Menu Close

Benarkah AI bisa mengurangi kesenjangan layanan kesehatan di Indonesia?

Teknologi IDx-DR yang menggunakan AI untuk skrining gangguan mata pada penderita diabetes melitus. Digital Diagnostics, Coralville, IA.

Di tengah pesatnya teknologi informasi dan tantangan kesehatan ke depan, banyak negara menambah daya teknis sektor kesehatan digital lewat artificial intelligence (AI). Melalui digitalisasi, pasien dan masyarakat semakin mudah berinteraksi dengan beragam fitur perawatan kesehatan.

Riset mutakhir yang mensintesis tren pemakaian AI di Indonesia, Singapura, Brazil, Taiwan, Selandia Baru, dan sejumlah negara Eropa mengungkapkan aplikasi kesehatan digital, terutama AI, juga bisa menopang kerja sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Penggunaan aplikasi, misalnya untuk pencegahan dan surveilans penyakit melalui pencitraan termal inframerah dan pengenalan wajah, bisa dilakukan secara tepat waktu dan akurat guna mengendalikan sumber infeksi. Ada juga diagnosis penyakit tidak menular melalui penggunaan AI dalam teknologi IDx-DR untuk skrining gangguan mata pada penderita diabetes melitus.

Pemakaian AI juga bisa menyentuh praktik evidence based decision making (EBDM) untuk pengambilan keputusan yang efektif, efisien dan adil berbasis pada bukti-bukti valid.

Walaupun digitalisasi kesehatan seperti telemedicine, telekonsultasi dan sistem pelaporan penyakit secara digital mulai banyak dipraktikkan di Indonesia, inovasi ini sarat dengan persoalan teknis-sosial. Kita harus melihatnya sebagai tantangan yang membutuhkan solusi.

Ketimpangan infrastruktur telekomunikasi

Inovasi informasi kesehatan di tingkat fasilitas pelayanan atau organisasi kesehatan di negara berpendapatan rendah dan menengah masih menghadapi tantangan sistemik yang unik.

Pertama, masih terjadi ketimpangan infrastruktur telekomunikasi sebagai prasarana pendukung transformasi kesehatan digital. Dampaknya, tidak semua wilayah memiliki kesempatan akses jaringan yang memadai.

Sebagai contoh, wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali, tidak bisa rutin memanfaatkan aplikasi sistem informasi rujukan terintegrasi (SISRUTE) dan Early Warning and Response System (EWARS) untuk deteksi wabah penyakit menular, karena kendala jaringan internet kurang memadai.

Kedua, level manfaat digitalisasi untuk pelayanan kesehatan sensitif terhadap determinan sosial kesehatan. Maksudnya, berbagai faktor sosial memengaruhi level manfaat digitalisasi pelayanan kesehatan. Apakah benar-benar bermanfaat atau kurang optimal manfaatnya.

Faktor-faktor itu meliputi kapasitas sistem kesehatan daerah, kesiapan petugas kesehatan, literasi digital, sikap keraguan terhadap teknologi digital (cyber skeptic), dan kepercayaan penduduk lokal.

Jika faktor-faktor ini rendah atau kurang, maka bisa menghambat akses dan berakibat distribusi pelayanan berkualitas tidak merata.

Pada saat yang sama, ada banyak desakan peneliti kesehatan dan obat, pemangku kepentingan, dan pegiat kesehatan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan distribusi logistik obat di seluruh Indonesia berbasis AI.

AI bisa membantu tenaga kesehatan dalam mendiagnosis dan merawat pasien hanya dengan menggabungkan data demografi dan kesehatan Indonesia dengan kemampuan analisis AI.

Misalnya, preeklampsia–penyebab kematian ibu, kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR) di seluruh Indonesia–dapat diprediksi dengan cara mengombinasikan data demografi dan riwayat medis ibu dari data Jaminan Kesehatan Nasional. Dengan bantuan AI, deteksi dan penanganan preeklampsia bisa lebih cepat dan efektif tertangani sehingga mengurangi risiko terburuk sekaligus lebih efisien dari sisi biaya.

Kecerdasan buatan juga bisa memengaruhi hampir setiap aspek perawatan kesehatan. Mulai dari dukungan keputusan klinis di instalasi perawatan hingga tata laksana kondisi kronis pasien sendiri di rumah.

AI juga bisa meringankan beban berlebih tenaga kesehatan dan berefek baik pada kinerja sistem secara keseluruhan. Hal tersebut dapat diamati baik untuk pelayanan medis di dalam gedung maupun di luar gedung.

Di instalasi gawat darurat rumah sakit, misalnya, untuk mengantisipasi dan merespons lonjakan kasus pasien, AI dapat digunakan untuk mengatur jadwal atau shift kerja sesuai kebutuhan rumah sakit. Dokter atau petugas kesehatan lainnya siap dipanggil dengan mudah dapat dihubungi tepat waktu kapan saja.

Sedangkan di komunitas, sebuah riset menunjukkan Google trends sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mendeteksi dengue lebih dini. Cara ini lebih cepat dibanding deteksi manual membutuhkan yang waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan data. Hal ini bisa membantu mendeskripsikan pola pencarian perawatan kesehatan oleh penduduk di suatu tempat.

Ketimpangan ikutan akibat AI

Selain ketimpangan di level infrastruktur telekomunikasi, ada beberapa kekhawatiran bahwa AI bisa menimbulkan ketimpangan baru.

Pertama, ketersediaan data multimodal (seperti genomik, ekonomi, demografi, klinis, dan fenotipik ditambah inovasi teknologi internet of things (IoT)) memang bisa mengubah model perawatan kesehatan yang diperkuat kecerdasan buatan secara mendasar. Situasi ini tergambarkan dari transisi ke kesehatan digital saat ini yang kemajuannya cukup menjanjikan setelah disinkronisasi dengan berbagai basis data dan sumber informasi layanan kesehatan. Bahkan, pada 2025, ada prediksi 60 persen penduduk Indonesia akan memanfaatkan fitur kesehatan digital.

Namun demikian, kualitas layanan kesehatan yang tidak merata, literasi digital yang rendah, dan kurangnya interoperabilitas (data yang saling terhubung) antara sistem layanan kesehatan dan inovasi berbasis AI bisa menciptakan ketimpangan baru.

Oleh karena itu, kebermanfaatan AI tidak bisa hanya diukur dari otomatisasi proses perawatan kesehatan, ataupun bertambahnya intensitas komunikasi atau konsultasi antara petugas medis dengan pasien. Otomatisasi sistem informasi tidak bisa mewakili kinerja keseluruhan ekosistem perawatan kesehatan.

Kedua, temuan riset terbaru menggarisbawahi serangkaian tantangan mengintegrasikan teknologi AI ke dalam sistem perawatan yang sudah ada. Ada kekurangan tenaga terlatih untuk implementasi AI dan ketidakcocokan teknologi AI dengan infrastruktur lama.

Oleh karena itu, pengembangan dan penerapan AI di Indonesia membutuhkan penyesuaian kebutuhan lokal, bukan sekadar mengikuti tren global.

Ketiga, kepemilikan telepon pintar oleh penduduk Indonesia cukup tinggi. Ini merupakan landasan yang kokoh untuk tahap demi tahap memasyarakatkan AI untuk pencegahan penyakit, pengobatan, dan pemeliharaan kesehatan yang lebih manusiawi.

Namun, tingkat kepemilikan telepon pintar tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi kesehatan para netizen. Hal ini menjadi cikal bakal ketimpangan baru secara khusus di masyarakat dalam pemanfaatan AI.

Semua kekhawatiran tersebut membutuhkan parameter kebermanfaatan penerapan AI ke dalam ekosistem kesehatan yang ada yang lebih representatif.

Representatif berarti kebermanfaatan AI tidak hanya berpatokan pada otomatisasi sistem pelayanan kesehatan. Tolok ukur kegunaan AI juga harus sensitif terhadap atribut lainnya seperti variasi geografis yang memengaruhi sistem dan pelayanan kesehatan setempat (misalnya berbasis kepulauan, pulau terluar, daerah terpencil, perbatasan), dan variabel determinan sosial-kesehatan.

AI perlu pertimbangkan ketimpangan di level lokal

Agar tidak menimbulkan ketimpangan baru, kebijakan masa depan pengembangan AI di sektor pelayanan kesehatan harus lebih berkonsentrasi mengurangi determinan sosial dan struktural kesehatan di sektor hulu yang sifatnya lintas bidang.

Kecerdasan buatan mesti memberi petunjuk perbedaan karakteristik hambatan struktural untuk resiliensi sistem kesehatan lokal.

Kita harus mengidentifikasi dan memperbaiki faktor diskriminatif apa pun yang dapat memperlebar ketimpangan. Interpretasi output dari sistem AI harus mempertimbangkan kekuatan dan keterbatasan penalaran terutama generalisasi secara statistik.

Penggabungan keahlian klinis, keterlibatan komunitas yang inklusif, interdisipliner, dan refleksivitas etika harus jadi patokan pengembangan AI.

Dengan demikian, parameter kebermanfaatan AI harus dibedakan antara pasien, fasilitas pelayanan kesehatan, sistem kesehatan, manajemen, dan layanan data kesehatan. Tanpa itu, pola ketidaksetaraan dan bias kesehatan sistemik akan memasuki sistem AI. Dan menyebabkan ketimpangan status kesehatan semakin tidak proporsional.

Oleh karena itu, deskripsi lengkap tentang parameter ketimpangan kesehatan di era teknologi digital harus mempertimbangkan titik berangkat yang berbeda. Dengan demikian, AI tidak dipandang sebagai risiko melainkan sebagai solusi untuk arsitektur kesehatan masyarakat.

Semua aspek perlu dipertimbangkan untuk menerapkan AI yang adil dalam ekosistem pelayanan kesehatan yang kondusif. Pada akhirnya AI membawa perubahan paradigma perawatan kesehatan yang didukung oleh peningkatan ketersediaan data untuk meningkatkan pemerataan kesehatan di seluruh pelosok negeri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now