Menu Close
A man sits near his gear on a red bench in an airport terminal.
Mehran Karimi Nasseri duduk di antara barang-barangnya dalam sebuah foto tahun 2004 yang diambil di Bandara Charles de Gaulle, tempat dia tinggal selama hampir 18 tahun. Eric Fougere/VIP Images/Corbis via Getty Images

Bagaimana beberapa orang bisa tinggal di bandara selama berbulan-bulan – bahkan bertahun-tahun – pada suatu waktu

Pada Januari 2021, pihak berwenang menangkap seorang laki-laki berusia 36 tahun bernama Aditya Singh setelah dia menghabiskan tiga bulan tinggal di Bandara Internasional O'Hare Chicago, Amerika Serikat (AS). Sejak Oktober, dia tinggal di area aman bandara, mengandalkan kebaikan orang asing untuk membelikannya makanan, tidur di terminal dan menggunakan banyak fasilitas kamar mandi.

Singh tidak terdeteksi sampai seorang pekerja bandara meminta untuk melihat identitas yang membuka penyamarannya.

Singh, bagaimana pun, kalah lama daripada orang pertama yang pernah tinggal di bandara. Setelah lebih dari dua dekade mempelajari sejarah bandara, saya menemukan cerita tentang individu yang berhasil tinggal di terminal bandara selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun.

Menariknya, bagaimana pun, tidak semua dari mereka tinggal di bandara atas kemauan mereka sendiri.

Membaur dengan keramaian

Dalam video game seperti “Airport City” atau pembicaraan tentang topik seperti “urbanisme airport,” ada gambaran bahwa bandara adalah “kota mini”.

Saya dapat memahami bagaimana ide ini berkembang: bandara memiliki tempat ibadah, kepolisian, hotel, rumah makan, tempat perbelanjaan, dan tempat transit massal.

Tapi jika bandara adalah kota, “kota-kota” ini akan tampak aneh, karena mereka yang mengoperasikan “kota” ini akan lebih senang bila tidak ada yang benar-benar tinggal di sana.

Meski demikian, tetap ada kemungkinan untuk tinggal di bandara karena bandara menawarkan banyak fasilitas dasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup: makanan, air, kamar mandi, dan tempat tinggal. Dan meski operasi bandara tidak selalu buka 24 jam, terminal bandara cenderung dibuka pagi-pagi sekali dan tetap buka sampai larut malam.

Banyak fasilitas yang begitu besar sehingga mereka yang bertekad untuk tetap tinggal – seperti laki-laki di O'Hare – dapat menemukan cara untuk menghindari deteksi (petugas berwenang) untuk beberapa waktu.

Salah satu cara bagi calon penghuni bandara menghindari deteksi tersebut adalah dengan membaur dengan keramaian. Sebelum pandemi, bandara AS menangani 1,5 juta hingga 2,5 juta penumpang pada hari tertentu.

Begitu pandemi melanda, jumlah penumpang menurun drastis; di bawah 100.000 selama minggu-minggu awal krisis antara Maret dan Mei 2020. Tercatat, laki-laki yang tinggal di O'Hare selama kurang lebih tiga bulan itu tiba pada pertengahan Oktober 2020, saat angka penumpang melambung.

Dia ditemukan dan ditangkap baru pada akhir Januari 2021 – tepat ketika jumlah penumpang turun drastis setelah puncak perjalanan liburan dan selama kenaikan kasus virus corona.

Tinggal di tempat bagi orang yang dibuang

Tidak semua orang tidur di terminal benar-benar ingin berada di sana.

Jika Anda rutin berpergian dengan pesawat, maka kelak akan ada kemungkinan besar bahwa dalam satu waktu Anda termasuk dalam kategori pemukim bandara jangka pendek yang terdampar tidak disengaja.

Beberapa orang memesan penerbangan yang mengharuskan mereka bermalam di bandara, sedang beberapa yang lain terdampar di bandara karena ketinggalan pesawat, pembatalan penerbangan, atau cuaca buruk. Keadaan ini mengakibatkan setidaknya lebih dari satu atau dua hari tinggal di bandara.

Seorang pria tertidur di kursi bandara.
Bukan tempat tidur ternyaman, tapi setidaknya ada di bawah atap. Boris Roessler/picture alliance via Getty Images

Lalu ada orang-orang yang tanpa disadari berada dalam masa terdampar yang kian lama dan tidak berakhir. Mungkin pemukim lama bandara yang paling terkenal adalah Mehran Karimi Nasseri, yang ceritanya dilaporkan telah mengilhami film “The Terminal,” yang dibintangi oleh Tom Hanks.

Nasseri, seorang pengungsi Iran, sedang dalam perjalanan ke Inggris via Belgia dan Prancis pada 1988 ketika ia kehilangan surat-surat yang memverifikasi status pengungsinya. Tanpa surat-surat, dia tidak bisa naik pesawatnya ke Inggris. Dia juga tidak diizinkan meninggalkan bandara Paris dan memasuki Prancis. Dia segera menjadi topik kontroversial global karena kasusnya terus diping-pong oleh pejabat di Inggris, Prancis, dan Belgia.

Otoritas Prancis sempat menawarkan perizinan untuk tinggal di Prancis, tapi Nasseri menolak tawaran itu, kabarnya karena ia ingin sampai ke tujuan aslinya, Inggris. Dengan demikian, ia menghabiskan kurang lebih 18 tahun di Bandara Charles de Gaulle. Ia kemudian pergi pada 2006, ketika kesehatannya menurun dan memerlukan rawat inap.

Kisah lain datang dari Edward Snowden, peretas data NSA, yang menghabiskan lebih dari sebulan di bandara Rusia pada 2013 sebelum menerima suaka.

Kemudian ada kisah Sanjay Shah. Shah telah melakukan perjalanan ke Inggris pada Mei 2004 dengan paspor warga negara Inggris di luar negeri. Pejabat imigrasi menolaknya masuk ketika mengetahui bahwa ia bermaksud berimigrasi ke Inggris, tidak sekadar tinggal di sana beberapa bulan sebagaimana jenis paspor yang ia gunakan.

Saat dikirim kembali ke Kenya, Shah takut meninggalkan bandara, karena dia telah melepaskan kewarganegaraan Kenya. Dia akhirnya bisa pergi setelah lebih dari setahun tinggal di bandara ketika pejabat Inggris memberinya kewarganegaraan penuh.

Baru-baru ini, pandemi coronavirus telah menciptakan pemukim bandara yang baru.

Salah satunya, seorang warga Estonia bernama Roman Trofimov tiba di Bandara Internasional Manila dengan penerbangan dari Bangkok pada 20 Maret 2020. Pada saat kedatangannya, pihak berwenang Filipina telah berhenti mengeluarkan visa masuk untuk membatasi penyebaran COVID-19.

Trofimov menghabiskan lebih dari 100 hari di bandara Manila sampai personel di kedutaan Estonia akhirnya bisa memberinya menyediakan penerbangan repatriasi.

Para tunawisma mencari perlindungan

Walau sebagian besar penghuni bandara ingin meninggalkan ‘rumah sementara’ mereka, ada beberapa yang secara sukarela berusaha menjadikan bandara sebagai tempat tinggal jangka panjang mereka. Bandara-bandara besar di Amerika Serikat dan Eropa telah lama berfungsi – meski sebagian besar secara tidak resmi – sebagai tempat penampungan tunawisma.

Meski tunawisma memiliki sejarah panjang di Amerika Serikat, banyak analis melihat tahun 1980-an sebagai titik balik penting dalam sejarah itu, karena banyak faktor, termasuk pemotongan anggaran federal, de-institusionalisasi orang sakit mental dan gentrifikasi, yang kemudian menyebabkan peningkatan dalam jumlah tunawisma. Dalam dekade itulah Anda dapat menemukan cerita paling awal tentang para tunawisma yang tinggal di bandara AS.

Pada 1986, misalnya, Chicago Tribune menulis tentang Fred Dilsner, seorang mantan akuntan tua berusia 44 tahun yang telah tinggal di O'Hare di Chicago selama setahun. Artikel tersebut menunjukkan bahwa para tunawisma pertama kali mulai muncul di bandara pada 1984, setelah selesainya jaringan kereta Chicago Transit Authority, yang menyediakan akses mudah dan murah.

Surat kabar itu melaporkan bahwa 30 hingga 50 orang tinggal di bandara, tapi para pejabat memperkirakan jumlahnya bisa naik menjadi 200 saat musim dingin tiba.

Masalah ini terus berlanjut hingga abad ke-21. Berita dari tahun 2018 melaporkan peningkatan jumlah tunawisma di beberapa bandara besar AS selama beberapa tahun sebelumnya, termasuk di Bandara Internasional Hartsfield-Jackson Atlanta dan di Baltimore/Washington International Thurgood Marshall Airport.

Pandemi virus corona telah menambah perhatian tentang masalah kesehatan bagi kelompok penghuni bandara ini.

Umumnya, pejabat bandara telah mencoba memberikan bantuan kepada pemukim ini. Di Bandara Internasional Los Angeles, misalnya, para pejabat telah mengerahkan tim intervensi krisis untuk bekerja menghubungkan para tunawisma ke perumahan dan layanan lainnya. Tapi juga jelas bahwa sebagian besar pejabat bandara lebih memilih solusi agar bandara tidak bisa lagi menjadi sebagai tempat penampungan tunawisma.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now