Menu Close
Aktivis menggelar aksi teatrikal untuk memprotes memburuknya polusi udara Jakarta di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Greenpeace Indonesia

Berkaca dari kasus sebelumnya, putusan terkait polusi udara di Ibukota berpotensi terabaikan

Pertengahan bulan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan beberapa pejabat pemerintahan, termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal pengendalian polusi udara di wilayah Ibu Kota.

Putusan ini memenangkan gugatan yang diajukan koalisi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta dua tahun lalu.

Pengadilan mengamarkan Presiden untuk menetapkan standar kualitas udara ambien nasional dalam rangka melindungi kesehatan manusia. Sedangkan Menteri Kesehatan serta Gubernur DKI Jakarta diwajibkan menyusun strategi pengendalian polusi udara. Kewajiban ini muncul karena selama ini negara telah gagal dalam mengatasi polusi udara kronis di Ibu Kota.

Putusan ini menjadi preseden yang sangat baik dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah untuk mengendalikan pencemaran udara. Namun, besar kemungkinan putusan ini akan diabaikan begitu saja.

Tanda-tanda terabaikannya putusan

Sinyal putusan akan diabaikan sudah mulai terlihat. Misalnya: alih-alih menjalankan perintah pengadilan, Presiden Jokowi dan tiga menterinya yakni Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memilih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Alasannya, mereka merasa sudah menjalankan semua yang diperintahkan oleh majelis hakim terkait pengendalian polusi udara Jakarta. Pemerintah pun merasa kebijakan yang sudah diambil, misalnya perubahan sejumlah aturan baku mutu emisi dari sumber pencemar udara, belum menjadi pertimbangan dalam putusan.

Selain itu, berkaca pada putusan-putusan sebelumnya, putusan perdata yang mengamanatkan kewajiban tertentu terhadap pemerintah memang tidak dijalankan.

Sebagai contoh, pemerintah mengabaikan Putusan Mahkamah Agung No. 3555 K/PDT/2018 yang menjatuhkan vonis melawan hukum terhadap Jokowi beserta jajarannya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan pada 2015. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menilai pemerintah lalai melakukan langkah-langkah antisipasi guna mencegah hutan dan lahan dilalap api. Mahkamah lalu mengamarkan pemerintah menerbitkan aturan teknis terkait pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan masyarakat.


Read more: Rencana pemerintahan Jokowi ajukan PK atas vonis MA hambat upaya cegah kebakaran hutan dan lahan


Terkait putusan tersebut, argumen pemerintah setali tiga uang: pemerintah merasa perintah pengadilan sudah dilaksanakan. Klaim ini pun diungkapkan tanpa menyertakan bukti yang memadai.

Setelah itu, pemberitaan terkait putusan yang berisi vonis melawan hukum terhadap Jokowi dan jajarannya tersebut lenyap bak ditelan bumi, seiring dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dahsyat hanya beberapa minggu setelahnya

Selain perintah yang tidak dilaksanakan, berdasarkan kabar yang kami terima, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Pemerintah beralasan, pada saat putusan tersebut dibacakan, kebakaran hutan dan lahan sudah jauh berkurang, di mana luas area yang terbakar berkurang mencapai 92,5%.

Sulitnya menjalankan putusan pengadilan yang memberikan kewajiban tertentu kepada Pemerintah juga terjadi terhadap Putusan MA yang mengharuskan penghapusan Ujian Nasional (UN). Amar itu baru ditunaikan pada akhir 2016—tujuh tahun setelah putusan dibacakan pada 2009.

Sulitnya Menjalankan Putusan

Sejumlah warga mengikuti sidang perdana gugatan terkait polusi udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (1/8/2019). Antara/Sigid Kurniawan

Putusan yang menjadikan pemerintah sebagai pihak yang “dihukum” sebenarnya memiliki kekuatan yang sama dengan putusan yang memvonis warga negara atau badan hukum tertentu di Indonesia.

Siapapun subyeknya, putusan pengadilan pada hakikatnya harus dijalankan. Tindakan pengabaian putusan adalah penghinaan atau perbuatan yang tidak menghormati pengadilan.

Hanya, terdapat perbedaan perlakuan antara warga negara dan pemerintah apabila putusan tidak dijalankan.

Dalam putusan gugatan perdata, jika warga negara ataupun badan hukum tidak menjalankan putusan, maka terdapat juru sita yang dapat melakukan tindakan memaksa sebagai bentuk eksekusi. Sementara, dalam putusan terhadap pemerintah, pengadilan tidak bisa mengambil alih kewenangan eksekusi–misalnya membuat suatu kebijakan.

Berkaca dari putusan-putusan sebelumnya, pemerintah pun cenderung alergi terhadap vonis pengadilan. Padahal, tidak ada yang akan dirugikan dengan menjalankan putusan-putusan terkait lingkungan hidup tersebut. Sebab, gugatan warga negara menuntut pembuatan kebijakan–yang semestinya menjadi kewajiban pemerintah–bukan membayar ganti rugi.

Sukarnya menjalankan putusan pengadilan oleh Pemerintah juga tak lepas dari ketiadaan peraturan yang dapat memaksa pemerintah untuk menjalankannya–sekalipun putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.

Namun, pemerintah harus berkaca kembali pada paradigma pengelolaan lingkungan hidup yang sudah diakomodasi dalam konstitusi negara. Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menegaskan hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Ada juga Pasal 33 ayat (3) dan (4) mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pengaturan dalam dua pasal ini bersifat fundamental dan mendasar sebagai prinsip “konstitusi hijau” (green constitution) yang ada dalam UUD 1945. Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menyebutkan prinsip ini menjadikan pengelolaan lingkungan hidup sebagai norma yang kuat dalam konstitusi Indonesia, sehingga harus diterapkan sebagai salah satu prinsip dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Ketentuan dalam konstitusi telah diterjemahkan dalam banyak Undang-Undang. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sayangnya, sejumlah pengaturan yang ada tersebut tidak mengakomodasi kewajiban negara dalam menjalankan putusan Pengadilan menyangkut lingkungan hidup.

Meski tak ada kewajiban dalam aturan tertulis, pemerintah seyogianya menjadikan prinsip konstitusi hijau sebagai paradigma dalam menyikapi putusan pengadilan.

Keengganan pemerintah, salah satunya dengan mengajukan upaya hukum lanjutan, justru menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan gengsi ketimbang kepentingan publik.

Terkhusus persoalan polusi udara wilayah Ibukota, lamanya penyelesaian putusan juga akan menentukan kualitas kebijakan yang dikeluarkan. Pasalnya, jika tak segera diputuskan, maka pencemaran udara akan terus berlangsung sehingga kian berisiko bagi kesehatan warga DKI Jakarta.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now