Menu Close
Aksi “Pejuang Tanah” dalam peringatan Hari Tani Nasional di depan gedung Sate Bandung, Jawa Barat. (Agus Bebeng/Antara)

Bank Tanah lembaga baru yang mubazir dan mengancam masyarakat adat: akademisi

Bagi pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Maria Sumardjono, Badan Bank Tanah yang didirikan pemerintahan Joko ‘Jokowi’ Widodo ibarat ‘kanker’ bagi persoalan keadilan tata ruang di Indonesia. Dia menganggap lembaga ini berisiko disalahgunakan untuk mencaplok tanah-tanah masyarakat adat yang sampai sekarang belum memperoleh kepastian hukum dari negara.

“Reforma agraria hanya pemanis, kankernya terus berkembang,” ujar Maria dalam diskusi virtual yang dihelat Yayasan Pusaka bersama organisasi pegiat lingkungan Greenpeace, beberapa waktu lalu.

Bank Tanah berdiri pada 29 April 2021 sebagai amanat dari Undang Undang Cipta Kerja. Lembaga ini bertugas menjamin ketersediaan tanah demi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.

Presiden Jokowi kemudian mengukuhkan detil struktur dan tugas-tugas Bank Tanah pada akhir Desember 2021. Menurut Maria, pengukuhan ini menjadi awal kontroversi keberadaan Bank Tanah. Sebab, penerbitan regulasinya bertabrakan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja.

Pada November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan penangguhan segala kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. Mahkamah juga melarang pemerintah menerbitkan seluruh aturan yang terkait beleid tersebut.

“Ini (pendirian Bank Tanah) melanggar terang-terangan putusan MK,” kata Maria.

Berisiko memperparah konflik agraria

Maria mengemukakan tata cara perolehan tanah oleh Bank Tanah berisiko memperparah konflik agraria. Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 mengatur, Bank Tanah dapat memperoleh tanah dari sembilan kriteria, salah satunya adalah tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.

Menurut Maria, ketentuan ini memungkinkan Bank Tanah menguasai tanah adat. Sebab, masyarakat adat memiliki kawasan tertentu yang tidak dihuni, tapi memiliki arti sebagai ruang hidup bersama. Apalagi sebagian besar kawasan ini belum diakui oleh pemerintah.

Tak hanya dicaplok, Bank Tanah juga bisa melakukan kerja sama pemanfaatan tanah tersebut dengan pihak ketiga untuk kegiatan yang bersifat komersial. Hal tersebut memungkinkan karena Pasal 3 ayat (1) huruf e mengatur Bank Tanah yang memiliki fungsi pemanfaatan.

Kewenangan kontroversial itu pun tak dilengkapi akuntabilitas yang memadai. Menurut Maria, PP No. 64/2021 hanya mengatur kewajiban Bank Tanah mempublikasikan laporan keuangan. Aturan tak memuat kewajiban pengumuman laporan kegiatan. “Kealpaan ini terkait dengan masalah akuntabilitas kepada publik, karena tanah yang dikelola Bank Tanah itu sejatinya adalah milik seluruh rakyat,” ujar Maria.

Menurut Maria, pemerintah semestinya mengeluarkan kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat adat. Dia menyitir data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang menyatakan, selama 2021 ada 13 laporan kasus perampasan wilayah adat dengan total luas 251 ribu hektare yang berdampak pada 103 ribu jiwa.

Dia meminta pemerintah merevisi aturan terkait Bank Tanah agar lembaga ini dapat menjaga keseimbangan pemanfaatan tanah untuk berbagai kepentingan secara adil. Maria juga mengharapkan Bank Tanah dapat menjadi perwakilan negara untuk melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan, salah satunya adalah masyarakat adat.

Revisi juga harus diperkuat dengan berbagai kebijakan agraria yang secara tegas mengakomodasi hak-hak masyarakat adat. Misalnya, Maria mengusulkan pemerintah memasukkan masyarakat adat sebagai subjek reforma agraria. Sejauh ini, Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 sebagai landasan hukum reforma agraria belum tegas mengatur hak masyarakat adat.

Langkah lainnya adalah memasukkan rancangan undang-undang (RUU) tentang masyarakat hukum adat ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2022. RUU juga harus dirumuskan dengan partisipasi publik yang cukup.

Bank Tanah yang rawan penyalahgunaan

Profesor bidang kebijakan kehutanan IPB University, Hariadi Kartodihardjo, menganggap keberadaan Bank Tanah tidak diperlukan alias mubazir. Pasalnya, pemerintah telah memiliki Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan nasional yang bertugas memastikan keseimbangan dan keadilan alokasi tanah – termasuk bagi masyarakat adat.

Sebaliknya, skema kemitraan baru pemanfaatan tanah yang berlaku secara terbuka (tanpa prioritas tertentu) dari Bank Tanah kepada badan usaha, perorangan, ataupun kelompok masyarakat, menurut Hariadi, bisa menjadi celah penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan.

Dia berkaca pada pemberian konsesi maupun hak atas tanah berdasarkan alokasi terbuka selama 40 tahun terakhir, sebagian besar di antaranya dialamatkan pada perusahaan besar. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sejumlah pemberian izin tersebut diwarnai dengan korupsi.

“Masyarakat lokal dan koperasi yang sah hanya mendapatkan 4 persen. ” kata dia.

Guna meminimalkan penyalahgunaan dan memastikan alokasi ruang yang seimbang, Hariadi menyarankan adanya kebijakan afirmatif yang berpihak kepada masyarakat adat.

Namun langkah ini tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah, kata dia, perlu membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi subjek-subjek penerima alokasi tanah, khususnya pada masyarakat adat. Objek tanah yang akan dibagikan juga perlu dipetakan.

“Pemerintah harus periksa dulu hak-hak masyarakat adat itu, masyarakatnya maupun hutannya. Ketika selesai, baru bicara alokasi yang adil,” ujar dia

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,100 academics and researchers from 4,950 institutions.

Register now