Menu Close
Gambar patung kepala frenologi
Meski telah lama dibatalkan, frenologi pernah sangat populer di kalangan ilmuwan. Holly Anne Cromer/Shutterstock

Bagaimana kebenaran ilmiah bisa saja berubah

Para astronom pernah percaya bahwa Matahari berputar mengelilingi Bumi. Pada abad ke-19, para ilmuwan mengira bentuk tengkorak seseorang dapat mengungkapkan kekuatan atau kelemahan mental mereka. Kemudian, pada abad ke-20, banyak ilmuwan dengan keras menentang gagasan bahwa benua dapat bergeser. Semua ini adalah gagasan-gagasan yang kemudian dibantah.

Jadi, apakah kita dapat mempercayai kebenaran ilmiah saat ini? Apakah mungkin untuk mengidentifikasi ide dan klaim ilmiah yang akan bertahan selamanya serta tidak rentan terhadap revolusi ilmiah di masa depan? Beberapa orang akan mengatakan, “Tentu saja tidak.” Namun, buku baru saya, Identifying future-proof science, menggabungkan penelitian historis, filosofis, dan sosiologis untuk menyatakan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi.

Terdapat sikap filosofis yang terkadang disebut intellectual humility (kerendahan hati intelektual) yang melibatkan keraguan akan kebenaran hakiki dengan melihat bukti dari revolusi ilmiah dan perubahan paradigma (perubahan sistem kepercayaan dan pengetahuan) dalam sejarah.

Pada awalnya, sikap tersebut tampak sangat masuk akal, bahkan mungkin rasional. Orang mungkin menambahkan bahwa kerendahan hati adalah suatu bentuk kebajikan. Siapa yang berani menyampaikan bahwa klaim-klaim ilmiah yang didukung pada masa kini masih akan didukung oleh komunitas ilmiah 5.000 tahun dari sekarang?

Orang-orang yang skeptis terhadap pernyataan-pernyataan ilmiah sering menggunakan argumen sederhana: para ilmuwan yakin di masa lalu, dan akhirnya mereka ternyata salah. Fisikawan Albert Michelson (terkenal dengan eksperimen Michelson-Morley) menulis pada tahun 1903: “Hukum dan fakta fundamental yang terpenting di ilmu fisika semuanya telah ditemukan dan ditetapkan dengan sangat tegas sehingga kemungkinan untuk digantikan sebagai hasil dari temuan baru sangatlah kecil.”

Pernyataan ini disampaikan sesaat sebelum ilmu fisika berubah secara dramatis akibat perkembangan teori relativitas umum dan mekanika kuantum. Ada banyak pernyataan serupa lainnya, yang menunjukkan rasa percaya diri yang terlalu tinggi, bahkan oleh para ilmuwan terbaik sekalipun.

Naomi Oreskes, seorang sejarawan dan pendukung sains, menulis dalam bukunya tahun 2019, Why Trust Science?, bahwa “Sejarah sains menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah dapat berubah,” dan “kontribusi sains tidak dapat dipandang sebagai permanen.”

Peraih Nobel Fisika Steven Weinberg mengatakan, “Ada kebenaran di luar sana yang harus ditemukan, kebenaran yang sekali ditemukan akan menjadi bagian permanen dari pengetahuan manusia.”

Namun, Oreskes menanggapinya dengan tegas: “Weinberg adalah seseorang yang brilian … Akan tetapi, komentar ini mencerminkan secara mencengangkan ketidaktahuan akan sejarah sains, atau pengabaian bukti ilmiah yang dikumpulkan dalam bidang keilmuan lainnya.” Bidang yang dia maksud adalah sejarah.

Fakta-fakta ilmiah

Lalu, apa itu “fakta ilmiah?” Menurut sikap intellectual humility, “fakta” hanya ada dalam arti yang lemah: sifatnya sementara dan relatif, tergantung pada paradigma pada masanya. Dalam pergeseran paradigma yang terjadi sepanjang sejarah, “fakta” seringkali ketinggalan zaman, dengan “fakta” baru siap untuk menggantikannya.

Orang-orang yang menganut konsep intellectual humility tidak selalu menyatakan bahwa tidak ada yang permanen. Menurut mereka, kita tidak tahu klaim mana (jika ada) yang kebal terhadap perubahan paradigma di masa depan. Mereka juga tidak mendorong kita untuk tidak mempercayai sains; Oreskes sangat jelas tentang itu.

Akan tetapi, intellectual humility mulai terlihat tidak masuk akal saat masuk ke ranah kesimpulan logisnya. Artinya, kita tidak benar-benar tahu bahwa Matahari adalah bintang, bahwa benua-benua bergeser, bahwa merokok menyebabkan kanker, atau bahwa pemanasan global kontemporer itu nyata dan disebabkan oleh manusia.

Gambar beruang kutub di atas es mengapung.
Perubahan iklim adalah fakta. PHOTOCREO Michal Bednarek/Shutterstock

Dalam semua kasus ini (dan banyak lagi), opini komunitas ilmiah membuat masalah ini tidak diragukan lagi sejak lama. Tidak masuk akal jika misalnya dalam waktu 50 tahun, setelah terjadi sebuah revolusi ilmiah, kita mungkin melihat ke masa lalu dan berkata, “Dulu orang percaya bahwa merokok menyebabkan kanker.”

Jika itu masuk akal, orang mungkin juga mengira bahwa Bumi mungkin datar. Pandangan ini masuk ke ranah “skeptisisme radikal,” di mana orang menganggap bahwa kita semua mungkin hidup dalam mimpi, atau di dunia buatan seperti di film The Truman Show.

Namun, bagaimana jika saya hanya berpikir seperti ini karena saya adalah seorang “tahanan” kognitif yang terjebak dalam skema konseptual dari paradigma tempat saya dibesarkan? Tentu, bagi saya tampaknya sama sekali tidak dapat disangkal bahwa Matahari adalah bintang, dan tampaknya tidak masuk akal untuk meragukannya. Akan tetapi, mungkin itu tidak akan terlihat absurd bagi mereka yang hidup pada paradigma masa depan.

Mengamati yang sebelumnya tidak dapat diamati

Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari sejarah. Contohnya adalah gagasan akan pergeseran benua yang dulunya hanyalah sebuah spekulasi. Kemudian selama abad ke-20, gagasan tersebut menjadi teori yang kuat, dan akhirnya menjadi sebuah “fakta ilmiah,” menjadi sebuah konsensus ilmiah para ilmuwan.

Pada titik ini, orang-orang yang skeptis mungkin berpikir bahwa konsensus ilmiah yang kuat tidak membuktikan apa-apa, karena konsensus mungkin berkembang karena alasan yang buruk seperti “groupthink” (pemikiran kelompok tertentu). Namun, lihat apa yang terjadi kemudian: kita mengembangkan instrumen yang benar-benar dapat menyaksikan pergeseran benua terjadi secara real time. Jadi, pergeseran benua jelas merupakan gagasan yang tak lekang waktu: kita dapat menyaksikannya terjadi secara langsung.

Perkembangan-perkembangan seperti itu sangatlah penting untuk menunjukkan bahwa konsensus ilmiah yang kuat dapat dikaitkan dengan kebenaran. Seperti yang ditunjukkan dalam buku saya, bahwa kasus-kasus di mana konsensus ilmiah benar-benar solid, diikuti oleh pengembangan instrumen untuk dapat menyaksikan dan melihat hal atau proses yang dipertanyakan, konsensus ilmiah telah terbukti benar.

Ada banyak contoh lainya. Sekarang sudah ada mikroskop yang dapat mengungkap perilaku virus, dan kita dapat melihat virus melakukan hal-hal yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Kita juga dapat menggunakan mikroskop untuk melihat struktur semua jenis molekul, dan sekali lagi, jika ada konsensus ilmiah yang kuat mengenai struktur (misalnya molekul cincin benzena heksagonal), kita percaya bahwa konsensus itu benar. Hal yang sama juga terjadi saat kita membahas tentang struktur heliks ganda DNA.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa konsensus ilmiah internasional yang kuat dapat dipercaya sebagai suatu bentuk pengungkapan kebenaran. Hal ini juga termasuk kasus-kasus di mana kita belum mengembangkan (dan mungkin tidak akan pernah mengembangkan) teknologi yang memungkinkan kita mengamati apa yang saat ini tidak dapat kita amati.

Bagaimana dengan kekhawatiran bahwa, di masa lalu, komunitas ilmiah mencapai konsensus yang kuat mengenai suatu gagasan yang sekarang telah dibantah secara mendalam?

Saya telah menemukan bahwa, sepanjang sejarah ilmu pengetahuan, ketika dua kriteria khusus berikut telah dipenuhi, klaim yang menjadi masalah tidak akan dibantah, justru akan semakin didukung.

Pertama, setidaknya 95% dari ilmuwan yang relevan bersedia untuk menyatakan dukungan atas klaim tersebut secara jelas dan tanpa keberatan atau batasan. Jika diminta, mereka juga bersedia untuk menyebutnya sebagai “fakta ilmiah yang tidak dapat dipungkiri.”

Kedua, komunitas ilmiah yang relevan tersebut bersifat besar, internasional, dan menggabungkan keragaman perspektif ilmiah yang substansial (seperti dalam ilmu iklim).

Kriteria-kriteria ini hanya terpenuhi ketika ada sejumlah bukti ilmiah tingkat pertama yang besar untuk klaim yang dipermasalahkan. Kriteria ini berfungsi sebagai proksi terbaik yang kita miliki untuk alternatif yang mustahil, yaitu menganalisis sendiri semua bukti ilmiah, selama beberapa dekade, dari sejumlah besar perspektif yang berbeda. Dalam praktiknya, dua aturan sederhana ini dapat membantu kita mengidentifikasi sains yang tidak lekang waktu.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now