Menu Close
Shutterstock

Berikut analisis filsuf ilmu pengetahuan tentang mengapa kita harus percaya sains

Banyak dari kita menerima bahwa sains adalah panduan yang dapat diandalkan untuk hal-hal yang harus kita percayai – tetapi tidak semua dari kita percaya sains.

Ketidakpercayaan terhadap sains telah menyebabkan skeptisisme seputar beberapa masalah penting, mulai dari penolakan perubahan iklim hingga keraguan terhadap vaksin selama pandemi COVID. Kebanyakan dari kita mungkin cenderung untuk mengabaikan skeptisisme seperti itu dan mengganggapnya tidak beralasan. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa kita harus mempercayai sains?

Sebagai seorang filsuf dengan fokus pada filsafat ilmu pengetahuan, saya sangat tertarik dengan pertanyaan ini. Ternyata, mendalami karya para pemikir hebat dapat membantu menjawabnya.

Argumen umum

Satu pemikiran yang mungkin muncul di benak kita adalah kita harus mempercayai para ilmuwan karena mereka mengatakan kebenaran.

Namun, ada masalah dengan ini. Salah satunya adalah pertanyaan jika yang dikatakan seorang ilmuwan, pada kenyataannya, merupakan kebenaran. Orang yang skeptis akan menunjukkan bahwa ilmuwan hanyalah manusia dan rentan membuat kesalahan.

Jika kita melihat sejarah sains, kita juga menemukan bahwa yang diyakini para ilmuwan di masa lalu sering kali salah. Ini menunjukkan bahwa yang diyakini para ilmuwan sekarang mungkin suatu hari nanti ternyata salah. Ada saat-saat dalam sejarah ketika orang mengira bahwa merkuri dapat mengobati sifilis, dan bahwa benjolan pada tengkorak seseorang dapat mengungkapkan karakter orang tersebut.

Model kepala dengan tanda-tanda frenologi
Frenologi merupakan pseudosains populer di abad ke-19 yang mengklaim bahwa benjolan di tengkorak dapat mengungkapkan sifat mental seseorang. Shutterstock

Hal menggiurkan lain yang menyarankan bahwa kita harus mempercayai sains adalah karena sains didasarkan pada “fakta dan logika”.

Walaupun mungkin benar, sayangnya klaim ini tidak banyak membantu dalam membujuk seseorang yang cenderung menolak perkataan ilmuwan untuk percaya sains. Kedua belah pihak yang berselisih akan mengklaim bahwa mereka memiliki fakta; orang-orang yang menyangkal perubahan iklim mengatakan bahwa pemanasan global hanyalah sebuah “teori.”


Read more: Vaccine hesitancy: Why ‘doing your own research’ doesn’t work, but reason alone won’t change minds


Metode Karl Popper dan metode ilmiahnya

Salah satu jawaban berpengaruh atas pertanyaan mengapa kita harus mempercayai para ilmuwan adalah karena mereka menggunakan metode ilmiah. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: apakah metode ilmiah itu?

Laporan paling terkenal mungkin datang dari filsuf sains Karl Popper, yang telah mempengaruhi fisikawan matematika pemenang Medali Einstein dan pemenang Penghargaan Nobel dalam bidang biologi dan fisiologi dan kedokteran.

Potret hitam putih Karl Popper
Karl Popper (1902-1994), yang berdarah Inggris dan Austria, adalah salah satu filsuf sains paling berpengaruh di abad ke-20. Wikimedia

Menurut Popper, sains berkembang melalui proses yang ia sebut “dugaan dan sanggahan.” Para ilmuwan dihadapkan dengan beberapa pertanyaan dan menawarkan kemungkinan jawaban. Jawaban ini merupakan sebuah dugaan karena tidak diketahui apakah itu benar atau salah, setidaknya pada awalnya.

Popper mengatakan bahwa para ilmuwan kemudian melakukan yang terbaik untuk membantah dugaan ini, atau membuktikan bahwa dugaan tersebut salah. Biasanya dugaan akan disangkal, ditolak, dan diganti dengan yang lebih baik. Ini juga akan diuji, dan akhirnya diganti dengan yang lebih baik. Dengan cara inilah sains berkembang.

Terkadang proses ini dapat menjadi sangat lambat. Sebagai bagian dari teori relativitas umumnya, Albert Einstein memprediksi keberadaan gelombang gravitasi lebih dari 100 tahun yang lalu. Namun, baru pada tahun 2015 para ilmuwan berhasil mengamatinya.

Bagi Popper, inti dari metode ilmiah adalah upaya untuk menyanggah atau menyangkal teori, yang disebut “prinsip falsifikasi.” Jika para ilmuwan belum mampu menyangkal sebuah teori dalam jangka waktu yang lama meski telah berusaha sebaik mungkin, maka dalam terminologi Popper, teori tersebut telah “dikoroborasi”.

Ini menunjukkan kemungkinan jawaban atas pertanyaan mengapa kita harus mempercayai yang dikatakan para ilmuwan. Itu karena, terlepas dari upaya terbaiknya, mereka tidak dapat menyangkal bahwa gagasan yang mereka katakan itu benar.

Mayoritas menentukan

Baru-baru ini, jawaban atas pertanyaan tersebut diartikulasikan lebih lanjut dalam sebuah buku oleh sejarawan sains Naomi Oreskes. Oreskes mengakui pentingnya peran untuk menyangkal teori yang disebutkan Popper, tetapi juga menekankan elemen sosial dan konsensual dari praktek ilmiah.

Menurut Oreskes, kita memiliki alasan untuk mempercayai sains karena, atau sejauh, ada konsensus di antara komunitas sains (yang relevan) mengenai kebenaran suatu klaim – saat komunitas ilmiah yang sama telah melakukan yang terbaik untuk menyangkalnya, dan gagal.

Berikut ini adalah gambaran singkat tentang proses yang umumnya dilalui oleh sebuah ide ilmiah sebelum muncul konsensus yang membenarkan ide tersebut.

Seorang ilmuwan mungkin memberikan makalah tentang beberapa ide kepada rekan kerjanya yang kemudian mendiskusikan makalah tersebut. Salah satu tujuan dari diskusi ini adalah untuk menemukan sesuatu yang salah dengannya. Jika makalah lulus tes, ilmuwan dapat menulis makalah penelaahan sejawat tentang ide yang sama. Makalah akan diterbitkan setelah dianggap cukup pantas oleh seorang peninjau.

Orang-orang lain kemudian dapat melakukan tes eksperimental pada ide tersebut. Jika melewati jumlah yang cukup ini, konsensus akan menunjukkan bahwa ide ini benar.

Sebuah contoh bagus dari teori yang mengalami transisi seperti ini adalah teori pemanasan global dan dampak manusia terhadapnya. Pada awal tahun 1896, peningkatan kadar karbon dioksida di atmosfer Bumi dapat menyebabkan pemanasan global telah diajukan.

Pada awal abad ke-20, muncul teori lain yang mengatakan bahwa tidak hanya telah terjadi, tetapi karbon dioksida yang dilepaskan dari aktivitas manusia (yaitu pembakaran bahan bakar fosil) dapat mempercepat pemanasan global. Meski teori ini mendapatkan beberapa dukungan, sebagian besar ilmuwan tetap tidak yakin.

Namun, sepanjang separuh abad ke-20 dan abad ke-21, teori perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah berhasil melewati pengujian berkelanjutan, sehingga satu meta-studi baru-baru ini menemukan lebih dari 99% komunitas ilmiah yang relevan telah menerima kenyataanya. Ini mungkin mulai sebagai hipotesis belaka, kemudian berhasil melewati pengujian selama lebih dari seratus tahun, dan sekarang telah diterima secara hampir universal.

Garis bawahnya

Ini tidak berarti kita harus menerima semua yang dikatakan para ilmuwan secara tidak kritis. Tentu saja ada perbedaan antara satu ilmuwan atau kelompok kecil yang terisolasi yang mengatakan suatu hal, lalu ada konsensus dalam komunitas ilmiah bahwa hal tersebut benar.

Tentu saja, karena berbagai alasan, termasuk alasan praktis, alasan finasial, dan lainnya – para ilmuwan mungkin tidak melakukan yang terbaik untuk menyangkal beberapa ide. Bahkan, jika para ilmuwan telah berulang kali mencoba dan gagal untuk menyangkal teori yang diberikan, sejarah sains menunjukkan bahwa di masa depan, teori tersebut mungkin akan salah ketika ada bukti baru yang terungkap.

Jadi, kapan kita harus mempercayai sains? Pandangan yang muncul dari Popper, Oreskes, dan penulis-penulis lain di bidang ini menunjukkan bahwa kita memiliki alasan yang baik, tetapi mungkin salah, untuk mempercayai yang dikatakan para ilmuwan ketika ada konsensus yang membenarkan ide itu, terlepas dari upaya terbaik mereka untuk menyangkal suatu gagasan.


Read more: Curious Kids: what is the most important thing a scientist needs?



Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now