Menu Close

‘Berita palsu’ tentang letusan gunung berapi bisa bahayakan nyawa penduduk

Gunung api Katla di Islandia meletus terakhir pada 1918 – tapi tak ada bukti yang menunjukkan gunung akan meletus lagi dalam waktu dekat. ICELANDIC GLACIAL LANDSCAPES/Wiki

Gunung berapi Islandia Eyjafjallajökull menjadi berita utama di seluruh dunia pada 2010 ketika gunung itu menyemburkan abu yang mengarah ke Eropa, sehingga lalu lintas udara dilarang melintasi benua tersebut.

Baru-baru ini, saudara dan tetangga yang lebih besar gunung api tersebut, Katla, juga menjadi pemberitaan. Awalnya surat kabar mengatakan “gunung api raksasa” itu siap meletus, tapi dalam beberapa hari beberapa artikel menyatakan bahwa berita tersebut adalah sebuah kesalahan dan berita letusan itu prematur. Apa yang terjadi?

Lebih dari 1.100 tahun terakhir, Katla telah meletus setidaknya 21 kali–rata-rata sekitar satu kali setiap 50 tahun atau lebih. Saat ini satu abad sejak letusan besar melewati es, yang menghasilkan kolom setinggi 14 kilometer dari batuan dan gas vulkanik, juga banjir besar dari sedimen dan es yang meleleh. Tapi ini tidak berarti bahwa sudah waktunya untuk letusan berikutnya. Gunung berapi tidak meletus sesuai jadwal. Jadi mengapa sering diberitakan demikian?

Katla di dasar … di bawah es. danielmoreira02 / shutterstock

Kebingungan dari berita baru-baru ini dipicu oleh penerbitan artikel akademis oleh tim ilmuwan yang dipimpin oleh Evgenia Ilyinskaya di University of Leeds. Mereka telah melakukan survei pemantauan gas di Katla pada 2016-2017, yang menunjukkan bahwa Katla memancarkan jauh lebih banyak CO₂ dari perkiraan sebelumnya.

Salah satu bagian yang menarik dari penelitian ini rekomendasi agar pemantauan gas menjadi bagian dari pengamatan rutin gunung berapi yang tersembunyi di bawah gletser atau lapisan es. Namun, banyak berita yang salah menunjukkan bahwa pengamatan emisi karbon dioksida ini berarti sebuah letusan sudah dekat, dan mulai menyebar peringatan.

Pendekatan sensasional tidak hanya salah tapi juga menyebabkan lebih banyak kerugian. Dari jauh, pembaca dan penonton mungkin tertarik pada sains, cerita kemanusiaan, atau bahkan erupsi yang jauh dapat memiliki dampak ekonomi atau kesehatan. Tapi bagi mereka yang tinggal di bawah bayang-bayang letusan, dampak langsung lebih menekan, atau bahkan mengancam jiwa. Evakuasi dari suatu daerah, memindahkan keluarga dan hewan, atau meninggalkan rumah, semua langkah itu membutuhkan tingkat kepastian bahwa risiko ini nyata dan harus dihindari. Untuk percaya risiko itu nyata, informasi perlu dipercaya dan penyedia informasi harus dapat dipercaya.

Oleh karena itu, jelas bahwa informasi yang akurat sangat penting. Komunikasi risiko yang efektif diperlukan sebelum, selama, dan setelah sebuah peristiwa bahaya, yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi bahaya bencana, memastikan kesiapan dan membantu pemulihan.

Informasi yang tidak akurat akan menyebabkan orang-orang tidak memiliki kepercayaan kepada ilmuwan dan sumber berita di masa mendatang. Informasi yang tidak akurat juga punya dampak lebih langsung. Pada Juli 2018, New York Times melaporkan bagaimana peliputan yang berlebihan soal letusan Kilauea di Hawaii menggiring ke persepsi risiko yang amat meningkat, hingga pemesanan pariwisata menurun, pada gilirannya menyebabkan hilangnya pendapatan dan kekhawatiran tentang kehilangan pekerjaan. Dalam contoh terburuk, informasi yang kurang dapat menyebabkan orang mengabaikan perintah evakuasi.

Lava Kilauea mengalir ke lautan. Letusan ini impresif – tapi mayoritas orang di pulau ini tidak terpengaruh. Rachel Blaser/Shutterstock

Risiko-risiko itu tidak mudah dikomunikasikan. Bahaya tidak terjadi dengan cara yang mudah diprediksi, mereka dapat terjadi dengan kemungkinan kecil peringatan, dan penilaian risiko hampir selalu berurusan dengan probabilitas daripada kepastian mutlak. Konsep seperti banjir 100 tahun sekali terkenal menantang untuk dipahami atau dikaitkan. Selain itu, risiko tiap-tiap orang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kekayaan, usia, kesehatan, kemampuan fisik, kepemilikan mobil, atau tinggal di lantai berapa di apartemen, sehingga risiko dapat berbeda dari satu orang ke orang, dari rumah ke rumah.

Karena itu, terdapat tanggung jawab dalam mengkomunikasikan informasi ini. Dengan memperingatkan terlalu sering tanpa kejadian tersebut benar-benar terjadi, bahkan jika peringatan tidak langsung dari ilmuwan atau pihak berwenang, media dapat mempengaruhi persepsi dan menciptakan keletihan peringatan.

Eyjafjallajökull (kiri) dan Katla dari atas. Kate Smith, Author provided

Jurnalis dan editor harus mempertimbangkan efek dari artikel berita yang terlalu sensasional, dan potensi konsekuensi bagi kehidupan banyak orang. Tidak perlu waktu lama untuk berita yang tidak akurat menyebar dan berkembang biak di Internet: lihatlah, misalnya, ahli vulkanologi dan penulis sains Robin Andrews harus mengoreksi laporan gempa bumi dan tsunami baru-baru ini di Indonesia yang sering dihubungkan dengan erupsi vulkanik yang tidak berhubungan sejauh 600 km di pulau yang sama di Sulawesi.

Di sisi lain, komunikasi yang kompeten dan dapat diandalkan dapat meningkatkan kepercayaan publik serta mengurangi ketakutan dan kepanikan, membantu orang untuk mengambil tindakan dari informasi yang baik.

International Journalist’s Network menerbitkan sebuah artikel tentang jurnalisme bencana yang menyajikan beberapa panduan yang berguna, serta banyak menekankan akurasi. Saya juga menyarankan agar jurnalis memeriksa fakta yang mereka miliki dengan (menggandeng) para ilmuwan sesuai bidangnya, atau dengan organisasi lokal yang bertanggung jawab untuk memantau bahaya.

Jurnalis juga harus menghindari menyederhanakan proses prakiraan terlalu banyak, memastikan bahwa sebuah skenario atau jangka waktu yang mungkin tidak disampaikan sebagai sesuatu yang pasti. Pembaca harus selalu mengacu pada sumber informasi yang dapat dipercaya.

Langkah-langkah sederhana ini dapat digunakan sebagai panduan untuk memperkuat akurasi liputan, sehingga membantu untuk mendapatkan kembali kepercayaan dalam komunikasi sains dan media.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now