Menu Close

Cara Polri merespons vonis Ferdy Sambo dapat memperbaiki – atau memperburuk – citra kepolisian

Kepolisian Negara Republik Indonesia. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Selasa, 17 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman pidana seumur hidup terhadap Ferdy Sambo atas kasus dugaan pembunuhan berencana dan perintangan penyidikan (obstruction of justice) kematian bawahannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Pembunuhan berencana yang diduga dilakukan Sambo termasuk perbuatan yang fatal karena tidak hanya mengakhiri 28 tahun kariernya di institusi kepolisian, namun juga mempengaruhi karier 35 personel kepolisian yang diduga terlibat pelanggaran etika. Lima di antaranya bahkan sudah dijatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Mau tidak mau, akhirnya kasus ini berdampak signifikan terhadap reputasi institusi Polri yang selama ini memang memiliki hubungan love-hate relationship yang cukup panjang dengan masyarakat Indonesia. Sebelum kasus Ferdy Sambo mencuat, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang sudah meragukan kredibilitas Polri.

Hasil Survei Litbang Kompas yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi pada 2022 menunjukkan reputasi Polri memiliki tren negatif.

Dalam rentang satu tahun sejak Oktober 2021, terjadi penurunan kredibilitas Polri sebesar 34%. Pada Oktober 2022, persentase citra Polri semakin memburuk dan bertengger pada kisaran 43,1%. Penurunan tajam ini tidak bijak jika hanya diabaikan oleh institusi penegak hukum tersebut.

Rentetan pelanggaran yang dilakukan kepolisian

Citra buruk terhadap kepolisian disebabkan banyaknya anggota maupun petinggi Polri yang melakukan pelanggaran, bahkan pelanggaran tersebut dilakukan secara beramai-ramai.

Kasus Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu, misalnya, menunjukkan bahwa ada aparat kepolisian yang menembakan gas air mata ke tribun penonton, padahal FIFA jelas melarang gas air mata di setiap pertandingan.


Read more: Tragedi Kanjuruhan: mengingatkan kembali masalah penyalahgunaan gas air mata oleh polisi dan kontroversi PSSI


Dicopotnya Kapolda Jatim saat itu, Irjen Nico Afinta, karena dianggap harus bertanggung jawab atas 132 korban yang meninggal akibat tragedi tersebut pun telah memperburuk citra kepolisian. Kemudian penggantinya, Irjen Teddy Minahasa, hanya bertugas selama empat hari saja. Ia dicopot dari jabatan Kapolda Jatim karena terlibat kasus pengedaran 5 kilogram sabu.

Puncaknya adalah kasus pembunuhan yang diduga dilakukan Sambo. Sambo yang saat kejadian berstatus sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri seharusnya menjadi “polisinya polisi” yang mampu membuat masyarakat makin mencintai Polri. Tapi ia justru menjadi tersangka dalam kasus fatal.

Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa kasus Sambo telah membuat kredibilias Polri jatuh ke titik terendah.

Penting bagi kepolisian memulihkan citranya, tapi bagaimana?

Institusi seperti Polri sejatinya membutuhkan citra yang positif agar mendapatkan kepercayaan dan dukungan publik. Dukungan dan kepercayaan tersebut diperlukan guna meningkatkan kinerja polisi.

Ketika masyarakat percaya dan mau memberikan dukungannya, maka masyarakat akan bersikap lebih kooperatif dengan polisi sehingga kinerja kepolisian akan lebih efektif dan akuntabel. Misalnya, masyarakat akan cenderung tertarik membantu polisi dengan memberikan informasi penting ketika polisi sedang menangkap buronan, mengungkap kasus ilegal, atau mengungkap kegiatan kriminal lainnya.

Citra kepolisian yang positif juga akan menarik minat generasi muda untuk ikut mengabdikan diri menjadi aparat negara.

Lalu apa yang harus dilakukan kepolisian?

Dalam ilmu kehumasan, William Lyon Benoit, seorang Profesor di bidang Komunikasi Politik asal Amerika Serikat, menyampaikan jika citra seseorang atau perusahaan sedang terancam, maka dapat dipulihkan dengan menggunakan Image Restoration Theory.

Teori ini menekankan pada teknik retorika sang aktor – dalam hal ini institusi Polri – ketika berbicara ke media maupun publik. Polri harus memahami bagaimana berkomunikasi secara efektif agar publik bisa “menerima dan menormalisasikan” krisis yang terjadi, sehingga citranya kembali pulih.

Strategi yang dipilih Polri dalam merespons vonis Ferdy Sambo yang akan dibacakan majelis hakim dua minggu ke depan dapat menjadi penentu apakah akan memulihkan citra lembaga atau justru membuatnya semakin terpuruk.

Ada 5 strategi dalam teori ini, yakni denial, evading responsibility, reducing offensiveness, corrective action, dan mortification. Bentuk penerapan adalah sebagai berikut:

  1. Denial yakni dengan Polri menyatakan dengan tegas bahwa kasus ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Polri secara kelembagaan. Polri bisa secara lugas menyatakan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo beserta personel Polri lainnya adalah tanggung jawab personel masing-masing dan Polri berlepas tangan dari perbuatan personel tersebut.

  2. Evading responsibility adalah retorika yang secara tidak langsung mengakui ada kaitan antara kejadian tersebut dengan Polri, namun berharap kesalahan tersebut dimaklumi oleh masyarakat. Misalnya, Polri mencoba untuk mencari simpati masyarakat dengan menarasikan bahwa perbuatan yang dilakukan Sambo adalah akibat provokasi, tidak adanya informasi kejadian di Magelang secara utuh, kecelakaan emosi karena membela martabat istri, ataupun alasan lain yang dianggap bisa dimengerti dan mengundang empati publik untuk memaklumi kejadian ini.

  3. Reducing offensiveness, yakni teknik retorika di mana Polri mencoba mengungkit-ungkit kebaikan, kontribusi, dan prestasi Sambo selama berkarier di institusi kepolisian. Harapannya agar masyarakat juga bisa mengetahui sisi positif Ferdy Sambo sehingga masyarakat mampu lebih objektif menilai kejadian ini.

  4. Corrective Action adalah ketika Polri beretorika memberikan janji pada masyarakat untuk menegaskan bahwa kejadian ini adalah yang pertama dan terakhir sehingga Polri tidak akan melakukan kesalahan yang sama karena memilih Jenderal yang salah. Jika Polri memilih cara retorika yang ini, maka harus diikuti oleh langkah strategis dan logis sehingga Polri benar-benar mampu menepati janjinya kepada masyarakat.

  5. Mortification menjadi langkah pamungkas. Melalui strategi ini, Polri berani mengakui adanya kesalahan dalam institusinya, memohon pengampunan masyarakat, lalu Polri berjanji akan bekerja lebih baik di masa mendatang. Namun, strategi pamungkas ini memerlukan aktor – atau orator – yang tepat dan penulis naskah pidato yang mumpuni. Karena pesan ini akan menajdi pembuktian apakah Polri bisa kembali dipercaya oleh masyarakat atau tidak.

Polri harus cermat dalam memilih narasi yang ingin disampaikan ke publik ketika merespon vonis kasus Sambo. Aktor yang menyampaikan pun harus pintar dalam memilih subyek retorika, kata yang dinarasikan, serta menyesuaikan konteks penyampaian. Jika tidak, malah bisa mengundang blunder yang justru akan memperparah citra Polri sendiri.

Aktor maupun orator dalam penyampaian pesan retorika dalam kasus ini tentu harus disampaikan oleh Kapolri Listyo Sigit selaku pejabat tertinggi di kepolisian. Keadaan krisis seperti ini memang sebaiknya langsung ditangani oleh pemimpinnya guna memperlihatkan keseriusan lembaga terkait.

Retorika saja tidak cukup

Akan tetapi, Polri perlu meningat bahwa Image Restoration Theory hanya sebatas cara beretorika dengan publik sehingga agar retorika itu tidak hanya menjadi lips service, Polri harus melakukan reformasi internal yang serius.

Wacana reformasi Polri sudah muncul sejak dipisahnya institusi Polri dengan TNI di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999, kemudian disahkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan coba dikembangkan dengan penyusunan Grand Strategy Polri 2005-2025 di era President Susilo Bambang Yudhoyono. Sayangnya, aturan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan di tubuh internal kepolisian.

Salah satu perbaikan fundamental yang bisa dimulai Polri yaitu mereformasi sistem rekrutmen anggota kepolisian. Sistem rekrutmen yang transparan dan objektif, dengan hanya memilih calon bhayangkara/i terbaik, bisa menjadi palang pintu utama reformasi internal Polri. Ini karena bibit-bibit unggul tersebut akan menjadi harapan reformasi sebenarnya di internal Polri.

Bahkan mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah menyampaikan bahwa rekrutmen yang sehat akan menyumbang 70% keberhasilan reformasi Polri. Jika rekrutmen berdasarkan pada “rekomendasi si A” ataupun “tambahan biaya administrasi”, seperti yang sering disindir Tito, maka reformasi Polri hanya isapan jempol belaka.

Sebab, kalau yang terpilih dalam rekrutmen adalah orang yang “itu-itu” saja, maka setelah bergabung, mereka akan lebih sibuk untuk membayar hutang budi ataupun hutang uang yang dihabiskan selama proses rekruitmen.

Proses perbaikan citra polisi masih akan melalui jalan yang panjang, bagaimana Polri merespon vonis kasus Ferdy Sambo juga akan menjadi salah satu elemen untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Semoga Polri bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik, tanpa menimbulkan blunder di kemudian hari.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now