Menu Close
Warga beraktivitas saat digelarnya hari bebas berkendaraan bermotor atau Car Free Day (CFD) di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur. (Sumber: Didik suhartono/Antara)

Bagaimana teknologi sensor murah bisa jadi sarana warga memantau polusi udara bersama-sama

Indonesia – terutama di kota-kota besar – memiliki kualitas udara yang buruk. Per 3 Juni lalu, misalnya, situs pemantauan kualitas udara IQAir mencatat paparan partikel debu 2,5 mikron (PM 2,5) di Indonesia sangat tinggi, 6,9 lipat lebih besar dibandingkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ini belum dihitung material pengotor lainnya seperti nitrogen oksida ataupun sulfur dioksida yang juga berbahaya bagi kesehatan.

Menyadari situasi ini, kesadaran warga di kota-kota besar terhadap kualitas udara sebenarnya sudah bertumbuh. Salah satu yang mencuat adalah gugatan seputar polusi udara Jakarta yang dimenangkan masyarakat pada tahun lalu. Situs pemantauan udara juga dapat diakses oleh publik. Komunitas warga pun aktif menggenjot kesadaran kualitas udara di masyarakat.

Kesadaran tersebut bisa diperkuat melalui partisipasi aktif warga untuk mengukur kualitas udara di sekitarnya. Salah satu peluangnya datang dari sensor mini berbiaya murah (low-cost sensor/LCS) oleh masyarakat.

Peranti ini, jika digabungkan dengan teknologi informasi, bisa menjembatani kesenjangan informasi kualitas udara dan memperkuat upaya pemantauan berbasis warga di Indonesia.

Apa itu low-cost sensor?

Salah satu jenis sensor berbiaya murah. (Sumber: BikePGH)

LCS merupakan sebuah modul sensor yang umumnya terintegrasi dengan modul elektronik untuk mengenali gas dan partikel di udara.

Secara umum, LCS tersedia secara komersial dengan berbagai pilihan teknologi. Harganya berkisar US$100-200 (Rp1,5 - 3 juta) per unit. Angka ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan perangkat sensor konvensional yang harganya melebihi US$1000 USD (>Rp15 juta).

Karena bentuknya yang ringkas dan minim energi, LCS lebih mampu ditempatkan di mana saja, oleh siapapun, dengan biaya yang terjangkau. Kemampuan sensor mendeteksi polutan tergantung lokasi pengukurannya, karena yang diukur adalah sampel pada suatu kawasan dan seberapa jauh atau dekat dengan sumber emisi. Untuk meningkatkan akurasi, sensor dapat menjalani proses kalibrasi di laboratorium.

LCS dapat digunakan untuk mengisi data kualitas udara di titik-titik yang jauh dan sulit dijangkau oleh alat utama. Sensor ini dapat dipasang secara masif di area yang lebih luas, sampai penelitian sains atmosfer terkait manajemen kualitas udara.

Sejak lima tahun terakhir, saya meneliti kualitas udara di sejumlah tempat, mulai dari Dayeuh Kolot, Bandung, Jawa Barat, hingga Pulau Fukue di Jepang menggunakan LCS melalui start-up biruLangit (PT. Ekshalasi Langit Biru).

Studi ini berhasil mengamati pergerakan partikel berbahaya seperti PM2,5 ataupun emisi CO2 secara vertikal (ke lapisan-lapisan atmosfer) maupun horizontal (antardaerah). Pengamatan ini juga bertujuan untuk mengenali sumber emisi dan sebarannya.

Nah, pengukuran tersebut dapat diperluas dengan menempatkan LCS di gedung maupun lokasi tertentu yang dijadikan stasiun tetap. Sensor ini pun dapat dipasang di sepeda ataupun pesawat nirawak (drone),

Contoh LCS yang dibawa menggunakan tas punggung dalam penelitian Steinle dan timnya pada 2015 lalu. (Sumber: Steinle Et al.)

Namun, LCS belum tentu berfungsi optimal di sembarang drone. Pasalnya, beberapa jenis pesawat nirawak tersebut (khususnya bertipe rotary wing atau bergerak seperti helikopter) memiliki lebih banyak baling-baling sehingga mengganggu proses pengukuran. Solusinya, LCS dapat dipasang di drone yang bersayap (seperti pesawat) atau fixed wing.

LCS pun dapat ditempatkan di dalam kotak kecil dan dibawa bepergian oleh warga. Bahkan, sensor ini dapat ditempatkan di dekat hidung dan mulut untuk mengamati polutan yang terhirup ke tubuh manusia. Supaya lebih akurat, LCS ditempatkan sedekat mungkin dengan saluran pernapasan (seperti di pundak).

Pada 2015, riset kualitas udara berhasil dilakukan dengan metode pengukuran ini di pusat kota Edinburgh, Skotlandia, oleh tim peneliti yang dipimpin Susanne Steinle, dari NERC Centre for Ecology & Hydrology (CEH).

Perangkat sensor ini pun dapat dirakit sendiri. Selain sensornya –yang sudah dilengkapi peranti penyimpanan data, kita dapat menambahkan baterai cadangan maupun pipa jika diperlukan (untuk menjadi saluran udara langsung ke dalam sensor).

Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi

LCS dapat digunakan masyarakat untuk membantu pelaporan kualitas udara di lokasi masing-masing. Dengan memasang LCS yang portabel, orang-orang dapat bergerak melakukan aktivitas kesehariannya sambil melakukan proses pengukuran.

Warga dapat berpartisipasi melalui berbagai kegiatan, di antaranya car free day, acara maraton, atau bahkan pasar kaget pada akhir pekan.

Data kemudian dapat disimpan melalui perangkat penyimpanan (seperti flashdisk, kartu memori, atau hard disc) atau langsung dikirim melalui internet ke server cloud.

Data yang diterima dari berbagai piranti tersebut dapat bisa dilacak pergerakannya. Pengolah data kemudian melakukan visualisasi heatmap (peta dengan indikator warna) berbasis parameter kualitas udara selama kegiatan berlangsung.

Dengan melihat data kualitas udara setiap saat, kita bisa melakukan interpretasi secara langsung atas aktivitas yang dilakukan masyarakat melalui sampel data yang dikirim dari para relawan. Kita juga bisa menanyakan pengalaman partisipan terhadap apa yang mereka rasakan atas udara yang mereka hirup pada sebelum, selama, dan sesudah kegiatan.

LCS pun dapat dipasang stasiun tetap di sekitar kegiatan tersebut. Alat pengukuran meteorologi (yang terkait cuaca), juga bisa ditambahkan di tempat yang sama untuk mengetahui hubungan cuaca dengan kualitas udara selama kegiatan berlangsung.

Contoh LCS yang dibawa oleh pesepeda. Sensor di pasang di stang sepeda (tanda panah). (Sumber:penulis)

Pemantauan juga bisa menjadi aktivitas sosial yang diinisiasi oleh komunitas warga. Misalnya, kelompok penggemar sepeda, pegiat drone, ataupun skuter yang tersebar di berbagai daerah.

Perbaikan kualitas udara memerlukan langkah antisipatif dan berkelanjutan dari seluruh warga. Upaya untuk mengajak komunitas pemerhati lingkungan, sosialisasi program kepada pihak swasta, didukung dengan regulasi dan himbauan dari pemerintah, diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat.

Harapannya, langkah bersama ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan bisa menciptakan langit biru di seluruh Indonesia.

-

Penulis adalah salah satu dari 30 peneliti terpilih dalam program kepemimpinan ilmuwan Science Leadership Collaborative yang diadakan oleh The Conversation Indonesia._

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now