikap antisemit. Ahli Studi Agama Peter Schäfer mepercayau sifat eksklusif dari keyakinan monoteistik Yahudi, perasaan angkuh yang tampak sebagai umat pilihan, penolakan untuk kawin campur, ketaatan pada hari Sabat, dan praktik sunat merupakan hal-hal yang menandai orang-orang Yahudi pada masa kuno sebagai umat pilihan.

antisemitisme
Politikus Romawi Kuno, Cicero. Shutterstock/sibfox

Usaha menemukan contoh-contoh permusuhan terhadap orang Yahudi dalam sumber-sumber klasik tidaklah sulit. Politikus dan pengacara Cicero, 106-43 SM, pernah mengingatkan seorang juri tentang “bau emas Yahudi” dan bagaimana mereka “[tetap bersatu]” dan “berpengaruh dalam pertemuan-pertemuan informal”.

Sejarawan Romawi Tacitus, 56-120 M, merasa jijik dengan adat istiadat Yahudi yang “rendah dan menjijikkan”. Dia merasa sangat terganggu dengan rekan-rekan sebangsanya yang telah meninggalkan dewa-dewa nenek moyang dan beralih ke agama Yahudi.

Penyair dan satiris Romawi Juvenal, sekitar tahun 55-130 M, juga mengungkapkan rasa jijiknya terhadap perilaku para pemeluk Yahudi. Dia juga mencela orang Yahudi secara umum sebagai pemabuk dan pembuat onar.

Beberapa contoh di atas mungkin menunjukkan adanya antisemitisme di zaman dahulu. Namun, hanya ada sedikit alasan untuk meyakini bahwa orang Yahudi merupakan objek dari prasangka tertentu di luar penghinaan dari orang Yunani dan Romawi terhadap “orang barbar”–terutama orang-orang yang ditaklukkan dan dijajah.

Juvenal sama kasarnya terhadap orang Yunani dan orang asing lainnya di Roma seperti halnya terhadap orang Yahudi. Dia mengeluh dengan pahit: “Saya tidak tahan … kota Roma yang berbau Yunani. Namun, bagian mana dari ampas yang berasal dari Yunani?” Ketika prasangka Juvenal telah diketahui sepenuhnya, komentar-komentar sinisnya tentang orang Yahudi dapat dipahami sebagai pertanda adanya xenofobia yang meluas.

‘Para pembunuh Kristus’

Dalam teologi awal orang Kristen kita dapat menemukan dasar-dasar antisemitisme yang paling jelas. Tradisi Adversus Judaeos (argumen yang menentang orang Yahudi) telah ada sejak awal sejarah agama ini.

Sekitar tahun 140 M, seorang pembela Kristen Justin Martyr mengajar di Roma. Dalam karyanya yang paling terkenal, Dialogue with Trypho the Jew (Dialog dengan Trypho orang Yahudi), Justin berusaha keras menjawab Trypho ketika dia menunjukkan kontradiksi orang Kristen yang mengaku menerima kitab suci Yahudi tetapi menolak untuk mengikuti Taurat (kitab Yahudi).

Justin menjawab bahwa perintah hukum Yahudi hanya ditujukan kepada orang Yahudi sebagai hukuman dari Allah. Meskipun masih menerima kemungkinan keselamatan orang Yahudi, ia berpendapat bahwa perjanjian lama telah selesai. Dia mengatakan kepada Trypho: “Engkau harus memahami bahwa [karunia-karunia kemurahan Allah] yang sebelumnya ada di antara bangsamu telah dialihkan kepada kami.”

Namun, keprihatinan Justin sebenarnya bukan pada orang Yahudi, melainkan dengan sesama orang Kristen. Saat perbedaan antara Yudaisme dan Kekristenan masih kabur dan sekte-sekte saling bersaing mendapatkan pengikut, ia berusaha keras untuk mencegah orang-orang Kristen non-Yahudi untuk mematuhi Taurat. Tujuannya agar mereka tidak berpaling sepenuhnya kepada Yudaisme.

Pencelaan orang Yahudi adalah bagian utama dari strategi retorika Justin. Dia menuduh Yahudi bersalah karena menganiaya orang-orang Kristen dan telah melakukannya sejak mereka “telah membunuh Kristus”. Tuduhan yang buruk ini kemudian dilontarkan lagi dalam karya-karya Bapa Gereja lainnya, seperti Tertulianus (160-225 M) yang menyebut “sinagoge Yahudi” sebagai “air mancur penganiayaan”.

Tujuan dari penggunaan kata makian tersebut adalah untuk menyelesaikan perdebatan internal jemaat Kristen. “Orang Yahudi” dalam tulisan-tulisan ini adalah simbolis. Tuduhan-tuduhan tersebut tidak mencerminkan perilaku atau kepercayaan orang Yahudi yang sebenarnya.

Ketika Tertulianus berusaha menyanggah ajaran dualisme dari bidaah Kristen Marcion (sekitar tahun 144 M), ia perlu menunjukkan bahwa Allah yang pendendam dalam Perjanjian Lama merupakan Allah yang penuh belas kasihan dalam Perjanjian Baru. Caranya, dia menampilkan orang-orang Yahudi sebagai orang-orang yang sangat jahat dan sangat layak untuk menerima kemarahan yang benar.

Dengan demikian, Tertulianus berargumen, bahwa perilaku orang Yahudi dan dosa-dosa orang Yahudi menjelaskan perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Untuk menunjukkan kebencian yang aneh ini, Tertulianus menggambarkan orang Yahudi sebagai orang yang menyangkal para nabi, menolak Yesus, menganiaya orang Kristen, dan pemberontak Tuhan.

Stereotip-stereotip tersebut kemudian membentuk sikap orang Kristen terhadap orang Yahudi sejak akhir zaman kuno hingga abad pertengahan. Akibatnya, komunitas Yahudi rentan terhadap gelombang persekusi. Tengoklah tragedi pembantaian, York pada tahun 1190, hingga “pembersihan etnis”, seperti yang terlihat pada pengusiran dari Inggris pada 1290, Prancis pada 1306, dan Spanyol pada 1492.

antisemitisme
Potret Martin Luther oleh Lucas Cranach, 1529. Shutterstock/EverettHistorical

Meskipun prasangka buruk ini membikin banyak orang menderita, antisemitisme sebagai sebuah konsep justru lebih sering terjadi karena kekuatan simbol dan retorikanya. Sejarawan Amerika David Nirenberg menyimpulkan bahwa “anti-Yahudi adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk hampir semua masalah, sebuah senjata yang dapat digunakan di hampir semua bidang”.

Senjata ini telah digunakan selama berabad-abad dengan efek yang menghancurkan. Ketika Martin Luther menggelegar menentang Kepausan pada 1543, ia mengecam Gereja Roma sebagai “Sinagoge Iblis” dan ortodoksi Katolik sebagai “Yahudi” dalam keserakahan dan materialismenya.

Pada 1790, seorang konservatif Anglo-Irlandia Edmund Burke menerbitkan manifestonya: Reflections on the Revolution in France, dan mengutuk kaum revolusioner sebagai “pialang Yahudi” dan “Yahudi Tua”.

Dari Marxisme ke Hollywood

Meskipun Karl Marx sebagai keturunan Yahudi, paham Marxisme sejak awal kelahirannya telah tercemar oleh antisemitisme. Pada 1843, Karl Marx mengidentifikasi kapitalisme modern sebagai hasil dari Proses “Yudaisasi” orang Kristen:

“Orang Yahudi telah membebaskan dirinya dengan cara Yahudi, tidak hanya mencaplok kekuatan uang tetapi juga melalui dia dan juga terpisah darinya. Uang telah menjadi kekuatan dunia dan semangat praktis orang Yahudi telah menjadi semangat praktis orang Kristen. Orang-orang Yahudi telah membebaskan diri mereka sendiri sejauh orang-orang Kristen telah menjadi orang Yahudi … Uang adalah tuhan Israel yang cemburu, yang di hadapannya tidak ada tuhan lainnya yang dapat bertahan … Allah orang Yahudi telah disekulerkan dan telah menjadi tuhan dunia.

Masih ada orang-orang, dari seluruh spektrum politik, yang bersiap menggunakan apa yang disebut Nirenberg sebagai "bahasa pertentangan paling kuat yang tersedia” dalam wacana politik Barat–biasanya menggunakan istilah konspirasi, jaring, dan jaringan.

Pada 2002, media New Statesman yang berhaluan kiri memuat artikel-artikel karya Dennis Sewell dan John Pilger. Keduanya memperdebatkan keberadaan “lobi pro-Israel” di Inggris.

Artikel-artikel mereka, bagaimanapun, terbukti tidak terlalu kontroversial dibandingkan dengan ilustrasi sampul yang dipilih untuk memperkenalkan tema ini. Mereka menggunakan kiasan-kiasan yang sudah dikenal tentang intrik-intrik rahasia Yahudi dan dominasi mereka dalam kepentingan nasional: Bintang Daud berwarna emas yang disandarkan di bendera Inggris, dengan judul: “Sebuah Konspirasi Kosher?”

Tahun berikutnya, anggota parlemen veteran dari Partai Buruh, Tam Dalyell, menuduh perdana menteri saat itu, Tony Blair, “terlalu dipengaruhi oleh komplotan penasihat Yahudi (cabal of Jewish advisers)”. Bahasa tersebut masih digunakan sampai sekarang.

Di sisi kanan, kelompok supremasi kulit putih cepat memproyeksikan fantasi mereka tentang penyimpangan dan kekuasaan Yahudi ke dalam peristiwa-peristiwa kontemporer–meski tampak tidak relevan. Terlihat jelas pada bulan Agustus 2017, persoalan masa depan tugu peringatan yang mengagungkan para pemberontak atas kelompok union (pendukung bentuk negara Amerika Serikat saat ini) dan membela perbudakan selama Perang Saudara Amerika menjadi fokus perdebatan sengit di AS.

Di Charlottesville, Virginia, para demonstran yang memprotes pemindahan patung Jenderal Konfederasi Robert E Lee, mulai meneriakkan “Yahudi tidak akan menggantikan kita”. Ketika jurnalis Elspeth Reeve menanyakan alasannya, sang demonstran menjawab bahwa kota itu “dijalankan oleh komunis Yahudi”.

Ketika The New York Times menerbitkan tuduhan pelecehan seksual serius oleh Weinstein pada bulan Oktober 2017, kelompok sayap kanan cepat menganggapnya sebagai perwakilan dari “musuh abadi yang berkonspirasi” bagi seluruh masyarakat Amerika.

David Duke, mantan ketua Ku Klux Klan, menulis di situs webnya bahwa “kisah Harvey Weinstein… adalah sebuah studi kasus tentang sifat korosif dari dominasi Yahudi atas industri media dan budaya kita”.

‘Kebencian di zaman kita…’

Menanggapi bahasa seperti itu, Emma Green dari The Atlantic berkomentar dengan jitu tentang bagaimana “daya tahan kiasan anti-Semit dan mudahnya kiasan tersebut meluncur ke dalam segala bentuk fanatisme buta. Ini menjadi pengingat yang mengerikan bahwa kebencian di zaman kita berirama dengan sejarah dan dengan mudah disalurkan melalui desas-desus anti-Semit yang tak lekang oleh waktu.”

antisemitisme
Coretan bertuliskan ‘Israhell’ di samping swastika di sebuah dinding di Victoria, London, pada bulan April 2017. Yui Mok/PA Wire/PA Images

Tren melonjaknya pertunjukan kejahatan antisemit merupakan bahaya yang nyata. Cara berpikir yang aneh tentang dunia ini selalu berpotensi mengubah kebencian terhadap simbol Yahudi menjadi penganiayaan terhadap orang Yahudi. Sejak meningkatnya insiden antisemit sejak 2017, kita saat ini dihadapkan pada prospek yang meresahkan bahwa fanatisme buta sedang ‘dinormalisasi’.

Sebagai contoh, Kongres Yahudi Eropa menyatakan “keprihatinan besar” atas peningkatan tindakan antisemit di Polandia di bawah pemerintahan Hukum dan Keadilan sayap kanan yang memenangkan pemilihan parlemen 2015 dengan nyaris mutlak.

Kelompok tersebut mengatakan bahwa pemerintah “menutup … komunikasi dengan perwakilan resmi komunitas Yahudi”. Ada juga “proliferasi ‘slogan-slogan fasis’ dan komentar-komentar yang meresahkan di media sosial dan televisi, serta pengibaran bendera-bendera kelompok nasionalis … dalam upacara-upacara kenegaraan”.

Menanggapi kekhawatiran ini, sebuah survei yang menyelidiki antisemitisme di Uni Eropa dihelat pada 2018. Survei ini dipimpin oleh Badan Uni Eropa untuk Hak Asasi Manusia.

Direktur badan tersebut, Michael O'Flaherty, berkomentar, dengan tepat, bahwa: “Antisemitisme tetap menjadi kekhawatiran besar di seluruh Eropa meskipun ada upaya berulang kali untuk membasmi prasangka kuno ini.”

Mengingat dalamnya akar sejarah fenomena antisemitisme dan kemampuannya yang dapat diciptakan kembali kapan pun, kita akan sangat mudah untuk menjadi pesimis mengenai prospek upaya lain untuk “membasminya”.

Kesadaran historis akan sifat antisemitisme dapat menjadi sekutu kuat bagi mereka yang ingin melawan prasangka. Kiasan dan sindiran kuno mungkin saja tersembunyi di balik selubung modern, tetapi tuduhan-tuduhan yang diucapkan dengan lembut tentang “lobi” dan “komplotan” konspiratif harus diakui sebagai sesuatu yang nyata: mobilisasi bahasa dan ideologi kebencian kuno tidak boleh ada lagi di zaman kita.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now