Menu Close

Bagaimana pelaku usaha pariwisata bisa memanfaatkan tren bekerja dari luar kantor

Seorang tamu berada di teras kamar Hotel Kila Senggigi Beach di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat, NTB, Selasa (28/9/2021). Antara Foto

Remote work atau bekerja dari luar kantor menjadi tren yang semakin populer di era pandemi COVID-19.

Setelah pandemi berakhir berbagai instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun swasta mungkin meneruskan kebijakan remote work jika pembiasaan dan pembelajaran semasa pandemi dipandang efektif.

Berbagai instansi dan perusahaan mulai menyadari bahwa komunikasi daring bisa memangkas waktu dan biaya transportasi (dan kemacetan) serta biaya sewa perkantoran.

Tren bekerja dari luar kantor juga akan membantu pemulihan usaha pariwisata, karena pekerja bisa memilih bekerja di destinasi wisata seperti Bali.

Studi kami menunjukkan bahwa aktivitas wisatawan nusantara memiliki dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat miskin dan pemerataan di daerah wisata.

Untuk menyambut tren ini, pelaku pariwisata harus berbenah diri agar bisa memanfaatkan potensi secara maksimal.

antarafoto sertifikasi chse di bali fik.

Membantu pulihkan sektor pariwisata

Sebagai sektor yang bertumpu pada pergerakan manusia antar daerah dan negara, sektor pariwisata salah satu yang paling terpukul dengan adanya pandemi.

Pembatasan mobilitas pada tingkat global, nasional dan lokal (PSBB maupun PPKM) membuat sektor ini sangat terpuruk.

Tahun 2020 lalu kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) turun 75% menjadi hanya empat juta orang dari 16 juta pada 2019, dan wisatawan nusantara (wisnus) turun 40% menjadi 130 juta perjalanan dari 310 juta pada 2019.

Kehilangan pendapatan sektor pariwisata secara nasional sepanjang 2020 ditaksir mencapai Rp 340 triliun.

Terpukulnya sektor pariwisata bukan hanya membuat kesulitan keuangan para pelaku usahanya, tetapi juga membuat banyak para pelaku mempertanyakan masa depan pariwisata pascapandemi.

Tidak sedikit pelaku usaha yang banting setir ke sektor lain, bahkan menjual asetnya seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan.

Hal ini tentu akan merugikan perekonomian nasional dalam jangka panjang. Sebelum pandemi, sektor pariwisata adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi sektor pariwisata nasional sebelum pandemi atau pada tahun 2019 hampir mencapai 5% dari produk domestik bruto Indonesia dan menyerap hampir 15 juta pekerja.

Dan sebenarnya masa depan pariwisata masih cerah karena telah menjadi kebutuhan hidup manusia, utamanya kelas menengah dunia yang terus tumbuh.

Para pelaku usaha pariwisata perlu melakukan transformasi usaha dengan mengambil pelajaran dari pandemi.

antarafoto penerapan aplikasi pedulilindungi pantai sanur bali nhw.

Pelaku pariwisata harus beradaptasi dengan kebutuhan konsumen

Pelaku pariwisata harus melakukan beberapa strategi untuk memanfaatkan tren kerja luar kantor yang akan meningkat dalam beberapa tahun kedepan.

Saat ini kasus harian COVID-19 telah melandai dan tren pekerja untuk bepergian ke destinasi wisata untuk bekerja jarak jauh akan meningkat.

Per 28 September, kasus baru COVID-19 menyentuh angka kurang dari 2.500 kasus per hari, sudah jauh berkurang dari rekor yang mencapai hampir 60 ribu kasus per hari di bulan Juli.

Pelaku bisnis pariwisata harus bisa mempertahankan standar dan protokol kesehatan (prokes) di lokasi wisata, meskipun jika ancaman pandemi dipandang sudah jauh berkurang.

Pegawai dari kota besar umumnya sudah mendapatkan dua kali vaksinasi sehingga relatif memiliki risiko yang lebih kecil untuk terinfeksi dan menularkan virus.

Meskipun telah divaksin tetapi mereka umumnya menuntut standar prokes yang tinggi karena telah beradaptasi dengan kebiasaan baru, sehingga tuntutan mereka bisa menjadi pembelajaran yang baik bagi pelaku wisata.

Transformasi berikutnya, pegawai yang bekerja dari lokasi wisata tentunya menuntut dukungan internet dan ekosistem digital yang baik. Contohnya, sambungan internet yang kencang, layanan TV kabel yang lengkap, pembayaran non-tunai, dan pelaku usaha yang terintegrasi pada platform online.

Selain itu diperlukan berbagai layanan yang lengkap pada suatu lokasi seperti penginapan, restoran, atraksi wisata, toko serba ada, laundry, tempat cukup dan hiburan yang berdekatan.

Yang tidak kalah penting adalah ketersediaan layanan suku cadang dan perbaikan gawai dan komputer baik oleh penyedia akomodasi atau yang bisa dipanggil dengan cepat dan handal.

Pada jangka panjang ini akan penting bagi pelaku pariwisata Indonesia untuk menarik pasar MICE yang merupakan kependekan dari Meeting (pertemuan), Incentive (bonus), Convention (pertemuan), Exhibition (pameran) dan juga menarik kaum pengembara digital (digital nomad) untuk melirik lokasi wisata di Indonesia sebagai lokasi kerjanya.

Mengingat penegakan prokes akan meningkatkan biaya operasi (untuk peralatan kesehatan dan pengurangan jumlah pengunjung), maka tranformasi berikutnya adalah pelaku pariwisata harus melakukan segmentasi atau memilih pasar.

Pelaku usaha akan mulai menyasar wisatawan dari kelas menengah dan atas yang mengeluarkan lebih banyak uang ketika berwisata. Hal ini bukan berarti perlakuan diskriminatif pada komunitas backpacker, tetapi hal ini penting untuk menjaga kelangsungan usaha pariwisata.

Wisatawan lokal merupakan potensi yang bisa digali, segmen ini melakukan perjalanan sebanyak 282,90 juta kali dengan pengeluaran sebesar Rp 307,35 triliun pada tahun 2019.

Meskipun upaya menarik wisatawan mancanegara (wisman) tetap penting tetapi ke depan peran wisatawan lokal tidak dapat lagi dinomorduakan.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan kelas menengah yang diperkirakan mencapai 52 juta orang, maka wacana remote work dapat memberi pesan bahwa motor penggerak pariwisata ke depan adalah wisatawan lokal.

Untuk itu, pelaku pariwisata harus segera berbenah agar dapat mempercepat pemulihan di sektor ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now