Menu Close

Apa jadinya jika Pemilu 2024 ditunda dan terjadi kekosongan kekuasaan?

Stiker pencocokan dan penelitian (Coklit) data pemilih untuk Pemilu 2024 dengan nama pemilih Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana ditempel di pintu di Istana Merdeka, Jakarta. Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, mengamanatkan agar pemilihan umum dilaksanakan secara periodik setiap lima tahun sekali.

Namun, ada kondisi yang dapat menyebabkan perintah konstitusi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hal, misalnya ketika negara mengalami kondisi darurat, baik Darurat Sipil, Darurat Militer, Darurat Perang, maupun Darurat Bencana (alam dan non alam) .

Terjadinya kedaruratan yang berujung pada penundaan pemilu ini pernah dialami juga oleh banyak negara, terutama dalam rentang waktu 2020-2022, ketika COVID-19 melanda. Terdapat 80 negara atau teritori di berbagai belahan dunia yang terpaksa menunda pelaksanaan pemilunya sebagai akibat dari pandemi.

Dalam kondisi normal pun tetap ada potensi terjadinya penundaan pemilu. Misalnya karena perintah dari lembaga peradilan melalui putusan hakimnya. Kondisi inilah yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai PRIMA melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku tergugat. Salah satu putusannya adalah meminta tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ditetapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal dalam 2 tahun 4 bulan 7 hari.

KPU sedang mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan tersebut dengan harapan pemilu akan tetap terlaksana sesuai jadwal. Namun, bila upaya banding, dan mungkin kasasi, yang dilakukan oleh KPU gagal, putusan PN Jakarta Pusat tersebut akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan harus dilaksanakan.

Jika itu terjadi, penyelenggaraan pemilu sudah pasti tidak akan dapat diselenggarakan sesuai jadwal. Ini kemudian akan berakibat pada kekosongan kekuasaan, karena masa jabatan kepemimpinan nasional, baik eksekutif maupun legislatif, akan tetap berakhir pada 2024, sementara penggantinya belum tersedia.

Kekosongan kekuasaan dalam suatu negara merupakan suatu kondisi yang berbahaya dan harus dihindari, karena akan menyebabkan instabilitas politik tingkat tinggi yang berujung pada terancamnya keamanan masyarakat.

Sejarah sebelum kehidupan bernegara

Jika merujuk pada catatan sejarah, peran negara sebagai institusi kekuasaan yang mengatur dan mengelola kehidupan umat manusia secara kolektif merupakan fenomena baru.

Jauh sebelum negara ada, atau dalam keilmuan disebut dengan istilah pra-bernegara, masing-masing individu mengatur urusannya secara mandiri.

Situasinya pada masa pra-bernegara sangat mencekam dan menyeramkan, sebab yang berlaku adalah hukum rimba – yang menang adalah yang kuat. Tidak ada ukuran salah-benar sebab semuanya didasarkan pada kekuatan. Aturan kehidupan bersama hanya ditentukan oleh kemauan dari mereka yang perkasa.

Pihak yang lemah akan sama sekali tidak berdaya dan tidak terlindungi hak dan kepentingannya. Setiap orang berperilaku seenaknya sendiri, tidak ada kekuasaan manapun yang bisa mencegah kesewenang-wenangan individual. Manusia kala itu diistilahkan sebagai Homo homini lupus, yang artinya “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”.

Kengerian dari kondisi kehidupan umat manusia sebelum ada negara ini digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai Bellum Ominium Contra Omnes, atau sebuah perang antar segala melawan semuanya.

Menyadari betapa berbahayanya kehidupan tanpa aturan dan kekuasaan yang dapat menegakkan aturan tersebut kemudian mendorong umat manusia untuk mendirikan negara melalui proses perjanjian masyarakat (social contract).

Desain konstitusional untuk mencegah kekosongan kekuasaan

Negara sebagai institusi tentu tidak bisa bergerak sendiri menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia membutuhkan “personel” agar dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuannya, yaitu menciptakan perdamaian, kesejahteraan, ketertiban, dan sebagainya.

Personel itulah yang kita sebut dengan pejabat negara atau aparatur pemerintahan. Adapun pejabat yang menduduki jabatan tertinggi dalam negara disebut pemimpin negara.

Ada dua prinsip dalam memilih pemimpin, yakni secara monarki dan secara sistem demokrasi.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kanan) dan anggota KPU August Mellaz berdiskusi tentang sikap KPU terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat perihal putusan penundaan Pemilu 2024. Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Dalam negara monarki, pemimpinnya tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditetapkan berdasarkan keturunan, dan tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Seorang pemimpin akan menduduki jabatannya sampai jatah umurnya habis.

Sementara dalam negara demokrasi, pemimpin selalu dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Masa jabatan pemimpin yang terpilih pun dibatasi, sehingga seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin seumur hidup. Negara demokrasi memiliki ciri utama menyelenggarakan pemilu secara periodik.

Karena itu, ketika seorang pemimpin sudah habis masa jabatannya, maka harus dipastikan penggantinya telah tersedia agar tidak menimbulkan kekosongan jabatan. Estafet kepemimpinan wajib dijaga sehingga terjadi kesinambungan bagi jalannya pemerintahan.

Di sinilah pentingnya pemilu dilaksanakan secara terencana yang menurut ketentuan konstitusi Indonesia wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Salah satu contoh nyata dari dampak buruk akibat terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) adalah runtuhnya Yugoslavia. Negara tersebut awalnya adalah negara besar, tapi kemudian terpecah belah menjadi beberapa negara kecil karena muncul disintegrasi.

Peraturan perundangan-undangan di Indonesia sebenarnya sudah mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Misalnya, ketika Wakil Presiden berhalangan di tengah masa jabatannya, menurut Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Presiden berhak untuk mengajukan dua nama sebagai calon pengganti kepada Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) untuk memilih salah satunya sebagai Wakil Presiden.

Jika yang berhalangan tetap adalah Presiden, secara otomatis yang akan menggantikannya adalah Wakil Presiden. Namun apabila yang berhalangan tetap adalah keduanya (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 kendali kekuasaan negara akan dipegang oleh tiga kementerian (triumvirat) yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.

Sayangnya, peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur perihal kekosongan kekuasaan negara yang disebabkan oleh penundaan pemilu. Ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan huru hara massa.

Apa yang harus dilakukan?

Sudah saatnya Indonesia memiliki perangkat hukum yang komprehensif guna mengatur mengenai hal ini. Peraturan dimaksud harus berisi, di antaranya: Pertama, alasan penundaan pemilu. Peraturan perundangan-undangan harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilu boleh ditunda hanya karena terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan itu, harus dilarang.

Kedua, lembaga yang diberi kewenangan memutuskan penundaan pemilu. Sesuai fungsinya yaitu sebagai peradilan tata negara, sebaiknya kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh lembaga peradilan biasa.

Ketiga, lama waktu penundaan pemilu. Terkait hal ini misalnya dapat ditawarkan maksimal 3 bulan dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali sesuai kebutuhan berdasarkan putusan pengadilan.

Keempat, pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa periode pemerintahan sudah berakhir sementara belum dihasilkan penguasa baru akibat pemilunya ditunda. Terkait hal ini, yang paling rasional dan mudah dilakukan adalah dengan memperpanjang masa kekuasaan pemerintahan yang ada sebelumnya.

Dengan adanya peraturan yang mengatur soal penundaan pemilu ini diharapkan ada kepastian hukum. Sehingga bila situasinya mengharuskan pemilu ditunda, tidak akan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang dapat berakibat munculnya kegaduhan sosial dan instabilitas pemerintahan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now