Menu Close
Utang luar negeri

Cek Fakta: benarkah utang luar negeri Indonesia akan jadi warisan yang membebani generasi berikutnya?

“Utang luar negeri yang terlampau banyak ini mengakibatkan beban-beban pemerintahan hari ini, tetapi juga anak keturunan kita akan mengalami banyak beban utang yang panjang.”

– Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 1 dalam Debat Kedua Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Jumat, 22 Desember 2023.

Muhaimin Iskandar soal utang luar negeri
Muhaimin berorasi di depan pendukungnya saat kampanye terbuka Stadion Untung Suropati, Pasuruan, Jawa Timur, Jumat, 8 Februari 2024. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/tom.

The Conversation Indonesia menghubungi Faaza Fakhrunnas, dosen ilmu ekonomi Universitas Islam Indonesia dan Yanu Endar Prasetyo, peneliti Pusat Kependudukan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), untuk menganalisis pernyataan Muhaimin tersebut.

Hasil analisis 1: utang kian membebani

Pernyataan Muhaimin bahwa pembayaran utang telah membebani APBN benar.

Berdasarkan statistik utang luar negeri Indonesia (2024) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, per November 2024, utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai US$192,55 miliar (Rp2.999 triliun). Angka ini naik sebesar 55,52% dibandingkan US$123,81 miliar (Rp1.930 triliun) pada 2014.

Statistik tersebut menunjukkan bahwa 70,28% utang pemerintah berbentuk surat berharga, dan sisanya dalam bentuk pinjaman bilateral, multilateral, komersial, dan pemasok. Hampir 93% utang pemerintah saat ini dalam bentuk pinjaman jangka panjang atau memiliki jatuh tempo di atas satu tahun.

Sementara itu, data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa pada 2022, rasio utang pemerintah (dalam dan luar negeri) terhadap PDB mencapai 39,48%.

Di sisi lain, berdasarkan nota keuangan RAPBN 2024, pembayaran bunga utang pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai Rp497,3 triliun, atau naik sebesar 13,7% dibandingkan 2023 yang sekitar Rp437,4 triliun dan 80,5% dibandingkan tahun 2019 yang sebesar Rp275,5 triliun.

Jika merujuk pada APBN 2024, pembayaran bunga utang setara dengan 20,15% dari total APBN tahun 2024 sebesar Rp3.325 triliun. Beban pembayaran bunga utang dibandingkan penerimaan negara pada RAPBN 2014 berkisar di angka 17,8%, dibandingkan 8,6% pada 2014.

Ke depan, Indonesia diprediksi akan tetap menambah utang karena model yang digunakan pemerintah Indonesia dalam menyusun APBN selalu ekspansif (defisit), yakni menggunakan sumber pembiayaan lain termasuk utang untuk menambah kekurangan belanja negara. Dalam konteks teori ekonomi, model ekspansif ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi demi meningkatkan pendapatan negara yang lebih baik, misalkan melalui pendapatan pajak.

Karena utang pemerintah bersifat jangka panjang, maka pembayaran utang dan bunganya akan berjalan dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Hal ini membuat pemerintah akan terus mengalokasikan sebagian APBN sebagai pembayaran pokok utang dan bunga.

Namun demikian, utang jangka panjang juga memiliki keuntungan karena lebih memberikan keleluasaan pemerintah untuk mengelola APBN.

Hasil analisis 2: utang jadi warisan

Klaim Muhaimin bahwa utang luar negeri akan membebani generasi berikutnya benar, tapi harus dilihat juga penggunaannya.

Tradisi pewarisan utang yang dimulai sejak pemerintah Kolonial Belanda terus berlangsung sampai saat ini. Pemerintahan Sukarno mewariskan utang luar negeri sekitar US$2,1 miliar kepada pemerintahan Suharto. Pemerintahan Suharto mewariskan utang kepada pemerintahan B.J. Habibie sebesar US$60 miliar. Dalam waktu dua tahun pemerintahan Habibie, utang luar negeri naik spektakuler menjadi US$75 miliar, dan ditambah utang dalam negeri sebesar US$60 miliar.

Meski secara nasional dapat meningkatkan PDB dan menurunkan kemiskinan, utang luar negeri cenderung menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat banyak. Ini berlaku untuk semua rezim pemerintahan.

Sudah saatnya pemerintah kembali ke gagasan awal tentang eksistensi utang luar negeri, yaitu menempatkan bantuan luar negeri hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara. Sehingga, upaya mobilisasi dana dari dalam negeri merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar, meski juga tetap mengandung risiko.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now