Menu Close

Apa kata kaum muda tentang politik? Riset ungkap kriteria figur dan partai yang diidamkan generasi ‘zaman now’

Pelajar yang menjadi pemilih pemula merekam maskot Pemilu 2024 Sura dan Sulu menggunakan ponselnya saat mengikuti kegiatan sosialisasi oleh KPU Kabupaten Badung, Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian serial “#PemilihMuda2024”

Pemilih muda (rentang usia 17-39 tahun), utamanya generasi milenial dan generasi Z, akan menjadi penyumbang suara terbesar dalam Pemilu 2024. Jumlahnya mencapai lebih dari 107 juta, atau 50-60% dari total 204 juta daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional.

Artinya, secara tidak langsung mereka akan menjadi penentu kebijakan negara dalam politik praktis.

Namun, bagaimana pandangan para kaum muda sendiri terhadap politik elektoral?

Sejak Mei 2023 hingga saat ini, saya melakukan riset mengenai dinamika dan interaksi antara berbagai kelompok individu di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Salah satu subtema pembahasannya adalah pandangan kelompok muda terhadap politik dan Pemilu 2024.

Riset ini melibatkan delapan responden dari berbagai latar belakang profesi dan menggunakan metode wawancara mendalam. Mereka adalah aparatur sipil negara, pedagang pernak-pernik, nelayan, dan sejarawan lokal. Seluruhnya adalah profesi yang banyak berinteraksi dengan masyarakat, sehingga wawancara mendalam dengan mereka bisa mewakili sebagian besar pendapat masyarakat Pulau Derawan.

Rentang usia mereka adalah 30-45 tahun, terdiri dari tiga perempuan dan lima laki-laki. Jumlah penduduk di Pulau Derawan sendiri saat ini hanya sekitar 1.506 orang, dan sebagian besar dari mereka termasuk generasi milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012).

Hasil temuan sementara mengindikasikan adanya dua pandangan yang terbelah terhadap politik.

Pertama, ada yang tertarik dengan politik, sehingga mereka memiliki kriteria dan harapan terhadap para pemimpin politik – figur dan partai politik.

Kedua, ada yang tidak tertarik dengan politik atau dikenal sebagai apolitis, yang menyebabkan mereka tidak memiliki kriteria terhadap calon pemimpin atau pandangan terhadap politik.

Figur dan partai politik di mata kaum muda

Partai politik dan figur-figur politik sebenarnya adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Ini karena keberhasilan partai politik hampir selalu dipengaruhi oleh figur partai politik itu sendiri. Mereka yang mampu memenangkan hati rakyat akan turut memperbesar pengaruh partai politik tersebut.

Enam dari delapan narasumber saya yang mewakili kelompok muda mengaku tertarik dan peduli dengan politik. Sedangkan sisanya apolitis.

Sosialisasi pemilu untuk pemilih pemula KPU Kabupaten Badung, Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Mereka yang peduli dengan politik menjabarkan lebih detail seperti apa kriteria figur pemimpin, figur politik, serta partai politik yang mereka harapkan.

Secara garis besar, ada empat kriteria yang mereka harapkan dari siapa pun pemimpin yang terpilih dari kontestasi politik.

Pertama adalah seiman. Dua dari tiga narasumber perempuan memandang agama sebagai modal utama untuk memilih calon pemimpin masa depan. “Seiman” adalah kata yang pertama kali mereka sebut sebagai kriteria figur politik yang mereka harapkan. Mereka meyakini bahwa ajaran agama mereka - Islam - adalah yang terbaik, sehingga individu yang seiman dianggap cocok untuk memimpin mereka.

Kedua adalah yang memahami kondisi di daerah. Bagi para pemilih muda, baik laki-laki maupun perempuan. Pemahaman terhadap kondisi daerah setempat merupakan hal wajib yang harus dikuasai oleh calon pemimpin politik. Ini mencakup penguasaan bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya setempat. Tidak hanya sekadar selebrasi dan datang kampanye dengan mengenakan pakaian daerah.

Kriteria kedua tersebut, menurut saya, mencerminkan perbedaan mendasar pandangan politik di antara kelompok muda di daerah dan di kota-kota besar.

Kaum muda di daerah, khususnya di Pulau Derawan dan umumnya di Kalimantan Timur, tidak berpikir terlalu ambisius mengenai politik nasional. Mereka lebih tertarik pada isu-isu yang berlangsung di daerah karena berkenaan langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Di kota-kota besar, termasuk ibu kota Jakarta, pandangan politik kaum mudanya terkadang lebih luas dan melewati batas-batas regional. Menurut saya, ini terjadi karena kelompok muda di kota besar lebih mudah mendapatkan informasi, termasuk dari media mainstream. Ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh perkembangan isu-isu terkini, termasuk dalam menentukan arah politik.

Paparan informasi dari media membuat kaum muda dapat dengan cepat mengetahui perkembangan isu-isu nasional, yang kemudian memungkinkan mereka berpikir, berdiskusi, dan merumuskan berbagai formulasi terkait isu tersebut.

Paparan informasi tentunya memberikan dampak positif bagi para kaum muda, membuat mereka menjadi lebih berpengetahuan luas. Namun, ini seringkali secara tidak langsung membuat mereka melupakan masalah yang ada di lingkungan mereka sendiri. Ini karena mereka menganggap bahwa lebih aktif dalam diskusi nasional dapat membuat mereka lebih “terlihat” dan “terkenal.”

Kriteria ketiga adalah politikus atau calon pemimpin harus mampu bekerja berdasarkan kepentingan masyarakat dan aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah.

Contohnya, kaum muda ini mengharapkan adanya pemimpin yang kebijakannya dapat membantu mereka untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan pendidikan di luar Kalimantan, memberikan bantuan agar mereka bisa bekerja di berbagai institusi, dan dapat meningkatkan infrastruktur di daerah.

Petugas Panita Pemungutan Suara (PPS) memberikan informasi terkait tahapan Pemilu 2024 kepada sejumlah pelajar saat kegiatan sosialisasi di Badung, Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Keempat adalah memiliki karakter sederhana dan tidak koruptif. Banyak juga kaum muda yang tidak terlalu memprioritaskan isu agama. Dari delapan narasumber, hanya dua yang memprioritaskan isu agama. Sisanya mereka lebih mengutamakan kualitas dari figur-figur politik tersebut.

Misalnya, mereka lebih suka figur-figur yang tidak pernah terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurut mereka, Indonesia telah dirusak oleh perilaku koruptif. Oleh karena itu, calon pemimpin dengan catatan buruk atau pernah dicurigai terlibat dalam kasus korupsi tidak akan menjadi idola bagi mereka.

Selain itu, “kesederhanaan” juga menjadi kriteria bagi kelompok muda dalam memilih figur-figur politik. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa gaya hidup glamor para politikus adalah contoh buruk dan tidak pantas ditampilkan di depan publik. Ini karena para kaum muda meyakini bahwa penghasilan politikus yang menjadi pemimpin daerah atau negara berasal dari pajak masyarakat.

Temuan riset saya senada dengan hasil penelitian CSIS yang menyatakan bahwa pemimpin masa depan harus memiliki karakter yang jujur, tidak korupsi dan sederhana.

Mengapa masih banyak yang apolitis?

Dua dari delapan narasumber perwakilan kelompok muda di Pulau Derawan menyatakan dua alasan utama mengapa mereka dan kawan-kawan sebaya mereka menjadi apolitis.

Pertama adalah kurangnya pengenalan terhadap sosok calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun nasional. Politikus baru sering kali muncul hanya pada saat masa kampanye, sehingga pemilih muda tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang calon pemimpin tersebut. Ini kemudian membuat pemilih muda merasa bahwa politikus cenderung menjaga jarak dengan masyarakat dan hanya hadir ketika ada kepentingan elektoral.

Warga melintas di depan alat peraga gambar serta nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Yulius Satria Wijaya/Antara Foto

Kedua adalah adanya kekhawatiran terhadap kritik, hujatan, dan penilaian berlebihan dari politikus senior kepada politikus junior. Ini dialami salah satunya oleh Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, yang disebut “anak ingusan” oleh Panda Nababan, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), karena santer diisukan akan maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Referensi pemilih muda dalam memilih

Bagi pemilih muda, terutama pemilih pemula di rentang usia 16-18 tahun, yang paling umum terjadi adalah mengikuti arahan atau pilihan orang tua atau keluarga terdekat lain ketika hendak mencoblos kandidat dalam pemilu.

Ini karena mereka yang berada pada usia tersebut masih tergolong “remaja pertengahan”. Pada usia ini mereka mulai mengalami konflik terhadap kemandirian dan kontrol diri. Otonomi dalam berpikir, termasuk menentukan pilihan mulai tumbuh pada usia ini.

Namun, dalam beberapa situasi, mereka mungkin masih bingung dalam menentukan pilihan sehingga pendapat kedua dan “bimbingan” dari orang sekitar, termasuk orang tua, menjadi perlu.

Kendati demikian, banyak pula pemilih muda yang sudah memiliki preferensi sendiri dalam memilih pemimpin politik dan tidak mau “dikekang” oleh pilihan orang tuanya. Tentunya hal ini sangat tergantung pada karakteristik generasi itu sendiri. Ada yang cenderung menyukai kebebasan, fleksibilitas, kemandirian, teknologi media sosial, dan internet of things (IoT).

Yang lebih penting, ketika berbicara tentang pemilih dari kelompok muda di daerah, preferensi mereka cenderung tertuju pada calon pemimpin yang memahami kondisi di daerah dan bersedia bekerja berdasarkan aspirasi mereka, mengingat bahwa pemimpin tersebut akan mendapatkan penghasilan dari dana publik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now