Menu Close

Apakah aturan Indonesia cukup jitu untuk menghambat praktik greenwashing?

Dalam rangkaian konferensi iklim (COP26) tahun lalu, aktivis lingkungan muda, Greta Thunberg, menyindir perhelatan tersebut sebagai sebagai festival greenwashing global.

Greenwashing dianggap sebagai aktivitas menyesatkan oleh perusahaan melalui klaim bahwa produknya ramah lingkungan, meski faktanya belum tentu demikian.

Konsultan lingkungan dan pemasaran asal Kanada, TerraChoice menjabarkan enam kegiatan yang termasuk dalam kategori greenwashing, mulai dari klaim ‘hijau’ yang hanya sebagian benar, upaya menyembunyikan keburukan suatu perusahaan serta klaim palsu.

Greenwashing berangkat dari meningkatnya pemahaman dan permintaan masyarakat terhadap produk dan/atau jasa yang ramah lingkungan. Hal ini kemudian dilihat sebagai kesempatan pemasaran yang baik bagi pelaku usaha dan berbagai pihak lainnya.

Klaim dusta ramah lingkungan oleh suatu perusahaan bisa berbahaya karena berisiko menghambat upaya penanganan dampak lingkungan yang sebenarnya. Konsumen juga bisa terjerat muslihat karena membeli barang yang tak sesuai dengan faktanya.

Sayang, Indonesia belum memiliki kebijakan dan regulasi tegas guna melindungi masyarakat dari praktik greenwashing.

Regulasi telah tersedia, namun belum memadai

Indonesia terikat dalam komitmen pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), salah satunya terkait aktivitas konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (sustainable consumption and production).

Komitmen yang terintegrasi dalam rancangan pembangunan nasional yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini secara tidak langsung mengisyaratkan pentingnya Anti-Greenwashing dalam perwujudan konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 68 juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu, ihwal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Ada juga ketentuan pendukung dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2014 terkait pencantuman logo ekolabel. Sistem ekolabel ini berfungsi untuk menyatakan suatu produk dalam proses pengolahan bahan bakunya, hingga pembuangan sisa produknya, telah memenuhi aspek lingkungan.

Aturan terkait lainnya termuat dalam Pasal 4 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjabarkan hak fundamental konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Sedangkan dalam Pasal 8, beleid ini turut melarang pelaku usaha untuk menyesatkan konsumen dengan menyatakan seolah-olah barang/jasa telah memenuhi standar mutu tertentu, serta memproduksi dan/atau memperdagangkan produk dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, atau keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

Pelaku yang menerabas larangan ini, seperti termuat dalam Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen, dapat dikenakan pidana berupa penjara maksimum 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Sayangnya, selain aturan-aturan tersebut, belum ada regulasi lain yang mengatur perlindungan publik terkhusus dari praktik greenwashing. Pasalnya, pembahasan praktik greenwashing di tanah air belum populer dan diangkat dalam rangkaian kebijakan.

Akibatnya, pembaharuan peraturan dan penegakan hukum terhadap praktik tersebut belum menjadi prioritas.

Belajar dari Australia

Sama dengan UU Perlindungan Konsumen di Indonesia, Australia memiliki regulasi perlindungan konsumen melalui Australian Consumer Law (ACL). ACL mengatur berbagai bentuk pemasaran dan klaim pada kemasan, pelabelan, periklanan, dan promosi di semua media. Aturan ini juga mengatur sejumlah syarat yang harus ditaati pelaku usaha dalam setiap klaim ramah lingkungannya, termasuk pembuktian klaim dengan pengujian ilmiah.

Bedanya, ada lembaga khusus yakni Australian Competition and Consumer Protection (ACCC) yang dapat menuntut tindakan hukum terhadap pengusaha jika klaim lingkungan dalam produknya berpotensi melanggar ACL.

Salah satu kasus greenwashing teranyar yang ditindak ACCC mulai 2016 terkait dengan pernyataan palsu ihwal kepatuhan produsen kendaraan Volkswagen AG terhadap standar emisi diesel di Australia. Pada 2019 Pengadilan Federal mengamini tuntutan ACCC sekaligus memerintahkan Volkswagen AG untuk membayar denda $125 juta atas klaim dustanya.

Sedangkan di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah lembaga yang dapat berwenang menerima pengaduan terhadap produk maupun aktivitas yang disinyalir melakukan greenwashing.

Kementerian Lingkungan dan institusi negara terkait lainnya dapat meneladani Australia terkait keaktifannya dalam melaksanakan kewenangannya melindungi publik terhadap praktik greenwashing secara serius.

Agar upaya ini optimal, secara normatif pemerintah dapat menerbitkan ketentuan khusus yang sekaligus menjabarkan definisi serta kriteria greenwashing. Kejelasan tersebut dibutuhkan agar menjadi dasar bagi konsumen untuk melakukan pengaduan.

Dalam jangka panjang, Pemerintah juga perlu menetapkan standar dan aktif melakukan pengawasan produk yang mengklaim dirinya ramah lingkungan semangat pencapaian aktivitas produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Ketentuan ini juga perlu diperluas ke sektor perdagangan elektronik hingga periklanan.

Sedangkan bagi masyarakat, perlu ada kesadaran bersama untuk menggalang diskusi dan gerakan anti-greenwashing. Partisipasi pun dapat dilakukan lebih aktif, misalnya melalui gugatan ke pengadilan.

Selain itu, sebagai konsumen, kita mesti selalu bersikap kritis untuk meningkatkan pengetahuan dan kepekaan mengenai apa yang dikenal sebagai kampanye hijau (green marketing).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now