Menu Close

Dari eksploitasi kata kunci hingga agresivitas marketplace: Bagaimana barang ilegal bisa masuk ke platform belanja online

Baru-baru ini, warganet dihebohkan oleh temuan akan adanya penjualan dan penyalahgunaan obat bius yang diperdagangkan bebas di salah satu platform belanja daring. Sebab, berdasarkan review para pembeli di kolom komentar, obat yang diklaim sebagai obat penenang atau obat agar cepat tertidur pulas tersebut digunakan untuk melakukan kekerasan seksual dengan menghilangkan kesadaran korban.

Pemilik akun Twitter @ciloqcilik dan Instagram @christine.rvl. mengunggah postingan mengenai temuan ini media sosial mereka pekan lalu. Unggahan mereka menunjukkan iklan-iklan provokatif di laman platform belanja daring tersebut, lengkap dengan review dari pembeli yang menautkan foto terduga korban.

Sontak, hal ini menimbulkan keresahan warga mengenai jual beli obat bius yang seharusnya hanya bisa digunakan dengan pengawasan dokter spesialis anestesi dan mengenai penggunaannya untuk tindakan kriminal.

Sebetulnya, Indonesia sudah memiliki rentetan aturan khusus mengenai jalannya proses jual beli dan perlindungan konsumen di situs belanja daring di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Salah satunya adalah peraturan menteri perdagangan mengenai ketentuan perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.

Regulasi-regulasi ini mengatur tentang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik agar dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, memetakan pelaku ekosistem platform daring, mengelola persaingan bisnis, serta meminimalisasi resiko kejahatan siber, penyalahgunaan data, dan pelanggaran konten.

Nyatanya, dengan segudang aturan ini, platform belanja masih saja kebobolan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri: bagaimana sebetulnya pengawasan produk berjalan di platform belanja daring?

Celah algoritma hingga agresivitas platform belanja daring

Pakar berpendapat ada beberapa alasan yang melemahkan proses pengawasan belanja daring, dari permainan kata kunci hingga upaya perusahaan dalam mengembangkan platform yang membuat penjual tidak bertanggung jawab lolos dari proses penyaringan.

Peneliti dari Center of Indonesian Policy Studies (CIPS), Trissia Wijaya, mengatakan mekanisme pengawasan yang ada menjadi sulit ditegakkan karena adanya adanya celah algoritma dalam menentukan kata kunci yang digunakan untuk menandai produk.

Menurut Trissia, sebetulnya platform belanja daring telah memiliki mekanisme kontrol internal dan penyidikannya sendiri.

Sebagai contoh, meningkatnya penggunaan layanan streaming film dan aplikasi komunikasi video di awal pandemi COVID-19 mendorong platform belanja untuk lebih intensif mengawasi penjual “curang” yang memperdagangkan kupon berlangganan layanan tersebut dengan harga miring.

Namun, sistem kontrol ini tergantung pada hakikat barang yang dijual dan penjual barang itu sendiri.

“Mekanisme seperti ini sering tidak berjalan secara efektif, karena obat tersebut atau pun barang sejenis berisiko didaftarkan oleh seller (penjual) dengan menggunakan keyword (kata kunci) yang tidak terdaftar di algoritma yang otomatis diblokir oleh platform,” terang Trissia.

Sementara itu, tambah Trissia, peraturan pemerintah lebih menekankan pada mekanisme kontrol internal, kata kunci, dan perlindungan konsumen – namun tidak mengatur detail seperti mitigasi kontrol risiko terutama untuk barang yang dikirim langsung dari penjual dan bukan dari gudang platform penjualan terkait.

Belum lagi, Trissia juga mengindikasikan kemungkinan adanya oknum.

“Balik lagi ke pertanyaan mendasar, bagaimana ceritanya obat tidur seperti itu bisa beredar luas di pasaran tanpa resep dokter?”

Wirawan Agahari, mahasiswa doktoral dari Delft University of Technology, berpendapat bahwa lemahnya proses pengawasan belanja daring berasal dari adanya kebingungan antara siapa yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama transaksi daring, mengingat adanya tumpang tindih kewenangan antara Kemendag dan Kementerian Kominfo.

Penjualan yang berlangsung di ranah digital, menurutnya, tidak sesederhana menerjemahkan praktik pengawasan perdagangan konvensional ke dunia maya.

Selain itu, bobolnya penjualan obat bius di platform belanja online juga berasal dari lalainya manajemen platform dalam menyaring penjual.

“Bisa jadi fenomena ini adalah implikasi dari platform yang cenderung terbuka dan membebaskan siapa saja bisa menjadi seller. Di masa awal platform-platform ini muncul, mungkin hal ini bisa diterima untuk meningkatkan jumlah seller dan ujung-ujungnya meningkatkan pembeli dan pengguna lainnya,” ujarnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, platform belanja daring harus memperkuat mekanisme kontrol yang dibangun agar tidak ada perilaku semena-mena – baik dari penjual mau pun pembeli – dan menjaga kondusivitas transaksi.

“Dengan kata lain, kualitas sama pentingnya dengan kuantitas,” tambahnya.

Bagaimana mekanisme pengawasan ini seharusnya dijalankan?

Pengetatan sistem pengawasan internal maupun publik, koordinasi antara badan pemerintah, penetapan sanksi, perlindungan data pribadi, serta peran serta jejaring masyarakat dapat membantu memperkuat pengawasan transaksi di platform belanja daring.

Menurut Wirawan dan Trissia, operator platform harus lebih proaktif dalam melakukan kontrol kualitas. Kolaborasi interaksi teknologi dan manusia bisa mempercepat pengawasan produk-produk yang ilegal atau rentan disalahgunakan. Artinya, perlu ada sistem mekanisme kontrol internal dan tim verifikasi yang mumpuni alih-alih hanya mengandalkan algoritma yang rawan dieksploitasi.

Wirawan menambahkan pentingnya pengawasan dari pembeli melalui pemberian penilaian, review, serta pengadaan fitur pengaduan.

Namun, Trissia menegaskan perlu adanya koordinasi yang lebih erat antara badan pemerintah dalam mengatasi tumpang tindih kewenangan. Mengingat, pengawasan yang mengandalkan inisiatif publik – yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 80/2019 – kerap memakan waktu lama karena harus membuat pelaporan berkala ke bagian pelayanan konsumen dan pemerintah.

Selain itu, ia juga menambahkan pentingnya mekanisme sanksi, yang juga harus menjawab pertanyaan mengenai pihak mana yang harus dihukum: penjual atau pembeli.

Permasalahan ini, menurut Trissia, menjadi momentum penting untuk dimasukkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).

Pasalnya, kasus penjualan dan penyalahgunaan obat ini – yang membuat foto korban menjadi tersebar – kerap hanya bisa ditindaklanjuti ketika ada bukti online dan harus viral terlebih dahulu.

“Dengan kata lain, untuk isu ini menjadi rame, bukti harus menjadi ‘shareable’ (bisa dibagikan), sehingga bertentangan dengan privasi dan menjadi masalah baru dalam hal perlindungan korban,” ujarnya.

“Kasus ini memang membuktikan bahwa isu ekonomi digital bisa sangat pelik, jahat, dan bukan hanya berhubungan dengan isu perlindungan konsumen namun juga kejahatan siber dan pasar gelap yang rantai nilainya melibatkan berbagai kepentingan,” tandasnya.

Di sini, media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang digital bisa ambil bagian.

Wirawan berpendapat bahwa media dan LSM dapat merangkum aspirasi warganet yang resah dengan fenomena-fenomena ini.

“Tekanan ini penting agar platform tidak semata-mata mengejar keuntungan saja tanpa memikirkan isu sosial dan etika dari apa yang terjadi di platform mereka,” tegasnya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now