Menu Close
Ilustrasi perumahan di Indonesia. Muan Sibero/Shutterstock

Cek Fakta: benarkah Tapera bisa atasi ‘backlog’ perumahan?

“Bahkan BP Tapera punya tenor 35 tahun. Bisa ngga menyelesaikan backlog? Justru dengan makin banyaknya peserta Tapera makin besar kemungkinan kita untuk menyelesaikan ‘backlog’.”

Herry Trisaputra Zuna, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR), mengatakannya di Jakarta.

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna . Muhammad Adimaja/Antara Foto

Herry menyebutkan bahwa backlog perumahan (angka ketimpangan pemilikan rumah) masih menjadi tantangan klasik, karena angkanya tak kunjung menurun. Ia mengklaim bahwa penyebab terbesarnya adalah kecilnya porsi anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Maka dari itu, menurutnya, iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog tersebut.

The Conversation Indonesia bekerja sama dengan Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), untuk menganalisis manfaat Tapera terhadap backlog perumahan guna memverifikasi kebenaran klaim pemerintah tersebut.

Belum tentu Tapera bisa atasi ‘backlog’

Keyakinan pemerintah bahwa Tapera bisa atasi backlog kepemilikan rumah tidak bisa diverifikasi. Pasalnya, belum tentu Tapera akan efektif mengatasi masalah tersebut dengan masih besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah.

Meski demikian, selama periode 2010 hingga 2023, terlihat tren penurunan secara umum dalam backlog perumahan. Pada tahun 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit, dan meskipun ada fluktuasi kecil, tren keseluruhan menunjukkan penurunan yang berkelanjutan. Pada 2023, backlog mencapai titik terendah, yaitu 9,9 juta unit.

Namun, meski terjadi penurunan, angka backlog masih cukup besar. Ini salah satunya karena kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat.

Secara rata-rata kenaikan gaji masyarakat di tahun 2023 adalah 1,8%. Sedangkan dalam laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96%. Bahkan untuk kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11% dan menengah 2,44%. Artinya, kesempatan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah untuk bisa memiliki rumah semakin kecil.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 11% masyarakat dengan pendapatan 20% terbawah mendapatkan rumah dari warisan ataupun hibah. Angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Masyarakat miskin memiliki ketergantungan akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian, itupun masuk kategori rumah kurang atau tidak layak.

Lagipula, telah terjadi perubahan preferensi tempat tinggal oleh kaum muda (Gen Milenial dan Gen Z), terutama yang hidup di perkotaan. Mereka cenderung memilih hunian dekat tempat kerja, seperti menyewa kost atau unit apartemen. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menurunkan angka permintaan rumah.

Alih-alih berpendapat bahwa Tapera bisa mengatasi backlog perumahan, pemerintah sebaiknya lebih dulu memecahkan masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah. Jika tidak mampu menyediakan rumah yang terjangkau, bukan berarti pemerintah bisa memaksa masyarakat menabung untuk rumah.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now