Menu Close
energi terbarukan
Upaya transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) masih terganjal pendanaan. singkham/pexels, CC BY-SA

Bagaimana crowdfunding bisa meraup Rp 192 triliun untuk memperluas akses energi terbarukan Indonesia

Pemerintah Indonesia dituntut untuk semakin banyak menghadirkan proyek-proyek hijau, khususnya di sektor energi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan, Indonesia setidaknya membutuhkan biaya Rp 1.600 triliun untuk mencapai target bauran energi dan dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025.

Hal ini bukanlah tugas yang mudah, terutama bagi proyek EBT skala menengah dan kecil yang masih sulit mendapatkan pendanaan dari bank konvensional karena tingkat keuntungannya kurang menarik. Pada akhirnya, proyek tersebut harus bergantung pada dana hibah dan anggaran pemerintah untuk dapat berjalan.

Karena itulah, Indonesia semestinya melirik sumber-sumber pembiayaan lain untuk memastikan pengembangan energi bersih berjalan sesuai target.

Salah satu alternatif potensial yang dapat digunakan adalah pembiayaan massal melalui urun dana atau crowdfunding. Opsi ini memungkinkan karena lebih dari 7% Gen X ,Y, dan Z atau sekitar 14 juta jiwa dari total populasi Indonesia berminat untuk berinvestasi dan berdonasi dalam proyek hijau.

Guna menelisik kemungkinan ini, Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) melakukan survei pada 403 responden Gen X (kelahiran 1965-1980), Y (milenial, kelahiran 1980-1996), dan Z (kelahiran 1997-2012) dengan tingkat penghasilan menengah ke atas.

Hasilnya, mayoritas responden bersedia “urunan” investasi di proyek-proyek hijau dengan potensi duit yang terkumpul hingga Rp 192 triliun per tahun.

Temuan ini menunjukkan bahwa, jika dioptimalkan, praktik crowdfunding bisa menjadi salah satu pendorong pembangunan yang ramah lingkungan di tanah air.

Crowdfunding dapat meningkatkan bauran EBT terutama di daerah terluar

Kajian ini dilakukan untuk mendapatkan perspektif dari masyarakat early adopter atau pengguna awal inovasi mengenai proyek hijau, serta kesediaan mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Hasilnya menunjukkan bahwa crowdfunding – baik dalam bentuk investasi maupun donasi – berpotensi membiayai proyek hijau skala menengah dan kecil tanpa bergantung kepada donatur besar dan anggaran pemerintah.

Hasil survei menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesediaan responden untuk berinvestasi dan berdonasi masing-masing sebesar Rp 10.527.004 dan Rp 2.893.079 per orang setiap tahun. Dengan perkiraan ini, crowdfunding dapat mengumpulkan Rp 18–192 triliun untuk investasi dan Rp 15–45 triliun untuk donasi tiap tahunnya.

Responden yang ingin menanamkan modalnya mengharapkan pengembalian investasi 5-8% pengembalian modal dalam kurang dari 24 bulan. Sementara, nilai potensi donasi ini masih dapat ditingkatkan dengan memberikan imbalan non-tunai seperti cenderamata.

Nilai di atas berpotensi untuk membiayai sekitar 5.949 pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off-grid (tidak terhubung ke jaringan listrik umum) sebesar 1 Megawatt (MW) – dari total potensi PLTS Indonesia sebesar 200.000 MW.

Angka itu juga dapat mendanai 830 pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dengan daya 10 MW dari total potensi 75.000 MW tiap tahunnya.

Selain itu, sebagian besar masyarakat umum bersedia untuk berinvestasi dan berdonasi di proyek hijau seperti peremajaan hutan, penyediaan air bersih dan pengembangan kendaraan ramah lingkungan.

Sementara, lebih dari 40% responden memilih untuk berinvestasi dan berdonasi pada daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T), meski 85% responden berdomisili di Jawa, Madura, dan Bali. Artinya, crowdfunding tersebut berpotensi besar untuk meningkatkan pengembangan EBT di daerah 3T.

Belum jadi prioritas

Walaupun potensi dananya besar, crowdfunding investasi proyek energi bersih belum menjadi prioritas. Hampir seluruh responden lebih memilih proyek pendidikan dan kesehatan menjadi fokus utama. Ditambah lagi, meski pun potensi menjanjikan, investor tetap lebih banyak memilih berinvestasi pada instrumen dengan imbal hasil tinggi seperti reksadana saham daripada investasi dengan manfaat lingkungan dan sosial yang memiliki bagi hasil rendah.

Selain melihat potensi, faktor sosioekonomi juga memiliki peran penting dalam mengetahui kesediaan orang dalam berinvestasi dan berdonasi. Hasil survei terhadap variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan tingkat pendapatan menunjukkan hasil yang menarik.

Dari sisi jenis kelamin, laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk berinvestasi dan berdonasi baik dari sisi kuantitas maupun frekuensi. Sedangkan tingkat pendidikan menunjukkan perbedaan yang signifikan, terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan D3 ke atas yang memiliki kesediaan berinvestasi jauh lebih tinggi dibanding tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Peningkatan usia memiliki korelasi positif dengan keinginan untuk berinvestasi dalam proyek hijau. Namun orang yang berusia 44 tahun lebih tertarik untuk berdonasi daripada berinvestasi. Sementara itu, tidak ditemukan hubungan yang jelas antara tingkat pendapatan dengan keinginan untuk berinvestasi dan berdonasi.

Rendahnya literasi dan akses keuangan menjadi faktor penghambat

Penelitian kami menunjukkan, meski 60% responden memiliki pengetahuan dan kesadaran lingkungan, para donatur dan investor belum memprioritaskan proyek energi bersih. Ini terjadi karena kurangnya pengetahuan seputar dampak lingkungan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Rendahnya literasi keuangan di Indonesia juga dapat menjadi penyebab kurangnya minat berinvestasi. Indeks literasi keuangan Indonesia baru mencapai 38,03%, tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Singapura yang masing-masing mencapai lebih dari 85%.

Lebih jauh lagi, saat ini belum banyak platform crowdfunding yang berfokus kepada proyek hijau termasuk energi bersih. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya penghubung antara pelaku sektor energi bersih dengan platform crowdfunding.

Strategi dalam mengoptimalkan potensi crowdfunding

Indonesia dapat belajar dari berbagai negara di Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Jerman yang memiliki crowdfunding EBT yang sudah mapan untuk mendanai proyek skala kecil hingga menengah.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi pendanaan crowdfunding adalah melalui literasi finansial bagi masyarakat, pemberian insentif bagi platform crowdfunding dan proyek hijau untuk meningkatkan keekonomian proyek, serta peningkatan kesadaran seputar isu lingkungan dan sosial.

Kebijakan yang mendukung dan pengawasan yang ketat juga perlu dilakukan oleh lembaga negara seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi crowdfunding berbasis investasi, maupun Kementerian Sosial bagi crowdfunding berbasis donasi.

Survei kami menemukan bahwa alternatif pendanaan proyek hijau berbasis komunitas memiliki potensi sangat besar di Indonesia. Namun, hal ini belum dilihat sebagai salah satu opsi baik bagi pemerintah, pelaku usaha atau pun platform crowdfunding sendiri. Padahal, pendanaan berbasis komunitas tidak hanya memberikan alternatif pendanaan, namun juga secara tidak langsung meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu lingkungan dan sosial di sekitar kita.


Artikel ini merupakan pemenang pertama Kompetisi Menulis dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-5 The Conversation Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,100 academics and researchers from 4,950 institutions.

Register now