Menu Close
Perekonomian Cina

Berguru pemikiran ekonomi ke Cina: kesejahteraan bersama dan implikasinya bagi Indonesia

Cina yang ekonominya maju hari ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran yang melatarbelakanginya. Ide tentang pembangunan ekonomi berdasarkan karakteristik Cina berakar dari konsep kesejahteraan bersama (common prosperity).

Konsep ini pertama kali muncul pada 1953 oleh Bapak Pendiri Cina, Mao Zedong. Beliau menyatakan bahwa pembangunan ekonomi sosialis Negeri Tirai Bambu tersebut bersandar pada gagasan ini. Presiden Cina saat ini, Xi Jinping, kerap menyebut konsep ini dalam pidatonya dan sudah muncul 65 kali sejak tahun 2020.

Maksud dari konsep kesejahteraan bersama adalah membangun tata kelola dan menekankan konsumsi masyarakat sebagai multiplier utama perekonomian, alih-alih investasi.

Ide tentang kesejahteraan bersama ini juga tidak hanya di Cina. Indonesia, sejak awal kemerdekaan, sudah merumuskan konsep kesejahteraan umum. Mohammad Hatta pun menyatakan bahwa kesejahteraan berarti terdapat kedaulatan ekonomi.

Dalam praktiknya, kedaulatan ekonomi ini bisa dihasilkan dari pemenuhan kebutuhan secara mandiri lewat produksi dalam negeri yang menghasilkan lapangan pekerjaan. Benang merah dari pemikiran ini adalah bahwa terdapat ide untuk mewujudkan kesejahteraan yang ada di tangan masing-masing negara. Namun, Cina bisa menjadikan ide tersebut sebagai kenyataan.

Pemenuhan kebutuhan sendiri

Ekonom menyalahkan lemahnya permintaan domestik dan ekspor akibat COVID-19 dan krisis biaya hidup yang mengguncang negara-negara dunia sebagai dalang dari melemahnya perekonomian negara tersebut. Permintaan domestik memang memainkan peranan besar dalam mendorong perekonomian suatu negara.

Meski begitu, permintaan domestik Cina masih tergolong tinggi. Per 2022, permintaan domestik masih menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Salah satu kebijakan industrialisasi Cina adalah dengan memenuhi kebutuhan industri domestik. Beberapa industri kunci seperti besi dan baja digunakan untuk membentuk sebuah rantai pasok yang global lewat program seperti Belt dan Road Initiative (BRI).

Cina terakhir kali mengalami defisit neraca perdagangan–yakni saat impor lebih besar daripada ekspor–pada 1993. Selama tiga dekade hingga kini, neraca perdagangan Cina selalu surplus.

Meski ada banyak kemungkinan di balik surplus perdagangan Cina–termasuk kebijakan mata uang dan perdagangan yang membuat harga barang impor menjadi mahal dan menurunkan harga barang ekspor–paling tidak hal ini menunjukkan kekuatan negara tersebut menopang dirinya sendiri.

Inklusivitas: berbagi kekayaan

Pemikiran tentang kesejahteraan bersama memiliki akar yang kuat dari nilai inklusivitas. Pemerintah Cina telah menegaskan komitmennya untuk masa depan masyarakat (shared future of mankind), terlebih penciptaan kekayaan akan tidak berarti jika tidak dibagi.

Cina menginginkan peran yang lebih dalam memimpin Negara-negara Selatan (istilah bagi negara berkembang yang kebanyakan berada di selatan garis khatulistiwa) dan menyebarkan gaya tata kelola perekonomian mereka yang menekankan nilai kesetaraan dan kerjasama.

Dalam tataran praktis, ini terlihat dari bagaimana Cina melakukan rangkaian kebijakan internasional seperti BRI, bahkan membentuk The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan BRICS sebagai bagian dari strateginya.

BRI, megaproyek yang diluncurkan pada 2013, merupakan ambisi Cina untuk memperkuat jalur perdagangannya. Dengan menekankan pada pentingnya konektivitas, Cina mengucurkan dana ke berbagai negara untuk membangun infrastruktur dan proyek-proyek strategis.

Terlepas dari segala kontroversinya, hasil studi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa BRI mempunyai pengaruh perdagangan, investasi asing, dan juga kehidupan masyarakat–jika ditambah dengan reformasi kebijakan ekonomi lokal di Cina. Salah satu pengaruhnya adalah mengurangi biaya perdagangan antar negara, namun dengan potensi utang publik meningkat. Sementara, reformasi kebijakan meliputi transparansi, perhitungan risiko hutang, dan mitigasi pengaruh buruk proyek terhadap lingkungan, sosial, dan risiko korupsi.

Dalam konteks AIIB, Cina mengharapkan institusi ini menjadi awal mula pembangunan ekonomi bagian Selatan, terutama dalam meningkatkan kesetaraan dan juga mempersempit kesenjangan infrastruktur.

Selama ini, struktur voting yang ada dalam lembaga-lembaga internasional tidak memberikan kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Di Dana Moneter Internasional, misalnya, negara-negara BRICS hanya mendapat 10.3% sedangkan negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Prancis memiliki nilai voting lebih tinggi.

Sementara, AIIB memiliki struktur tata kelola yang lebih bervariasi, dengan mempertimbangkan anggota baru ataupun negara yang mendapatkan bantuan dari AIIB.

Terkait kesenjangan infrastruktur, lembaga pendanaan ini melihat adanya gap pembangunan urban dan rural yang harus diisi. Nilainya kurang lebih US$93 triliun (Rp1.443 triliun) sampai dengan 2030.

Apa yang Indonesia dapat pelajari?

Pemilu 2024 yang akan dilangsungkan pada bulan Februari kini semakin dekat, dan sampai sekarang masyarakat masih menunggu program ekonomi seperti apakah yang akan diberikan setiap pasangan calon.

Sejauh ini program-program yang ditawarkan ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden terlihat berfokus pada program jangka pendek, meski gagasan-gagasan seperti hilirisasi dan industrialisasi. Bahkan, beberapa program hanya menyasar hanya kebutuhan pokok dan bukan visi besar ekonomi sebagai negara maju yang seharusnya mampu mendorong transformasi struktural.

Salah satu agenda yang tidak kalah penting yaitu bagaimana Indonesia bisa “berbagi” dan terkoneksi dalam masyarakat ekonomi ASEAN. Cetak biru masyarakat ekonomi ASEAN mengharapkan adanya alur kerja yang jelas agar pembangunan makin inklusif dan partisipatif pada 2025.

Belajar dari Cina, seharusnya ada yang bisa dilakukan oleh calon pemimpin masa depan Indonesia.

Pertama yaitu, visi intervensi yang kuat dan tetap mendukung konteks pasar dan masyarakat lokal. Pemerintah Cina merencanakan pemerataan dan strategi fiskal untuk menutup ketimpangan antar wilayah. Hal ini bisa dilakukan dengan menerbitkan obligasi daerah untuk pembiayaan.

Kedua, adalah dengan melakukan ekspansi kebijakan di tingkat lokal, terutama mengembangkan kapasitas aparatur sipil negara agar desentralisasi sesuai dengan perencanaan ekonomi jangka panjang yang ada. Cina telah mengembangkan kebijakan desentralisasi yang sesuai perencanaan jangka panjang untuk tema kebijakan lingkungan dan perumahan.

Tanpa kebijakan ekonomi besar, kita tidak bisa mempunyai pengaruh geopolitik yang kuat untuk berkontribusi ke kawasan. Dibutuhkan visi yang tidak hanya sekadar program jangka pendek yang menyasar solusi cepat, tetapi juga suatu proses perubahan cara pikir ekonomi sehingga punya capaian sebagai negara maju. Hal ini membutuhkan kolaborasi yang menyeluruh antara semua pihak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now