Menu Close

Apa itu Hak Angket DPR? Dapatkah digunakan untuk batalkan putusan batas usia capres-cawapres?

Hakim Konstitusi Anwar Usman usai memberikan keterangan pers di Mahkamah Konstitusi (MK), setelah statusnya sebagai Ketua MK diberhentikan. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinto Pasaribu, dalam rapat Rapat Paripurna hari Selasa, 31 Oktober 2023, mengusulkan parlemen untuk menggunakan hak angket terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Putusan MK tersebut menetapkan bahwa Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa batas minimum usia capres maupun cawapres saat pencaloan adalah “paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Putusan ini telah menjadi kontroversi publik. Masyarakat meyakini bahwa putusan tersebut sengaja dibuat guna membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai pasangan cawapres. Gibran saat ini telah ditetapkan sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto untuk bertanding dalam Pemilu 2024.

Menurut Masinton, putusan MK tersebut dapat mengakibatkan Indonesia mengalami tirani konstitusi. Tirani kekuasaan merupakan kekuasaan yang berpusat pada kekuasaan individu atau kelompok dan potensi pelanggaran UUD 1945 atas nama pragmatisme politik sempit semata.

Namun, apa itu hak angket? Bagaimana penerapannya? Dan apakah putusan peradilan, termasuk putusan MK, dapat menjadi objek angket DPR?

Tentang hak angket DPR

Hak angket pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke-14. Kemunculannya bermula dari tuntutan akan adanya hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan dalam administrasi pemerintahan. Ini kemudian disebut right of impeachment atau hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan.

Di Indonesia, hak angket pertama kali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lalu pada tahun 1954 diterbitkan UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR yang memberikan wewenang bagi DPR untuk menyelidiki (enquete) aturan-aturan yang ada.

Regulasi hak angket terdapat dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

Hak angket kemudian diperjelas dalam Pasal 79 Ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menyatakan bahwa hak angket adalah “hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.

Hak angket juga menjadi salah satu hak DPR yang melekat pada fungsi dan jabatannya, sehingga diletakkan sebagai hak institusi atau hak kelembagaan.

Contoh penggunaan hak angket DPR pada 2009 terhadap Bank Century. Kala itu, DPR menggunakan hak angket terkait pencairan dana bantuan oleh pemerintah untuk Bank Century senilai Rp 6,7 triliun yang dianggap mencurigakan.

Dapatkah hak angket membatalkan putusan MK?

Respons masyarakat terhadap putusan MK tentang batas usia capres-cawapres sangat luar biasa. Banyak kelompok masyarakat yang melakukan aksi protes terhadap dinasti politik–mengarah pada Jokowi yang tampaknya kini tengah mempersiapkan dinasti kekuasaan untuk anak-anaknya.

Tidak hanya itu, proses yang terjadi di MK pun diyakini memuat banyak pelanggaran etika. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etika dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK.

Namun, jika merujuk pada UU MD3, disebutkan bahwa UU dan kebijakan pemerintah yang dimaksud sebagai objek hak angket dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Maka, MK sebagai lembaga yudikatif tidak masuk kategori/objek yang putusannya dapat diangket DPR.

Terkait kemungkinan pembatalan putusan MK, jika pun terbukti adanya cacat formil dan materiil dalam proses pengambilan keputusannya, putusan tersebut langsung berlaku begitu dinyatakan dalam lembaran negara. Semua putusan MK bersifat final dan mengikat, artinya langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Tidak bisa dibayangkan jika putusan MK dapat dibatalkan, maka akan timbul kegaduhan hukum dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.

Dengan demikian, jelas secara bahwa hukum putusan MK itu tidak bisa dibatalkan, melainkan harus ditindaklanjuti oleh lembaga terkait guna mengisi kekosongan hukum.

UU sebagai produk hukum sering kali tidak jelas rumusan dan normanya, sehingga perlu penjelasan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan. Jangan sampai lembaga legislatif seperti DPR salah kaprah dalam menginterpretasikan hak dan tugasnya sehingga membuat kegaduhan di tengah masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now