Menu Close

Apa itu stoikisme? Mengenal aliran filsafat pengendali diri dan pencegah depresi

Patung Epictetus, seorang filsuf Yunani Stoic yang punya pandangan hidup stoisisme, di Roma, Italia. Luc Emergo/Shutterstock

Laju perubahan yang terus meningkat memaksa kita untuk semakin sadar akan realitas dunia yang dibanjiri oleh ketidakpastian dan kompleksitas akan berbagai perubahan.

Contohnya di industri digital. Televisi, yang sebelumnya “nyaman” dengan dominasinya dalam menyediakan konten hiburan, kini mulai tertinggal oleh popularitas platform digital seperti YouTube, Netflix, dan sebagainya. Contoh lainnya adalah industri ritel, dengan toko fisik yang semakin tergusur bisnis online.

Belum lagi fenomena aktivitas di media sosial yang tanpa disadari terus menuntut penggunanya untuk selalu tampil sempurna dalam sebuah citra diri yang purna. Kondisi-kondisi semacam ini dapat menciptakan tekanan psikologis yang akut dan terstruktur yang membuat kita menjadi pribadi yang mudah cemas, mudah iri, insecure atas diri kita sendiri, hingga kita kerap merasa rendah diri–ini tak jarang berujung depresi.

Segala macam ketidakpastikan yang kita hadapi di era sekarang ini seringkali mengakibatkan krisis identitas, yaitu sebuah kondisi psikologis ketika seseorang merasa kehilangan arah, bingung, bahkan tidak mengenal diri mereka yang sebenarnya.

Sebagai seorang akademisi dan pembaca filsafat, yang kebetulan juga seorang pejuang kesehatan mental, saya sampai pada satu kesimpulan reflektif bahwa salah satu alternatif untuk mengatasi depresi, krisis identitas, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya adalah dengan menerapkan prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme (stoicism) alias melalui refleksi diri.

Stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang banyak mengajarkan mengenai kendali diri. Dengan memahami prinsip ini, kita dapat mengubah perspektif tentang hidup dan menjadi lebih mampu menghadapi tantangan dengan sikap yang lebih bijaksana dan tenang.

Apa itu stoikisme?

Stoikisme berasal dari bahasa Yunani stoikos” atau stoa. Istilah ini merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena, Yunani, tempat Zeno, filsuf terkemuka dari Citium memberikan pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM.

Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.

Penggunaan istilah “stoik” lebih merujuk pada bundaran tiang penopang yang mendukung teras tempat Zeno mengadakan diskusi dan pengajaran.

Secara umum, sejarah stoikisme dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, ada Stoa awal yang mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno (334–262 SM), Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (331–232 SM). Kedua, ada Stoa perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM). Pamungkasnya, terdapat Stoa akhir atau yang juga dikenal sebagai Stoikisme Romawi yang dipengaruhi oleh pemikiran Lucius Annaeus Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180 M).

Buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme karya A. Setyo Wibowo mengungkapkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang cenderung lebih fokus pada aspek-aspek yang berada di luar jangkauan atau kendali mereka.

Padahal, kunci untuk mencapai kebahagiaan, kekuatan diri, dan kebijaksanaan sebenarnya terletak pada kemampuan kita untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada di dalam kendali kita, bukannya terjebak dalam kecemasan terhadap hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan.

Dalam pandangan stoikisme, pentingnya fokus pada apa yang dapat kita kontrol adalah fondasi dari kebijaksanaan dan ketenangan batin. Sebab, meskipun kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal atau menghindari ketidakpastian, kita memiliki kendali penuh atas bagaimana kita meresponsnya.

Manfaat stoikisme

Setidaknya ada empat manfaat yang bisa kita dapatkan dari prinsip stoikisme dalam menjalankan hidup di tengah gempuran transformasi teknologi yang cepat dan masif.

Pertama, stoikisme menekankan pentingnya mengelola reaksi emosional kita terhadap peristiwa-peristiwa yang berada di luar kendali kita. Sebagai contoh, ketika kita menerima berita buruk atau menghadapi situasi sulit, kita diajak untuk mengendalikan respons emosional kita, sehingga kita dapat menjaga ketenangan dan menghindari terjerumus dalam perasaan negatif yang dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan fisik.

Kedua, stoikisme mendorong kita untuk secara teratur merenungkan tindakan dan perilaku kita sehari-hari. Dengan menerapkan prinsip ini, kita akan mampu membuat keputusan yang lebih bijaksana dan memahami bagaimana tindakan kita memengaruhi diri kita sendiri dan orang lain.

Ketiga, stoikisme mengajarkan kita untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita (seperti sikap dan tindakan kita) dan hal-hal yang berada di luar kendali kita (seperti tindakan orang lain atau perubahan tak terduga). Niscaya, prinsip ini dapat membantu kita untuk tidak terlalu terbebani oleh kekhawatiran terhadap hal-hal yang tidak dapat kita kontrol, sehingga kita dapat lebih fokus dan efektif dalam mengelola aspek-aspek yang dapat kita pengaruhi.

Keempat, stoikisme mengajarkan pentingnya berempati terhadap orang lain dan melihat kemanusiaan dengan lebih purna. Prinsip ini dapat membantu kita untuk menjadi lebih baik dalam mendukung dan memahami pengalaman orang lain. Saat kita mempraktikkan empati dan kepedulian, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih positif dengan orang-orang di sekitar kita.

Popularitas stoikisme di Indonesia

Di Indonesia sendiri, stoikisme sudah dikenal luas dan menjelma jadi “mantra” untuk hidup bahagia. Di kalangan anak muda, aliran ini sudah cukup populer .

Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang menjabarkan tentang “mahzab” stoikisme dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari ini sudah mencapai cetakan ke-50. Bahkan tidak sedikit komunitas yang telah melakukan diskusi membahas buku ini. Narasi mengenai stoikisme juga dapat dengan mudah kita temukan di sejumlah saluran YouTube, mulai dari yang dibawakan oleh Ferry Irwandi, Raditya Dika, hingga Marissa.

Dari narasi yang beredar, banyak dari penikmat stoikisme merasa bahwa aliran filsafat ini nyata memberikan kedamaian dan ketenangan dalam hidup, memberikan mereka panduan untuk mengatasi kecemasan, stres, dan ketidakpastian.

Dengan kata lain, stoikisme dapat menjadi pencerahan dalam dunia yang tidak pernah berhenti berputar, menawarkan landasan yang kuat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan yang tunggang langgang.

Dengan mencoba menerapkan prinsip-prinsip stoikisme, kita dapat menemukan ketenangan batin dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna, secara khusus bagi kamu para pejuang mental health di manapun kamu berada.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now