Menu Close

Bagaimana melindungi hutan bisa memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat

Masyarakat tidak harus memilih antara melindungi hutan dan kehilangan pendapatan.

Masyarakat bisa tetap menjaga kelestarian hutan dan mendapatkan keuntungan dari kegiatan itu. Keduanya bisa sejalan melalui mekanisme yang menyediakan insentif bagi masyarakat yang melindungi hutan.

Salah satunya adalah melalui pemberian insentif ekonomi kepada masyarakat yang menjaga hutan.

Indonesia, yang memiliki kawasan hutan tropis ketiga terbesar di dunia, sudah mengusulkan mekanisme pemberian intensif pada upaya penurunan emisi dengan melindungi hutan atau lebih dikenal dengan nama “REDD+” (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

Skema ini sudah lama didiskusikan dalam pertemuan iklim internasional (UNFCCC) selama sepuluh tahun belakangan.

Sayangnya, belum ada kesepakatan yang jelas, terutama antara negara yang memiliki hutan (contohnya Indonesia) dan negara maju, terkait dengan bentuk insentif yang sesuai atau bagaimana proses pemberian insentif.


Read more: _LH FUND_ : terobosan pendanaan iklim dari Indonesia


Pada tahun 2014 hingga 2017, kami melakukan studi terkait penurunan emisi dan peningkatan ekonomi masyarakat di hutan berfungsi lindung di daerah Riau, Papua, dan Kalimantan dan menemukan cara lain untuk menerapkan sistem insentif bagi masyarakat yang melindungi hutan.

Singkatnya, sistem ini diterapkan dengan melakukan pembayaran, baik oleh pemerintah atau lembaga non-pemerintah, atas upaya masyarakat dalam melindungi sumber daya alam di hutan lindung.

Penjelasan visual tentang PES diproduksi oleh James Hutton Institute - UNESCO Global Dialogue on Water Ecosystem Services.

Di Indonesia, skema insentif atas jasa lingkungan ini berhasil di beberapa lokasi, yaiu Hutan Desa Laman Satong di Kalimantan Barat, Hutan Desa Durian Rumbun di Jambi, dan Hutan Kemasyarakatan Aik Bual di Nusa Tenggara Barat.

Skema di Desa Laman satong telah menghasilkan nilai kontrak senilai Rp100 juta apabila masyarakat setempat bisa menjaga hutan mulai dari Mei 2013 hingga April 2014. Selanjutnya, April 2014-Maret 2015 akan mendapat nilai kontrak insentif sebesar Rp150 juta.

Penelitian

Kami melakukan penelitian pada masyarakat yang tinggal di tiga kawasan hutan lindung: Hutan Adat Rumbio di Riau, Hutan Adat Yapase di Papua, dan Hutan Desa Katimpun di Kalimantan Tengah.

Kami melihat begitu banyak potensi ekonomi yang bisa diberdayakan masyarakat melalui upaya mereka melindungi hutan.

Kondisi hutan Adat Rumbio dan Hutan Adat Yapase relatif masih alami karena masyarakat adat melarang adanya aktivitas manusia di daerah tersebut.

Kami melihat potensi besar di wilayah tersebut untuk menerapkan mekanisme Payments for Environmental Services (PES) atau pembayaran jasa lingkungan, yaitu dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang menjaga area hutannya sehingga keberadaan sumber mata air tetap terjaga.

Untuk jasa air tersebut, penduduk Kota Bangkinang, yang merupakan ibukota Kabupaten Kampar, Riau membeli air dari sumber air Hutan Adat Rumbio dengan harga Rp500 per lima liter sejak tahun 2005.

Masyarakat Desa Katimpun memiliki potensi mendapatkan kompensasi uang dari upaya menjaga emisi karbon dioksida tidak lepas ke atmosfer akibat kebakaran gambut. Insentif bisa diberikan kepada masyarakat setempat dengan mekanisme tertentu jika mereka dapat melindungi lahan gambut dari kebakaran.

Sayangnya, masyarakat setempat belum memiliki rencana pengelolaan rehabilitasi lahan gambut yang rusak berat akibat kebakaran hutan di tahun 2014 dan tahun 2015.

Masyarakat sekitar hutan berfungsi lindung juga dapat mendapatkan peluang ekonomi lainnya ketika mereka mengembangkan kawasan hutan tersebut sebagai tujuan wisata.

Hal ini bisa ditemukan pada penduduk Rumbio berhasil memanfaatkan keunikan desa-desa yang berada di sekitar hutan adat Rumbio untuk menarik wisatawan yang tertarik dengan wisata budaya dan alam.

Sedangkan, masyarakat di sekitar hutan adat Yapase di Papua juga memiliki potensi untuk menjual jasa dari sumber daya air, lahan gambut, dan potensi wisata dari kawasan hutan.

Namun, hingga saat ini belum ada upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi dari sumber daya alam yang ada di hutan adat seluas 987 hektare tersebut.

Banyak potensi belum terwujud karena kelembagaan di tingkat desa belum kuat untuk mengakses sumber-sumber dana lain, seperti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang peduli dengan lingkungan, baik dari dalam maupun luar negeri.


Read more: Ilmu modern tidak mampu mengatasi kebakaran lahan; kita perlu belajar pada masyarakat adat


Berikut rekomendasi kami untuk memaksimalkan insentif jasa lingkungan yang sesuai dengan karakteristik ketiga lokasi tersebut:

1) Adopsi Skema Plan Vivo

Kami mengusulkan skema yang sama dengan yang diadopsi di Hutan Desa Laman Satong, Hutan Desa Durian Rumbun, dan Hutan Kemasyarakatan Aik Bual.

Skema tersebut diadopsi dari Skema Plan Vivo yang disusun oleh organisasi nirlaba berpusat di Edinburgh, Skotlandia, dan digunakan untuk menghitung besaran emisi karbon.

Pada tahun 2014, standar Plan Vivo sudah diterapkan di 29 negara meliputi Amerika Latin, Afrika dan Asia.

Plan Vivo untuk Hutan Adat Rumbio di Riau dan Hutan Adat Yapase di Papua bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari pengelolaan hutan lindung di sekitar mereka.

Namun demikian, masyarakat setempat dan lembaga pendamping harus mempersiapkan beberapa hal teknis seperti menyiapkan konsep dan desain proyek yang membutuhkan waktu sekitar lima tahun.


Read more: _LH FUND_ : terobosan pendanaan iklim dari Indonesia


2) Standar karbon terverifikasi

Skema Standar Karbon Terverifikasi atau Verified Carbon Standards (VCS) cocok mengakomodasi kebutuhan jasa karbon di lahan gambut seperti Hutan Desa Katimpun, di Kalimantan Tengah.

Skema ini merupakan salah satu program penurunan gas rumah kaca secara sukarela, yang dibentuk pada tahun 2005 oleh The Climate Group, International Emissions Trading Association (IETA), The World Economic Forum, dan The World Business Council for Sustainable Development.

Baru satu proyek yang ada di Indonesia adalah proyek konservasi hutan di Katingan, Kalimantan Tengah yang berhasil mencegah emisi karbon sebanyak 7 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) per tahun.

Proyek ini adalah proyek VCS di sektor kehutanan di dunia yang terbesar dan paling banyak menerbitkan kredit karbon. Secara global, proyek-proyek di bawah VCS menghasilkan lebih dari 233 juta ton CO2e dengan variasi harga. Beberapa laporan menyebutkan bahwa rentang harga per 1 unit karbon antara US$0,2 hingga US$112.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now