Menu Close
Lightspring/shutterstock.

Benarkah Immanuel Kant rasis?

Immanuel Kant adalah salah satu peletak dasar filosofis kesetaraan martabat semua manusia atau biasa disebut prinsip universalisme. Sayangnya, pencapaian Kant ini dinodai oleh tudingan rasisme dalam karya-karyanya.

Kant dituding sebagai pemikir universalisme yang tidak konsisten, atau bahkan, teoretikus rasisme.

Apakah Kant memang seorang rasis?

Jejak rasisme dalam karya-karya Kant

Tudingan Kant rasis muncul karena adanya jejak kalimat bias di dalam karya-karyanya. Sebenarnya, secara kuantitatif, jejak tersebut tidaklah seberapa dan tersebar secara sporadis.

Namun, rasisme adalah persoalan yang sensitif. Sensitivitas inilah yang mendorong penelitian intensif bertema rasisme di dalam pemikiran Kant.

Misalnya, dalam karya Kant yang berjudul Von den verschiedenen Racen der Menschen (Perihal Perbedaan Ras Manusia).

Di karya tersebut, Kant mengategorikan manusia ke dalam empat ras: putih, negro (Neger), mongoloid (Hünnische), dan India (Hindustan). Kant berargumen bahwa kategorisasi ini didasarkan pada warna kulit. Keempat ras tersebut berasal dari satu nenek moyang yang sama (monogenesis) dan perbedaan ras muncul karena faktor adaptasi dengan lingkungan dan cuaca.

Kant juga beranggapan bahwa ada karakter khusus yang melekat di masing-masing ras. Ini adalah anggapan yang mengandung bias, yang kemudian memancing tudingan rasisme.

Rasisme ini menjadi semakin kentara ketika Kant mengatakan bahwa kaum Negro adalah pemalas, lemah, dan suka mengeluh karena terlalu dimanjakan oleh kelimpahan alam. Dibandingkan kaum kulit putih yang hidup di alam yang lebih keras secara suhu dan cuaca, Kant menganggap kaum Negro yang hidup di alam tropis lebih mudah dan nyaman hidupnya.

Di dalam Menschenkünde oder Anthropologische Philosophie (Ilmu Pengetahuan Manusia atau Filsafat Antropologi), Kant menegaskan karakter dari masing-masing ras. Kant membuat peringkat ras berdasarkan kriteria talenta dan kapasitas. Orang kulit putih memiliki posisi tertinggi. Tiga ras lainnya berada di bawah kulit putih. Bias superioritas kulit putih terlihat dalam hirarki ini.

Jejak hirarki ras juga dapat ditelusuri dalam Über den Gebrauch teleologischer Prinzipien in der Philosophie (Penggunaan Prinsip Teleologis dalam Filsafat). Kant menegaskan bahwa penduduk asli Amerika terlalu lemah untuk dapat bekerja keras dan kedudukannya lebih rendah dari orang Negro. Secara implisit, ini adalah stigma yang didasarkan pada bias superioritas kulit putih Eropa. Superioritas ini didasarkan pada asumsi keunggulan intelektual, budaya, dan peradaban.

Dalam Kritik der Urteilskraft (Kritik terhadap Putusan), Kant juga menyebutkan bahwa status penduduk asli Amerika belum sepenuhnya manusia. Lalu dalam Physische Geographie (Geografi Fisik), Kant mengatakan bahwa ras kulit putih adalah ras yang paling sempurna (Vollkommenheit) dan menempati puncak hirarki. Sedangkan ras kulit berwarna seperti orang India, Negro dan penduduk asli Amerika statusnya berada di bawah.

Selain itu, indikasi antisemitisme juga ditemukan dalam Antropologie in pragmatischer Hinsicht (Antropologi dari Sudut Pandang Pragmatis). Kant menyebut bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa pembohong dan juga memiliki mental pemeras.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, wajar jika banyak orang menilai Kant sebagai pemikir era pencerahan (Aufklärung) yang belum dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sentimen superioritas kulit putih masyarakat Eropa.

Sebenarnya, Kant tidak memiliki pengetahuan etnografi yang mendalam. Kant bukanlah seorang petualang. Sepanjang hidupnya, Kant tidak pernah meninggalkan Königsberg (sekarang Kaliningrad di Rusia), kota kelahirannya.

Monumen Kant di kota kelahirannya: Königsberg (sekarang Kaliningrad) di Rusia. Dugwy39/shutterstock.

Pengetahuan etnografi Kant diperoleh dari literatur petualangan yang dia baca. Kant hanya mengamini apa yang dia baca tanpa melakukan telaah kritis. Ini membuat klaim-klaim yang dia buat tidak didasarkan pada analisis data yang memadai dan data yang digunakan berasal dari pengalaman tangan kedua. Kant tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan ras-ras yang dia tuliskan dalam karya-karyanya.

Jadi, apakah Kant rasis?

Menurut penulis, rasisme Kant tidak bersifat ideologis. Artinya, meski memberikan pernyataan yang menghakimi, Kant percaya bahwa karakter ras bukanlah harga mati yang tidak dapat diubah. Karakter ras masih dapat diperbaiki. Kant menaruh harapan pada seni dan ilmu pengetahuan dalam menempa, memperadabkan, dan mendongkrak kualitas moral manusia sebagai mahkluk yang bernalar (vernünftig).

Pemikiran Kant perihal prinsip universalisme moral jauh lebih banyak di dalam karya-karyanya. Bagi Kant, martabat manusia tidak melekat pada aspek biologis dan tidak dibatasi oleh kategori ras. Martabat manusia melekat pada nalar (Vernünft) dan kehendak bebas (Willensfreiheit). Kant sangat menekankan dua hal ini sebagai ketentuan (Bestimmung) dari kemanusiaan seorang manusia.

Hanya, tesis universalisme martabat manusia Kant masih belum cukup universal karena mengecualikan mereka-mereka yang tidak memenuhi kriteria kemampuan bernalar dan kehendak bebas. Bagaimana, misalnya, dengan orang yang mengalami gangguan mental atau memiliki demensia? Kemampuan bernalar dan kehendak bebas justru membatasi universalisme kesetaraan martabat semua manusia.

Ini semacam rasisme intelektual yang berpotensi mendorong adanya diskriminasi baru. Inilah persoalan yang lebih serius di dalam filsafat Kant.

Universalisme tanpa batasan

Harus diakui bahwa karya-karya Kant mengandung muatan yang terindikasi rasisme. Di satu sisi, Kant adalah peletak dasar tesis universalisme martabat manusia. Di sisi lain, terdapat setidaknya dua inkonsistensi di dalam pemikiran Kant: superioritas orang kulit putih yang memunculkan hirarki ras, dan rasisme intelektual.

Namun, inkonsistensi Kant tidak serta merta menyanggah tesis universalisme martabat manusia. Ibaratnya, Kant hanya menunjukkan jalan, tetapi belum mengantarkan kita pada tujuan.

Universalisme martabat adalah fondasi dari kesetaraan hak asasi manusia. Di satu sisi, jasa Kant akan hal tersebut tidak boleh dilupakan. Namun, emikiran Kant juga harus kita telaah dengan kritis.

Gayatri C. Spivak, kritikus sastra dan postkolonialisme dari India, mengatakan bahwa pemikiran Kant harus dikoreksi dengan tesisnya sendiri. Artinya, baik superioritas kulit putih maupun kriteria kemampuan nalar dan kehendak bebas tidak boleh membatasi universalisme martabat manusia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now