Menu Close
Korban tragedi 1965/1966, Umar Anwar mengikuti aksi desak Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) mengumumkan hasil penyelidikan pro justisia tragedi 1965/1966 di kantor Komnas HAM. ANTARA/Puspa Perwitasari/nz/12

“Darah itu merah, Jenderal!”, tapi konflik PKI vs militer dalam kasus 1965 tidak selalu hitam putih

Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Tragedi 1965.


Diskusi tentang peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer pada 30 September 1965 dan pembantaian setidaknya ratusan ribu warga sipil setelahnya selalu mengelompokkan kita pada tiga kotak kekuasaan, yang disebut wartawan senior Rosihan Anwar sebagai “segitiga kekuasaan”, yakni Sukarno, presiden yang menjabat ketika itu, tentara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketiga pihak kemudian dikelompokkan menjadi tiga kubu yang berbeda dan berseberangan. Tapi penyederhanaan di atas mengaburkan usaha untuk melakukan analisis yang objektif tentang peristiwa tersebut karena ketika kita berbicara tentang tentara misalnya begitu banyak pihak dan kepentingan yang terlibat sebenarnya. Begitu juga dengan PKI dan Sukarno. Mereka adalah entah korban atau penjahat tapi bukan keduanya. Tapi sebenarnya kita tidak bisa melihat ketiganya hanya hitam atau putih.

John Mueller, seorang ahli politik Amerika Serikat, dalam artikelnya The Banality of “Ethnic War” secara implisit menyatakan adanya “fallacy of composition atau bentuk kesalahan logika dalam mengatribusikan kebencian etnis yang dilakukan suatu kelompok tertentu. Misalnya, ketika kita menyebut "Jepang menyerbu Pearl Harbor (Amerika Serikat)”, kesalahan logika berpikir yang muncul adakah ketika kita mengasumsikan bahwa dalam penyerangan itu seluruh Jepang terlibat, padahal tidak mungkin ibu-ibu Jepang berkimono juga terlibat, misalnya.

Kesalahan logika semacam ini juga hadir dalam analisis tentang pihak-pihak yang terlibat dalam kasus 1965.

Pertama, Sukarno

Sukarno selalu dianggap sebagai Bapak Bangsa yang dicintai masyarakat Indonesia. Tapi jarang ada analisis yang menggambarkan Sukarno secara utuh.

Seperti politikus lainnya, Sukarno adalah figur yang memang ingin terus berkuasa dan khawatir dengan munculnya saingan-saingan politik yang mengancam kekuasaannya.

Diskursus bahwa Sukarno dekat dengan PKI juga perlu ditinjau ulang karena bukti-bukti sejarah menunjukkan hubungan yang pelik antara Sukarno dan tokoh-tokoh PKI.

Sukarno memang dekat dengan dengan Wakil Ketua PKI, Njoto, tapi dia tidak suka dengan pemimpin senior PKI D.N. Aidit yang dianggap terlalu ambisius. Ketidaksukaan Sukarno pada figur Aidit muncul di buku sejarawan Belanda Antonie C.A. Dake, In the Spirit of Red Banteng, dan buku harian Ganis Harsono, seorang diplomat Indonesia, yang dekat dengan Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia pada zaman Sukarno.

Sukarno mendukung PKI hanya untuk kepentingan politik. Ada dua tiga alasan mengapa Sukarno mendukung PKI

Pertama, dia tidak punya organisasi. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusungnya pada dasarnya adalah partai kaum priyayi yang tidak mengakar dan tidak memiliki pengikut yang kuat.

Kedua, dia membutuhkan organisasi yang membantunya mengimbangi kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah memiliki kekuasaan politik yang resmi dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Juli 1959.

Ketiga, Sukarno membutuhkan PKI untuk memberikan kesan kepada Amerika Serikat bahwa Indonesia siap berpaling kepada komunisme dengan harapan Amerika Serikat yang khawatir bahwa Indonesia akan jatuh ke kubu Komunis, akan terpaksa memberikan pertolongan pada Indonesia terkait konfliknya dengan Malaysia.

Ketiga hal tersebut menjadi alasan mengapa Sukarno dianggap dekat dengan PKI, walau pada dasarnya dirinya selalu curiga.

Buktinya, walau orang-orang PKI mendapatkan posisi di pemerintahan, mereka tidak memiliki kekuasaan atau memimpin departemen.

Njoto sendiri menyatakan posisinya ibarat “menteri pupuk bawang” yang sekedar hadir sebagai “penghangat ubun-ubun rakyat”.

Kedua, TNI

Banyak orang menganggap bahwa dalam kasus 1965, TNI adalah satu kesatuan.

Padahal ketika itu, TNI terpecah akibat kebijakan Sukarno yang melakukan aksi konfrontasi melawan Malaysia atau dikenal sebagai Ganyang Malaysia

Sebagian tentara menentang konfrontasi karena mereka sadar bahwa Malaysia terlalu kuat karena mendapat dukungan dari Inggris.

Kelompok tentara yang menentang konfrontasi tersebut didukung oleh Jenderal Ahmad Yani dan A.H. Nasution, pimpinan tinggi Angkatan Darat (AD). Mereka tak yakin Indonesia akan menang mudah dan jika TNI kalah, Indonesia mengalami kerugian besar karena perang melawan Inggris. Dan jika itu terjadi maka PKI yang akan diuntungkan.

Sebaliknya ada kubu yang mendukung kebijakan Sukarno untuk mengganyang Malaysia.

Bagi kelompok ini, kelompok anti-ganyang Malaysia menusuk mereka dari belakang. Mereka juga berpikir bahwa Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal A.H. Nasution ingin melemahkan tentara pendukung Sukarno dengan terus mengirimkan mereka ke garis depan pertempuran. Kelompok inilah yang kemudian terlibat dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat.

Ketiga, PKI

PKI waktu itu adalah partai terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota yang mencapai tiga juta orang.

PKI waktu itu bisa dibilang adalah partai wong cilik (orang kecil) karena membantu masyarakat miskin yang tidak mampu. Mereka membantu masyarakat yang terbebani iutang dengan bunga tinggi, misalnya. Sehingga, mayoritas anggota PKI bergabung karena faktor ekonomi tersebut dan bukan karena mereka mengamini ideologi komunis. Sebagian juga bergabung karena figur Sukarno yang mendukung PKI.

Dalam versi sejarah Orde Baru, PKI dianggap sebagai musuh bebuyutan TNI-AD. Militer selalu menuduh mereka memprakarsai pembunuhan terhadap para jenderal AD.

Versi sejarah ini ada benarnya: pada saat itu, memang hubungan PKI dan TNI-AD sangat buruk karena adanya perebutan kekuasaan.

PKI sendiri melalui “Biro Khusus” bentukan petinggi PKI Sjam Kamaruzaman, berusaha menyebarkan pengaruhnya ke kalangan tentara. Melalui biro tersebut juga, PKI memberikan bantuan kepada kelompok TNI yang akhirnya menculik para jenderal.

Namun, bukti-bukti sejarah memperlihatkan bahwa meski peran PKI penting, bukan mereka yang memprakarsai pembunuhan para jenderal. Hal ini dikemukakan Sudisman, salah satu petinggi PKI, dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, yang menyatakan bahwa PKI diminta tolong dan membantu kelompok TNI yang pro ganyang Malaysia untuk menangkapi para jenderal.

“Darah itu merah, Jenderal” adalah sebuah kutipan yang membekas dari film Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu diputar tiap tahun ketika era Orde Baru . Ungkapan yang absolut tersebut ternyata tidak bisa diterapkan ketika kita menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam tragedi yang terjadi 55 tahun yang lalu.

Penggambaran di atas menunjukkan bahwa dinamika politik Indonesia ketika itu begitu kompleks.

Penting bagi kita untuk memperhatikan dinamika perpolitikan yang ada guna menghadirkan analisis yang lengkap dan tidak setengah-setengah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now