Menu Close
Indeks Kemiskinan Yogyakarta berbanding terbalik dengan indeks kebahagiaannya.
Pengemudi becak di Yogyakarta tengah bersenda gurau dengan rekannya. Walaupun dinobatkan sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa, nyatanya Yogyakarta menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di Indonesia. Irfan Zharauri/Unsplash, CC BY-SA

Belajar dari Yogyakarta: kemiskinan tidak terbatas pada pengeluaran dan pendapatan - kebahagiaan pun merupakan capaian

Salah satu perdebatan yang akhir-akhir ini muncul yaitu mengenai tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sulit dijelaskan dengan indikator lainnya seperti Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kebahagiaan.

Sepanjang tahun lalu, kemiskinan DIY mencapai 11,34%, sedangkan rata-rata nasional sebesar 9,54%. Pada Maret 2022 saja, misalnya, kemiskinan dihitung berdasarkan batas bawah pengeluaran per bulan sebesar Rp 521.000.

Kasus DIY ini unik karena walau tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa, ia juga memegang posisi sebagai provinsi paling bahagia di pulau terpadat di Indonesia dan dunia ini. Sementara, DIY juga menduduki posisi kedua nasional setelah DKI Jakarta dalam Indeks Pembangunan Manusia, yang dikalkulasikan berdasarkan kesehatan, angka harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak.

Jadi, benarkah bahwa kemiskinan bisa dihitung menggunakan pengeluaran saja?

Menurut Philip Kotler – ahli pemasaran sekaligus profesor emeritus dari Kellog School of Management, Amerika Serikat – dalam bukunya Confronting Capitalism, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan kemiskinan. Ini termasuk jumlah kelahiran yang lebih besar dari kemampuan tanggungan, tidak mampunya orang miskin untuk mengakses modal dalam berwirausaha, sampai dengan kebijakan yang elitis dalam mengatasi kemiskinan.

Namun, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa logika perhitungan kemiskinan berfokus pada sekadar pendapatan dan pengeluaran dan tidak memasukkan dimensi kapabilitas.

Kapabilitas dan kebahagiaan

Teori tentang kapabilitas dan kebahagiaan yang diajukan salah satunya oleh Amartya Sen – pemenang Nobel, ekonom, sekaligus filsuf kenamaan asal India – menekankan pada pentingnya individu mencapai kehidupan yang mereka bisa hargai, misalnya sehat atau memiliki hubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya.

Dalam diskusinya, ia menekankan bahwa kebahagiaan memiliki sesuatu yang intrinsik, yakni nilai yang dihargai oleh individu tersebut. Individu tersebut kemudian mengikatkan nilai-nilai itu ke dalam elemen-elemen hidupnya.

Menurut Sen, setidaknya, kebahagiaan menjadi salah satu aspek yang bisa menjadi informasi dan preferensi individu. Ini menjadi sinergi yang bisa menghubungkan antara dimensi subjektif dan objektif dalam kesejahteraan manusia, dan salah satu metriks untuk mengukur kapabilitas.

Dalam pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai kekurangan kapabilitas untuk menjalani kehidupan yang baik, dan ‘pembangunan’ dipahami sebagai perluasan kapabilitas.

Melihat kasus Yogyakarta, dikotomi penduduk miskin dan tidak miskin berdasarkan pengeluaran adalah hal yang salah. Alasannya, dua tipe konsumsi kelasnya berbeda.

Merujuk kepada laporan Bank Indonesia, pengeluaran konsumsi merupakan komponen terbesar pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta. Masalahnya, data tersebut tersebut menonjolkan bagaimana konsumsi masyarakat menengah-atas menjadi pendorongnya, terutama terjadi di sektor perhotelan, transportasi, dan pakaian. Ini membuat kelas bawah tidak terwakilkan dalam analisis, yang membuat pola konsumsi mereka tidak terlihat.

Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, dan Universitas Katolik Parahyangan di Bandung – ketiganya tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) – melakukan studi lapangan untuk menganalisis dua kelompok berpenghasilan bawah di Kabupaten Gunungkidul pada 2022. Fokusnya adalah pada kewirausahaan sosial yang berkelanjutan.

Pertama yaitu pada Credit Union Mitra Parahita yang melakukan pengentasan kemiskinan dengan basis komunitas. Kelompok ini mendapatkan pendampingan pengelolaaan keuangan dan kewirausahaan. Ditambah dengan diberi akses modal dan jejaring antar komunitas, anggota koperasi dapat mengalami penguatan kapasitas ekonomi.

Kedua, yang lebih menjanjikan, dengan PPD Mitra Sejahtera terhadap komunitas disabilitas untuk menumbuhkan kepercayaan diri penyandang disabilitas. Dari 400 orang penyandang disabilitas, terdapat 125 orang (31%) yang mampu menjalankan usaha lewat program ini. Mereka telah didampingi lewat pelatihan, fasilitasi akses bahan baku, dan dicarikan untuk akses pasar yang ada – sehingga mengalami peningkatan kapabilitas.

Belajar apa dari proses peningkatan kapabilitas?

Setidaknya ada 3 skenario bantuan yang disiapkan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Yogyakarta. Program tersebut adalah Program Keluarga Harapan yang menyasar 204.000 keluarga penerima, pemberian sembako kepada 347.000 keluarga penerima, dan Jaminan Kesehatan Nasional sebesar 1,6 juta orang. Dengan rangkaian program tersebut tersebut, pemerintah mentargetkan angka kemiskinan di sana bisa turun ke kisaran 10,5% atau setara dengan 428.000 jiwa.

Program pengentasan kemiskinan tersebut memiliki dua catatan.

Pertama, dalam merumuskan kebijakan kemiskinan, faktor non-ekonomi banyak berpengaruh di Yogyakarta. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Sanata Dharma dan dua anggota APTIK lainnya, terlihat bahwa peningkatan kapabilitas merupakan kunci pertumbuhan orang lepas dari jerat kemiskinan. Bentuk peningkatan kapabilitas tampak dari peningkatan kepercayaan diri, keterlibatan berorganisasi, dan kemampuan berproduksi.

Jika kita berpedoman bahwa dengan bantuan uang saja sudah cukup, maka kita membiarkan orang dibatasi oleh kekuatan pasar. Jeffrey Sachs – ekonom asal AS dan profersor di Columbia University – percaya bahwa kekuatan pasar tidak mampu untuk mengatasi permasalahan karena kerap tidak tepat sasaran dalam menanggulangi kemiskinan.

Kedua, indikator kemiskinan tidak bisa sepenuhnya berdasar kepada pengeluaran dan pendapatan saja. Konsumsi menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi di DIY, namun tingkat tabungan (dan pertumbuhannya) di provinsi tersebut juga tinggi. Perhitungan rasio tabungan DIY pada tahun 2016 sebesar 47,3%, dengan rata rata nasional sebesar 32,6%. Sedangkan tahun 2022, rasionya mencapai 52,17%, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 36,9%. Berdasarkan data tersebut, tingkat tabungan yang tinggi berpotensi menjadi pendorong untuk peningkatan kapabilitas.


Read more: Orang miskin baru Indonesia terbesar kedua di Asia, kemiskinan multidimensi harus mulai jadi perhatian.


Data ini menunjukkan bahwa kapasitas ekonomi tidak terbatas pada pengeluaran dan pemasukan tetapi bisa juga indikator lainnya. Pemerintah seharusnya mengintegrasikan indikator-indikator ini untuk menentukan masyarakat masuk ke kemiskinan atau tidak, dan menyusun kebijakan yang tepat sasaran. Salah satu metode yang bisa ditempuh adalah dengan memanfaatkan pendekatan kemiskinan multidimensional – yang menekankan pada kesehatan, pendidikan, dan standar hidup – agar penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan basis kebutuhan masyarakat miskin.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now