Menu Close

Bagaimana content creator dan media massa turut menyebarkan disinformasi tentang Rusia

Ilustrasi penggunaan aplikasi TikTok. Pexels, CC BY

Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung lebih dari setahun. Terkini, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) baru saja mendakwa Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai penjahat perang.

Hingga hari ini, disinformasi seputar peran Rusia-Ukraina tetap marak di media sosial, utamanya Indonesia.

Sebagai akademisi bidang media dan komunikasi yang fokus pada riset media sosial, saya mengamati bahwa setidaknya dua aktor yang, karena kepentingan ekonominya atau model bisnisnya, secara tidak langsung terlibat dalam penyebaran disinformasi dan propaganda Rusia di Indonesia. Mereka adalah pembuat konten (biasa dikenal sebagai content creator) media sosial dan jaringan media daring.

Penyebaran misinformasi di TikTok

Saya menemukan bahwa banyak pembuat konten yang ikut memanfaatkan banyaknya pencarian di mesin pencari internet terkait perang Rusia-Ukraina.

Pengamatan saya fokus, namun tidak terbatas, pada platform TikTok. Ini karena saat ini, TikTok menjadi salah salah satu platform yang juga banyak digunakan sebagai mesin pencari dan pemberi rekomendasi.

Studi Google tahun lalu menunjukkan bahwa sebanyak 40% Generasi Z (Gen-Z) di Amerika Serikat (AS) menggunakan TikTok sebagai mesin pencari. Sayangnya, video teratas hasil pencarian TikTok adalah video berisi misinformasi, termasuk tentang isu perang Rusia-Ukraina.

Di Indonesia, banyak pembuat konten yang menjadikan platform media sosial TikTok sebagai sarana untuk menyebarluaskan informasi. Pembuat konten mengemas kembali berita ataupun konten dari akun atau platform lain menjadi konten yang lebih ringan, singkat, dan berwarna.

Disinformasi memang sudah sejak lama digunakan dalam strategi propaganda perang, dan platform media sosial membuat berita bohong dapat menyebar berkali-kali lipat dengan cepat dan menjangkau beragam segmen audiens. Algoritma media sosial yang bertumpu pada engagement — atau interaksi seperti melihat, merespons, ataupun membagikan konten — membuat topik yang sedang ramai juga turut dimainkan oleh para pembuat konten.

Jika kita coba mencari informasi tentang perang Rusia-Ukraina melalui TikTok, maka akan bermunculan video-video yang diunggah oleh akun-akun independen yang tidak terafiliasi dengan lembaga media resmi. Namun konten video tersebut dikemas dengan profesional menyerupai format sajian informasi yang menarik.

Apalagi, di TikTok juga ada akun-akun yang memang khusus membuat video tentang perang kedua negara. Jika pembuat konten tidak berhati-hati dalam mengambil sumber dan membingkai informasi, ini memperparah penyebaran propaganda Rusia di Indonesia.

Akun-akun seperti itu berpotensi membingungkan audiens, membuat mereka bertanya-tanya apakah informasinya terpercaya atau tidak. Lebih parah lagi, konten yang demikian dapat mendisorientasi publik dan dapat membuat mereka meyakini informasi yang salah.

Umumnya, para pembuat konten yang memainkan isu perang Rusia-Ukraina tidak melakukan verifikasi terlebih dahulu. Sadar atau tidak, ini sama saja mereka turut menjadi bagian dari penyebaran disinformasi oleh dan terhadap Rusia.

Sejauh ini, setidaknya ada lima pilar misinformasi yang dilakukan oleh otoritas Rusia: 1) komunikasi resmi pemerintah, 2) kampanye global yang disponsori negara, 3) website-website berita lokal yang mendukung narasi Rusia seperti di Slovakia dan Jerman, 4) provokasi percakapan di media sosial, dan 5) serangan siber, seperti yang terjadi pada ratusan website di Georgia pada 2020 lalu

Penyebaran propaganda melalui TikTok masuk dalam kategori pilar keempat. Disinformasi di media sosial bisa dalam bentuk meramaikan percakapan lokal yang mendukung narasi Rusia, meramaikan percakapan yang bertujuan mendeligitimasi institusi negara, ataupun mengamplifikasi protes seperti yang terjadi pada pemilihan presiden AS pada 2016 silam.

Lalu bagaimana pembuat konten di Indonesia membuat konten tentang Rusia?

Berdasarkan pengamatan saya di TikTok, ada beberapa cara modifikasi konten terkait narasi Rusia.

Pertama adalah dengan mengambil materi video dari akun-akun Telegram Rusia tanpa upaya mengecek kebenaran informasinya terlebih dahulu.

Kedua adalah dengan membingkai informasi yang diambil dari berita di media massa Indonesia dengan opini pro Rusia. Bingkai peristiwa tersebut bisa terlihat dari judul, tulisan di video, penekanan suara (voice over), musik, maupun tagar yang digunakan.

Ketiga adalah dengan mengambil video yang tidak jelas sumber dan kebenarannya. Lalu pada akhir tayangan, pembuat konten akan menyerahkan ke audiens untuk menilai sendiri informasi tersebut.

Terakhir adalah dengan mengaitkan sebuah informasi dengan peristiwa yang sama sekali berbeda namun seolah berkaitan, dengan tujuan mendelegitimasi pemerintah atau yang dikenal dengan metode “Whataboutisms”.

Contoh strategi ini adalah dengan mengungkit kependudukan ilegal Israel di Palestina atau mengungkit kejahatan perang militer AS di Afghanistan.

Media online ikut sebar propaganda

Selain pembuat konten, jaringan media massa daring turut menjadi bagian dari penyebaran misinformasi dan disinformasi perang Rusia-Ukraina.

Saya memfokuskan pengamatan pada portal media daring Tribunnews, karena media inilah yang paling banyak mempublikasikan konten seputar perang Rusia-Ukraina.

Data dari Crowdtangle, tentang percakapan di Facebook Page dan Instagram selama setahun terakhir (Maret 2022 - Maret 2023), menunjukkan bahwa akun-akun yang terafiliasi dalam jaringan Tribunnews paling banyak memberitakan perang Rusia-Ukraina dibanding jaringan media lain.

Dari sekitar 102.003 unggahan terkait di Facebook Page, sebanyak 28.034 (27,48%) diunggah oleh jaringan media tersebut. Sementara di Instagram, dari sekitar 10.000 unggahan, sebanyak 2.555 (25,5%) berasal dari akun-akun Tribunnews.

Sementara itu, jika mencari di YouTube, hasil pencarian video seputar Rusia dan Ukraina juga didominasi oleh jaringan Tribunnews, khusunya Tribun Timur.

Dengan jumlah produksi konten sebanyak itu, verifikasi sumber tentu menjadi tantangan. Tidak heran jika pada akhirnya ada konten yang mengandung misinformasi maupun disinformasi.

Jaringan media Tribunnews, misalnya, mengambil sumber-sumber yang tidak dapat dipercaya dalam memberitakan kejadian pembantaian di Kota Bucha, Ukraina.

Menurut laporan NewsGuard, salah satu disinformasi yang paling banyak disebarkan oleh banyak media di seluruh dunia adalah mengenai tudingan Rusia bahwa pembantaian penduduk sipil di Bucha adalah rekayasa Ukraina. Padahal, hasil pemeriksaan fakta NewsGuard menunjukkan bahwa memang terjadi pembantaian oleh Rusia.

Terkait dengan pemberitaan tersebut, jaringan media Tribunnews mengunggah video-video dari YouTube dan TikTok yang berasal dari akun penyebar propaganda Rusia ataupun video yang tidak jelas sumber resminya.

Mengejar engagement

Faktor pendorong terbesar para pembuat konten dan media daring memproduksi banyak konten Rusia-Ukraina adalah demi engagement berupa interaksi dan reaksi dari sesama pengguna platform yang menunjukkan tingkat popularitas sebuah konten.

Di TikTok, seorang pembuat konten harus mengunggah video secara rutin jika tidak ingin kena sanksi berupa turunnya jumlah engagement.

Untuk mendapatkan lebih banyak engagement dan terus dapat memiliki bahan untuk konten, mereka menggunakan berita atau isu yang sedang hangat untuk disampaikan dalam beberapa potongan video pendek. Ini karena durasi video yang dapat diunggah di TikTok dalam satu unggahan sangat terbatas, yakni 15 detik hingga 10 menit. Dengan demikian, untuk mendapatkan informasi secara utuh, audiens harus menonton semua potongan-potongan video yang mengangkat topik yang sama.

Di YouTube, jumlah engagement yang tinggi akan menghasilkan uang untuk pemilik kanal. Salah satu video terpopuler terkait Rusia-Ukraina yang diunggah oleh kanal YouTube Tribun Timur adalah tentang pertempuran di Lisichansk, kota di Ukraina bagian selatan. Video ini ditonton oleh 12 juta orang, dan mendapat lebih dari 10.000 komentar yang sebagian besarnya dalam Bahasa Rusia.

Video tersebut mengambil sumber dari akun Milchronicles yang dikenal sebagai penyebar propaganda pro Rusia.

Kesimpulannya, pembuat konten maupun jurnalis yang tidak memverifikasi informasi tanpa sadar telah menjadi media terbaik bagi para penyebar propaganda untuk menyebarkan semua kebohongan mereka.

Pada era digital, tujuan propaganda tak semata untuk mendapatkan dukungan publik atau memecah belah masyarakat, namun juga untuk mengalihkan perhatian dan membingungkan masyarakat. Publik yang mengalami disorientasi tidak akan dapat membuat penilaian yang baik tentang apa yang sedang terjadi, terlebih dalam peristiwa besar seperti perang.

Pada era informasi, setiap orang adalah media karena kita bisa menyebarkan informasi versi kita sendiri. Namun, penting untuk memiliki kesadaran moral dan mau memahami dampak kerusakan informasi yang kita buat kepada siapa pun yang menontonnya.

Bagi organisasi media, di tengah tantangan mencari model bisnis terbaik ini, tetap penting untuk melakukan verifikasi dan membantu publik untuk memahami lebih baik - dan benar - akan sebuah peristiwa global yang terjadi jauh di belahan dunia lain. Media massa harus benar-benar menyajikan fakta yang akurat yang melalui verifikasi yang ketat.

Media massa juga harus berpegang teguh pada tujuan untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan dan, oleh karena itu, perlu menghindari nasionalisme dan xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) yang berlebihan terhadap suatu bangsa.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now