Menu Close
Peningkatan besaran kompensasi pembebasan lahan tidak akan serta merta menyelesaikan konflik agraria di Indonesia. www.shutterstock.com

Cek Fakta : Apakah peningkatan biaya pembebasan lahan akan menghilangkan konflik-konflik agraria?

Dalam debat presiden tahap dua beberapa waktu yang lalu, calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa peningkatan biaya pembebasan lahan akan membuat konflik-konflik tidak terjadi lagi.

Dalam salinan transkrip debat kemarin, Jokowi mengatakan jika biaya pembebasan lahan ditingkatkan menjadi 4-5% dari total anggaran proyek infrastruktur dari sebelumnya 2-3% maka konflik-konflik yang terkait pembebasan lahan bisa dihindari.

Apakah benar demikian?

Respons dari pihak Jokowi

The Conversation menghubungi kubu Jokowi untuk memberikan penjelasan di balik pernyataannya. Mereka hanya mengatakan bahwa pernyataan besaran persentase biaya pembebasan lahan yang disampaikan Jokowi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan no. 13 tahun 2013 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan. Namun, tidak ada penjelasan terkait klaim Jokowi yang menyatakan biaya pembebasan lahan yang semakin besar akan menghilangkan konflik.

The Conversation menghubungi Iqra Anugrah, peneliti agraria di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) untuk menguji kebenaran klaim Jokowi tersebut.

Analisis

Meningkatkan uang kompensasi pembebasan lahan dari 2-3% total biaya pembangunan menjadi 3-4% bisa membantu pemerintah dalam memberikan uang ganti rugi yang lebih besar jumlahnya bagi masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan.

Tetapi, menganggap bahwa kenaikan tersebut dapat menghapuskan konflik-konflik merupakan suatu kenaifan. Peningkatan besaran kompensasi pembebasan lahan tidak akan serta merta menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.

Mengapa demikian?

Alasan pertama karena persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah atau korporasi lebih pelik dari sekadar konflik mengenai besaran uang kompensasi pembebasan lahan.

Betul bahwa pihak masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan sering meributkan soal kompensasi finansial, tapi akar masalahnya bukan hanya soal besaran, melainkan juga persepsi bahwa pemerintah cenderung menakar harga tanah warga secara rendah. Penawaran pemerintah yang terlalu rendah tersebut dianggap kurang adil bagi banyak komunitas. Hal ini diperparah dengan mekanisme pembebasan lahan yang tidak melibatkan masyarakat dan bertele-tele.

Susunan tim ad hoc yang melakukan kajian atas keberatan rencana pembebasan lahan dan pembangunan yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 2 Tahun 2012 misalnya masih belum mengikutsertakan unsur-unsur dari masyarakat yang akan terkena dampak proyek pembangunan tersebut.

Proses konsultasi dan eksekusi dalam suatu upaya pembebasan lahan juga tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan agenda pembebasan lahan, seringkali banyak kepentingan-kepentingan terselubung yang bermain, misalnya kepentingan calo tanah lokal.

Tanpa adanya perubahan persepsi dan mekanisme pembebasan lahan yang lebih baik, maka proses pembebasan lahan akan selalu diwarnai konflik, meskipun besaran kompensasinya bertambah.

Alasan yang kedua, sifat konflik agraria yang ada di Indonesia menyebabkan kenaikan besaran kompensasi tidak akan secara otomatis menyelesaikan konflik-konflik tersebut.

Konflik agraria di Indonesia bukan hanya seputar persoalan besaran kompensasi dan ganti rugi, tetapi juga soal perebutan ruang hidup antara masyarakat dengan negara dan korporasi yang sering terjadi dalam relasi politis dan sosio-ekonomi yang timpang. Relasi yang timpang ini terjadi karena kekuatan politik dan dana baik pemerintah negara maupun perusahaan yang lebih kuat dibandingkan masyarakat.

Dengan kata lain, konflik agraria pada dasarnya selalu bersifat struktural. Hal ini menjelaskan mengapa konflik agraria di Indonesia jamak terjadi dan besar kemungkinan akan terus berlanjut ke depannya.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa selama empat tahun pemerintahan Jokowi, ada sekitar 1.769 konflik agraria yang meletus. Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan masa pemerintahan sebelum Jokowi. Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat ada 1.520 konflik agraria terjadi).

Keberadaan konflik-konflik agraria di Indonesia yang bersifat struktural ini diperparah dengan ekspansi investasi skala besar oleh pemerintahan Jokowi di sejumlah sektor seperti perkebunan, pertanian, dan infrastruktur yang mengikis ruang hidup masyarakat.

Sayangnya, arah kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi justru cenderung memperluas dan memperdalam konflik struktural yang ada.

Kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, misalnya, memiliki potensi untuk semakin meningkatkan konflik agraria yang ada.

Singkat kata, kenaikan kompensasi biaya pembebasan lahan menjadi sebesar 4-5% tidak akan menghilangkan konflik-konflik yang sudah mengakar di masyarakat. Pemerintah butuh terobosan kebijakan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Beberapa contoh yang bisa dilakukan adalah penetapan tim independen untuk menentukan harga ganti rugi tanah dengan melibatkan masyarakat. Selain itu juga dapat dikembangkan paket kompensasi yang menyediakan jaminan pekerjaan dan perumahan bagi masyarakat pedesaan dan pemberian biaya ganti rugi yang adil bagi lahan pertanian produktif. - Iqra Anugrah

Penelaahan sejawat tertutup (blind review)

Saya sepakat dengan penulis bahwa peningkatan kompensasi lahan menjadi 4-5% tidak akan menghilangkan konflik-konflik agraria yang sudah mengakar di masyarakat. Bagi masyarakat, lahan merupakan salah satu bentuk sumber mata pencaharian. Menurut filsuf dan ekonom Amartya Sen, kehilangan hak terhadap lahan merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan.

Keterikatan masyarakat terhadap lahan tidak hanya sebatas sebagai aset ekonomi saja. Bagi masyarakat yang hanya memiliki sebidang sawah berukuran kecil misalnya, nilai lahannya tidak hanya sebatas seberapa besar sawah itu menghasilkan, tetapi lahan sawah itu juga memberikan rasa aman karena mereka tidak akan kekurangan beras. Lahan juga memberikan keterikatan sosial bagi masyarakat. Jika seseorang harus pindah karena lahannya diambil alih, ia kemungkinan besar akan merasakan ketidakpastian kondisi sosial di tempat yang baru.

Lebih jauh, masyarakat juga juga memiliki keterikatan identitas dengan lahan yang mereka tinggali. Jika sebuah desa harus ditenggelamkan untuk pembangunan waduk misalnya, maka masyarakat desa tersebut akan kehilangan identitas kampung halaman yang sudah turun temurun mereka tempati. Bagi masyarakat tertentu, lahan bahkan bisa memiliki keterikatan spiritual seperti tempat yang dikeramatkan sehingga tidak mudah digantikan dengan uang/material. Kasus makam Mbah Priok di Tanjung Priok, Jakarta Utara merupakan contoh nyata bentuk keterikatan spritual terhadap lahan. - Chairil Abdini


The Conversation mengecek kebenaran klaim dan pernyataan calon presiden menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pernyataan mereka dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Analisis kemudian diberikan ke ahli lainnya untuk ditelaah. Telaah dilakukan tanpa mengetahui siapa penulisnya (blind review).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,400 academics and researchers from 4,954 institutions.

Register now