Menu Close

Bukan lagi jaman angkat senjata, apakah pelatihan bela negara bagi pegawai BUMN masih perlu?

HUT Infanteri dan Bela Negara
Hari Bela Negara. Ampelsa/Antara Foto

Badan Umum Milik Negara (BUMN) sedang melakukan rekrutmen 2.700 pegawai untuk mengisi berbagai posisi jabatan. Sebelum diangkat sebagai pegawai tetap, BUMN mewajibkan calon pegawainya untuk mengikuti pelatihan bela negara.

Namun, banyak publik masih mempertanyakan tujuan program pelatihan bela negara itu sendiri, dan apakah kegiatan tersebut terbukti bisa efektif mencetak pegawai yang memiliki komitmen dan loyalitas kepada negara sehingga dapat mereduksi permasalahan nasional, seperti korupsi.

Sejarah program bela negara

Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, bela negara sendiri didefinisikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Prinsip bela negara lahir pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melakukan Agresi Militer ke II terhadap Indonesia. Saat itu, Presiden Soekarno memberikan mandat penuh kepada Syafrudin Prawiranegara, sebagai Menteri Kemakmuran di era tersebut, untuk menjalankan pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang, Sumatera Barat, guna menjaga keutuhan NKRI.

Setelah situasi kembali normal, Syafrudin dengan sukarela menyerahkan kembali mandat tersebut kepada Soekarno. Sikap Syafrudin tersebutlah yang menjadi cerminan sikap menomorsatukan kepentingan negara.

Presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden No 28 Tahun 2006 kemudian menyatakan 19 Desember sebagai peringatan Hari Bela Negara (HBN).

Kegiatan diklat bela negara di lingkungan BUMN sendiri sudah dimulai sejak 2016, sesuai instruksi Kementerian Pertahanan.

Mengapa pegawai BUMN perlu dilatih bela negara?

Carut marut kondisi internal BUMN menjadi alasan untuk “membersihkan” lembaga negara tersebut melalui program bela negara.

Perusahaan-perusahaan BUMN dan lembaga-lembaga di bawahnya seringkali dianggap sebagai lumbung uang untuk negara.

Nyatanya, walaupun menerima suntikan dana dari Kementerian BUMN, banyak perusahaan plat merah yang justru mengalami kerugian keuangan.

Padahal, dalam enam tahun terkahir, Penyertaan Modal Negara (PMN) mencapai angka tertinggi, yakni Rp 65,6 triliun pada tahun 2015, yang kemudian turun drastis menjadi Rp 3,6 triliun pada 2018. Uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut rupanya tidak menjamin kinerja keuangan perusahaan membaik.

Kondisi yang sempat membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani kesal tersebut diyakini disebabkan maraknya praktik korupsi yang turut menggerogoti kinerja BUMN.

Selama periode 2016-2021, terdapat 119 kasus yang masuk tahap penyelidikan, melibatkan 40 tersangka. Pada tahun 2019, pejabat setingkat direktur dari tujuh perusahaan BUMN – Angkasa Pura II, PLN, Pelindo, Pertamina, Krakatau Steel, Garuda Indonesia dan Jasindo – terlibat suap dan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa.

Di samping masalah korupsi, perusahaan BUMN juga diduga mulai tersusupi paham radikalisme.

Baru-baru ini, Menteri BUMN Erick Thohir mencopot Immanuel Ebenezer (Noel), dari posisi Komisaris Independen PT Mega Eltra, yang merupakan anak perusahaan dari PT Pupuk Indonesia (Persero), setelah Noel sempat hadir menjadi saksi yang membela terdakwa terorisme, Munarman, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 23 Februari 2022 lalu.

Melalui program bela negara, “kader muda” BUMN diharapkan memiliki kesadaran untuk membela tanah air.

Bentuk bela negara bukan lagi baris-berbaris

Pada umumnya, kegiatan bela negara yang dilakukan di lingkungan BUMN terhadap pegawai baru meliputi kegiatan jasmani dan pembinaan mental.

Kegiatan jasmani bertujuan menjaga kesehatan fisik agar siap siaga melaksanakan aktivitas sehari-hari. Peserta diharapkan memiliki kompetensi kebugaran jasmani yang mencakup komposisi tubuh ideal, kelenturan, kekuatan otot, daya tahan jantung dan paru, hingga pola hidup sehat.

Di samping itu, dalam aktivitas fisik, ada pula kegiatan baris berbaris guna meningkatkan rasa disiplin, kerjasama dan partisipasi dalam tata upacara sipil. Peserta diharapkan dapat menerapkan kaidah etika keprotokolan negara, baik nasional maupun internasional.

Sementara pembinaan mental lebih tentang mendapatkan arahan terkait modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan, dan modal etika atau moral. Peserta diharapkan memiliki kesadaran tentang makna hidup, kesehatan berfikir, dan pentingnya pengendalian diri.

Ada pula mata diklat yang disebut “kewaspadaan diri” dimana peserta dilatih untuk memiliki keingintahuan terhadap gejala-gejala yang diyakini dapat merusak kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Zaman dahulu, memang bela negara sangat lekat dengan simbol militer, dengan prinsip “membunuh atau terbunuh”. Kini, praktik bela negara diterapkan sesuai profesi.

Pelatihan bela negara masa kini idealnya jauh dari kurikulum penggunaan senjata atau bersifat militerisme.

Karena tujuan utamanya adalah terciptanya kader muda BUMN yang berkarakter berani, jujur, mau berbagi, dan setia kepada negara, maka bela negara dalam konteks kepegawaian BUMN kini seharusnya cukup ditunjukkan dengan memberikan kontribusi kerja maksimal untuk BUMN itu sendiri.

Misal, pegawai muda dengan jabatan di bidang pengembangan teknologi dan informasi dapat mewujudkan nilai bela negara dengan mencapai target uraian tugas, seperti membuat situs, menyusun rencana pembuatan situs, pengetesan situs, membuat dan mengetes Application Programming Interface (API), serta dokumentasi pengerjaan.

Demikian pula jabatan di bidang strategi dan perencanaan teknologi, dengan kegiatan pokok seperti melakukan riset pasar, mencari peluang pelanggan baru, dan melakukan riset bisnis.

Jabatan non IT, seperti Pengendalian Keuangan, Manajemen Risiko, Hubungan Masyarakat, Pemasaran, dan lain sebagainya juga dapat menerapkan nilai bela negara sesuai dengan tugas, amanat dan fungsi masing-masing.

Kualitas-kualitas kerja itulah yang harus dicapai oleh pegawai BUMN.

Di samping target dan capaian, penilaian perilaku dalam bekerja yang terdiri dari orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, inovasi ide, dan kepemimpinan juga bisa menjadi indikator bela negara.

Jangan sampai untuk mencapai target, pegawai tersebut menggunakan cara yang salah yang justru membuka pintu korupsi.

Wujud loyalitas kepada negara juga terlihat dari atasan langsung yang melakukan penilaian bukan atas kesamaan SARA dan politik identitas. Seringkali, penilaian kinerja di tubuh BUMN masih penuh bias, sehingga dapat membenamkan BUMN itu sendiri.

Pentingnya role model

Sikap bela negara itu sendiri harus dicontohkan pula oleh para pemimpin atau petinggi di lingkungan BUMN. Peran pimpinan sebagai role model untuk mempraktikan komitmen bela negara menjadi sangat penting.

Pimpinan yang menolak parcel lebaran, mengembalikan honor puluhan ribu bahkan jutaan yang diduga tidak patut, mudah memaafkan, murah senyum, tegas, pintar, berani mengambil resiko, merupakan contoh kecil, namun sangat bermakna.

Terakhir, untuk memastikan efektif atau tidaknya pelatihan bela negara bagi pegawai BUMN, evaluasi pasca pelatihan oleh lembaga independen penting untuk dilakukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now