Menu Close

Bagaimana ASEAN menyeimbangkan posisi di tengah rivalitas AS-Cina?

Sesi foto para pemimpin negara-negara ASEAN. Media Center KTT ASEAN 2023

Perselisihan dagang antara dua kekuatan besar, Amerika Serikat (AS) dan Cina, pastinya berpengaruh terhadap ekonomi dunia, termasuk kawasan Indo-Pasifik yang di dalamnya terdapat blok ASEAN. Ini berimbas mulai dari harga berbagai komoditas dan produk hingga investasi asing yang mengalir ke kawasan.

Di sisi lain, beberapa dekade terakhir, kawasan Asia Tenggara telah mengalami pertumbuhan pesat. Ini sebagian besar karena ASEAN kerap berkomitmen untuk menjaga tatanan regionalnya tetap bebas, terbuka, dan setara. Namun, ASEAN pun kini menjadi rentan terhadap dampak rivalitas AS-Cina.

Kedua raksasa ekonomi tersebut kerap tarik menarik dukungan dari negara-negara ASEAN.

Wajar jika ASEAN merasa khawatir dengan meningkatnya rivalitas AS-Cina, yang sangat berpotensi membuat kawasan Asia Tenggara menjadi ladang proxy war (area konfrontasi dua kekuatan besar).

Terkait hal ini, penting bagi ASEAN untuk memperkuat diri agar tidak terlalu bergantung dengan AS maupun Cina–serta aliansinya masing-masing. Dan paling tidak, jangan sampai negara-negara ASEAN lebih condong ke salah satu pihak, karena ini sedikit banyak akan berdampak bagi stabilitas politik dan keamanan di kawasan.

Posisi politik ASEAN

Sepanjang Agustus hingga September 2023 terjadi berbagai peristiwa politik internasional yang cukup berpengaruh pada situasi politik negara-negara Asia Tenggara.

Mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Afrika Selatan, yang tidak dihadiri oleh Presiden Rusia Vladimir Putin karena ancaman penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan penjahat perang, KTT ASEAN ke-43 di Jakarta dengan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023, sampai KTT G20 di India.

Presiden Joko Widodo (kanan) berjalan bersama Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, sebelum ASEAN-US Summit di Jakarta. Dwi Prasetya/Antara Foto

Salah satu isu yang menjadi perbincangan global adalah penerbitan Peta Cina 2023 akhir Agustus lalu oleh pemerintah Cina yang memuat 10 garis putus-putus atau ten-dash line (sebelumnya 9 garis putus-putus atau nine-dash line), memperluas klaimnya atas wilayah Laut Cina Selatan (LCS).

Cina memang sudah lama mengklaim teritorial sepihak LCS, yang berbatasan langsung dengan negara ASEAN; Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam serta perairan Taiwan.

Ini sontak membuat Filipina, Malaysia dan Vietnam, serta India geram dan menolak mentah-mentah eksistensi peta tersebut.

Blok ASEAN sudah memprotes agresivitas Cina tersebut, tetapi hingga kini ASEAN belum menerapkan tindakan keras apapun untuk menjadi solusi sengketa ini.

KTT ASEAN baru-baru ini di Jakarta menerbitkan Jakarta Declaration on ASEAN Concord IV yang tidak memprotes Peta Baru Cina, tetapi hanya menyepakati kode etik Code of Conduct sesuai dengan Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) di LCS.

Ketiadaan protes terhadap Peta Baru Cina pada Deklarasi ASEAN Concord IV bisa jadi karena fokus organisasi regional lebih kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi. ASEAN tampaknya berusaha memisahkannya dengan isu politik.

Merujuk pada konsep balance of power (keseimbangan kekuasaan), jika ada sebuah negara yang kuat di kawasan, maka negara lain hanya mempunyai dua pilihan, bergabung sebagai aliansi atau bergabung dengan aliansi lain dengan tujuan menyeimbangkan kekuatan. Harapannya, keseimbangan bisa membuat negara-negara tidak saling memaksakan kehendaknya atau mengganggu kepentingan negara lain.

Konkritnya, ada Cina yang merupakan negara kuat di kawasan Asia, maka negara lain di kawasan bisa memilih untuk bersekutu dengan Cina atau bersekutu dengan kubu lain–dalam hal ini AS–untuk menyeimbangkan kekuatan di kawasan agar pengaruh Cina tidak terlalu dominan.

ASEAN sebenarnya tidak harus memilih salah satu negara hegemon tersebut, tetapi justru harus menjaga hubungan antar sesama negara anggota. Fokus ASEAN lebih pada kerja sama ekonomi, transformasi digital, kendaraan listrik, dan ekonomi hijau.

Kerja sama ini dapat dilakukan melalui mekanisme Kemitraan Strategis, Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

ASEAN harus fokus pada kerja sama ekonomi baik dengan AS maupun Cina dibandingkan kerja sama aliansi pertahanan keamanan. Tidak perlu memilih salah satu pihak, karena dalam hal ekonomi, keduanya sama-sama penting.

AS dan Cina sama-sama penting bagi ASEAN

Cina adalah mitra dagang terbesar ASEAN selama 12 tahun terakhir. Dengan investasi lebih dari US$310 miliar atau setara Rp4.800 triliun, Cina menjadi sumber Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI) terbesar keempat terhadap negara ASEAN.

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Perdana Menteri Cina Li Qiang sebelum ASEAN-China Summit di Jakarta. Dwi Prasetya/Antara Foto

AS juga merupakan mitra dagang strategis–terbesar keempat bagi ASEAN. Ini menunjukkan kawasan ini menjadi semakin penting bagi dunia usaha dan pemerintah AS.

ASEAN menikmati surplus perdagangan lebih dari US$250 miliar (Rp3.862 triliun) dari AS. Tercatat pada 2021, ASEAN mengekspor mesin dan peralatan listrik senilai US$73 miliar (Rp1.130 triliun), atau 28% dari seluruh ekspor ASEAN ke AS.

Sementara itu, reaktor nuklir, ketel uap, dan bagian-bagiannya menyumbang ekspor sebesar 14% atau senilai US$38 miliar (Rp588 triliun). Pakaian dan aksesori pakaian serta furnitur masing-masing menyumbang sekitar ekspor senilai US$15 miliar (Rp232 triliun), 6% dari total ekspor ASEAN.

Meski kemitraan strategis AS dan Cina penting bagi ASEAN dan harus dipertahankan. Jangan sampai masing-masing negara ASEAN terbawa dalam tarik menarik kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan dari AS maupun Cina. Sentralitas ASEAN harus bebas dari pengaruh eksternal manapun.

Penguatan mekanisme AOIP

Hasil dari KTT ASEAN Ke-34 tahun 2019 di Thailand, mekanisme resolusi konflik ASEAN yang merujuk pada ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) berkomitmen untuk menyelesaikan perselisihan secara damai sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui, termasuk UNCLOS 1982, Piagam PBB, Piagam ASEAN, dan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC).

Pada awalnya AOIP adalah respons terhadap kehadiran Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quadrilateral Security Dialogue) di Indo-Pasifik. Dialog ini biasanya disebut Quad, yakni dialog informal antara AS, Jepang, Australia dan India terkait isu-isu keamanan regional.

Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn menyampaikan pandangan saat Plenary Session KTT ke-43 ASEAN di Jakarta. M Agung Rajasa/Antara Foto

AOIP bisa dijadikan strategi bagi ASEAN dalam menghadapi kontestasi AS-Cina dengan merujuk pada tiga prinsip utama ASEAN: sentralitas, inlusivitas dan saling melengkapi. Sentralitas ASEAN sangat dibutuhkan di tengah dinamika pergeseran geopolitik dan geostrategis di kawasan Indo-Pasifik. Dalam hal ini, AOIP membuka dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali.

Dialog ini juga akan mampu mengedepankan sinergi di tengah berbagai perbedaan konsep Indo-Pasifik dan ditujukan untuk memperkuat mekanisme yang sudah ada dalam menghadapi tantangan regional dan global.

Netral tidak berarti lemah

Ada pemikiran bahwa ASEAN perlu memihak salah satu blok, setidaknya menjadi “halaman belakang” supaya posisi ASEAN lebih kuat dan tidak ragu mengambil keputusan. Hal ini didasarkan pada dinamisnya situasi politik dan keamanan internasional.

Dalam politik global, tidak memihak kadang bisa diasumsikan lemah, karena tidak memiliki aliansi keamanan sebagai daya tawar (bargaining position) yang kuat.

Padahal, membangun infrastruktur dan perekonomian kawasan tidak harus dengan menjadikan kawasan sebagai pangkalan militer baik AS ataupun Cina demi mendapatkan investasi.

ASEAN hanya perlu memegang teguh prinsip non-alignment, yang artinya ASEAN tidak ikut pada kutub atau kekuatan manapun, demi menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan.

Ekonomi dan politik saling memengaruhi. ASEAN harus pelan-pelan mengurangi ketergantungan pada negara mana pun, baik blok Timur maupun Barat dalam bidang ekonomi maupun politik serta pertahanan keamanan agar tak mudah terombang-ambing dan memiliki daya tawarnya sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now