Menu Close
Kementerian Keuangan menganggarkan tambahan modal investasi 5 Triliun untuk Dana Abadi Penelitian di 2020. Bagaimana skema pengelolaannya yang ideal? Shutterstock

Bagaimana skema pengelolaan Dana Abadi Penelitian yang ideal? Komunitas peneliti berpendapat

Awal tahun ini, pemerintah mengumumkan rencana membentuk ‘Dana Abadi Penelitian’ untuk menunjang minimnya pendanaan riset di Indonesia.

Indonesia menganggarkan Rp35,7 triliun atau hanya sekitar 0,24% dari GDP untuk riset pada tahun 2019, jauh lebih kecil dari Thailand (0.5%), Malaysia (1.3%), dan Singapura (2.2%).

Anggaran tahunan ini juga kurang ideal untuk pendanaan penelitian berkelanjutan karena tergantung siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama ini banyak peneliti didanai secara tahunan sehingga kesulitan merencanakan penelitian jangka panjang.

Adanya Dana Abadi Penelitian – yang dana investasinya terus berkembang tanpa harus bergantung pada APBN karena hanya menggunakan interest-nya (bunga investasi) untuk mendanai penelitian – diharapkan dapat mengatasi masalah ini.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri menganggarkan tambahan modal investasi Rp 5 Triliun untuk Dana Abadi Penelitian di tahun 2020, sehingga total dana investasinya kini mencapai Rp 6 Triliun dari yang semula kurang dari Rp 1 Triliun.

Skema operasional dari Dana Abadi ini–yang disahkan mandatnya tahun ini melalui Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) –akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang sedang diformulasikan oleh Kemenkeu.

Sebagai perwakilan dari komunitas peneliti, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) telah dipercaya oleh Kementerian Keuangan sebagai narasumber awal untuk skema pengelolaan Dana Abadi yang akan diatur di dalam Perpres ini.


Read more: Bagaimana bentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional yang efektif dan inovatif?


Kami bertemu dengan peneliti-peneliti dari kedua lembaga tersebut untuk mengetahui lebih lanjut tentang skema ideal dari Dana Abadi Penelitian ini.

Rencananya, ALMI dan AIPI akan mempresentasikan hasil pemikirannya kepada seluruh kementerian terkait pada Januari 2020.

Pemisahan tiga fungsi kelembagaan

Berry Juliandi, seorang neurosaintis dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga merupakan sekretaris jenderal ALMI, mengatakan bahwa Dana Abadi Penelitian harus dipisahkan menjadi tiga fungsi yang berbeda.

Ia menyampaikan gagasan tersebut pada diskusi publik berjudul “Pengelolaan Dana Abadi Penelitian di Indonesia” di Perpustakaan Nasional minggu lalu (13/12).

Berry menegaskan bahwa tiap fungsi ini harus dijalankan secara independen, dan menyarankan lembaga yang tepat untuk mengelola masing-masing fungsi.

1. Pengelolaan portfolio investasi

Fungsi pertama ini berkaitan dengan bagaimana dana ini terus berkembang interest-nya (bunga investasi), yang kemudian akan digunakan untuk pendanaan penelitian.

“Oleh karena, lebih tepat fungsi ini dikelola oleh yang mengerti investasi, dalam hal ini mungkin Kemenkeu atau yang sudah terbiasa melakukan manajemen investasi,” saran Berry.

Sebagai contoh, Dana Abadi Pendidikan–yang setiap tahunnya membiayai mahasiswa untuk studi master dan doktor di luar negeri–investasinya dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).

LPDP merupakan sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang bertanggung langsung jawab kepada Menteri Keuangan.

Dana LPDP sendiri diinvestasikan pada surat berharga, deposito dan obligasi. Tahun ini, total dananya berkembang mencapai lebih dari Rp 50 Triliun.

2. Pengelolaan portfolio riset yang akan didanai

Fungsi kedua ini merupakan proses yang akan menentukan dana penelitian diarahkan untuk riset seperti apa.

“Bagaimana proporsi riset dasar, terapan, atau cenderung ke arah lebih hilir yang bertuju pada inovasi dan teknologi? Bagaimana proporsi riset sosial?,” ujar Berry.

Riset dasar sendiri merupakan penelitian yang bertujuan memperluas ilmu pengetahuan dan sains, sementara riset terapan bertujuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang ada untuk menyelesaikan masalah, mendorong perbaikan kebijakan, atau bahkan komersialisasi produk.

“Ini harus dilakukan oleh yang memang diberikan tugas negara untuk membuat kebijakan riset, dalam hal ini seharusnya dipegang Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).”

Kemenristek sendiri selama ini menentukan kebijakan prioritas riset melalui perencanaan jangka panjang seperti Prioritas Riset Nasional (2020-2024) dan Rencana Induk Riset Nasional (2017-2045).

Meskipun direncanakan secara jangka panjang, ketiadaan lumbung dana berkelanjutan seperti Dana Abadi Penelitian menyebabkan pemerintah kesulitan untuk melakukan pendanaan jangka panjang yang bersifat lama (multi year).

3. Pengelolaan penyaluran dana kepada peneliti

Fungsi ketiga adalah proses penyaluran dana berdasarkan portfolio riset yang telah ditentukan oleh Kemenristek/BRIN. Hal ini berkaitan dengan manajemen pemrosesan proposal penelitian, proses peer review (telaah sejawat), dan seleksi lainnya.

“Ini dapat diserahkan pada lembaga seperti Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), atau lembaga lain yang mungkin akan dibentuk oleh pemerintah untuk menyalurkan dana tersebut,” kata Berry.

DIPI – yang modelnya dibuat berdasarkan lembaga Dana Sains Nasional (National Science Fund, atau NSF) di Amerika Serikat – didirikan pada tahun 2016.

Sebagai satu-satunya lembaga independen penyalur dana penelitian di Indonesia, DIPI mendayagunakan peneliti dari Indonesia maupun luar negeri untuk melakukan peer review proposal penelitian.

Saat ini mereka mengelola portfolio 11 penelitian yang aktif dengan pendanaan total Rp 10,5 miliar.


Read more: Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting


Berry mengatakan bahwa pengelolaan fungsi ketiga (penyaluran dana) oleh lembaga independen akan menjamin objektifitas pendanaan karena peer review dilakukan langsung oleh komunitas peneliti.

“Jika Kemenristek/BRIN yang melakukan seleksi, transparansi dan keterbukaan agak sedikit dipertanyakan karena mereka membuat regulasi namun mereka juga menyeleksi,” katanya.

“Dengan menyerahkan kepada komunitas peneliti melalui lembaga seperti DIPI, mereka bisa dengan bangga mengatakan hasil seleksi ini telah dilakukan secara transparan.”

Menurut Yanuar Nugroho, mantan deputi di Kantor Staf Presiden (KSP) yang saat ini menjadi penasihat di Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), sebuah lembaga yang tidak terbatas oleh masa jabatan lima tahunan atau siklus anggaran tahunan akan menjamin penyaluran pendanaan yang bersifat multi year.

“Kita melihat riset itu seringkali sebagai investasi yang menghasilkan apa. Yang orang sering lupa adalah bahkan kita bangun infrastruktur, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi saja bisa sampai 6 atau 7 tahun kemudian,” katanya.

“Dengan pengelolaan Dana Abadi yang baik, peneliti bisa tenang dan bebas melakukan penelitian jangka panjang tanpa harus memikirkan siklus APBN dan administrasi yang berlebihan.”


Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mendukung The Conversation Indonesia sebagai mitra tuan rumah.


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now