Menu Close

Dari kelas pekerja ke ‘multitude’: memahami 4 fase pemikiran politik filsuf Italia Tony Negri

Shinta Saragih/The Conversation Indonesia. Author provided (no reuse).

Antonio Negri, yang juga dikenal sebagai Tony Negri, adalah figur intelektual kontroversial yang meninggalkan warisan dalam pemikiran politik dan filsafat Italia, Eropa, dan internasional.

Wafat pada usia 90 tahun di Prancis, pengaruhnya, terutama melalui karya monumental Empire (2001) bersama filsuf Amerika Serikat (AS), Michael Hardt, mencatat babak penting dalam sejarah pemikiran marxis internasional.

Apa itu marxisme?

Marxisme adalah esensi rasional dari berbagai aliran filsafat sebelumnya yang merangkum berbagai elemen, mulai dari filsafat Yunani kuno hingga gagasan-gagasan sosialis utopis awal. Marxisme menganalisis dan memahami bahwa hanya terdapat satu dunia material yang bersifat unik, saling berhubungan, dan beroperasi sesuai dengan hukum internal yang mengatur pergerakan dan perkembangannya.

Dengan kata lain, marxisme adalah filsafat sosial, ekonomi dan politik yang menganalisis dampak kelas penguasa terhadap buruh, yang menyebabkan distribusi kekayaan dan hak istimewa tidak merata di masyarakat.

Fase marxis-hegelian

Awal pemikiran Antonio Negri menggambarkan perjalanan intelektualnya yang mencakup pemahaman terhadap dialektika Hegelian yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Dialektika adalah kontraposisi suatu peristiwa atau pemikiran dengan yang lain. Menurut Hegel, dialektika memiliki pola tiga tahap yang terdiri dari tesis atau pernyataan suatu konsep, antitesis yaitu penolakan terhadap konsep yang dinyatakan dalam tesis, dan sintesis yaitu kesatuan tesis dan antitesis yang memungkinkan kita memahami kebenaran secara utuh dan konkret.

Fase Spinozista

Negri kemudian beralih ke orientasi filosofisnya sendiri, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Baruch Spinoza, filsuf Portugis yang bermukim di Belanda.

Perubahan dramatis dalam kelas pekerja Italia pada tahun 1960-an, khususnya migrasi besar proletar nonterampil dari selatan ke utara, menjadi fokus Negri di fase ini.

Observasi Negri terhadap perasaan ketidaksetujuan dalam partai, khususnya selama migrasi pekerja, menghasilkan pemahaman bahwa partai dan serikat pekerja tidak lagi dianggap sebagai sekutu, melainkan sebagai musuh dalam sistem produksi kapitalistik. Fenomena ini mendorong pembentukan kesadaran kelas, di mana otonomi dan auto organisasi kelas pekerja muncul tanpa mediasi eksternal.

Pemikiran ini terwujud dalam konsep Spinozista yang merupakan interpretasi Negri terhadap Spinoza. Menurut Negri, terdapat bentuk subjektivitas politik yang baru. Ia menjelaskan bahwa masalah politik tidak berasal dari kontrak atau negara ideal, melainkan hasil mekanisme nondialektis dari interaksi kekuatan individu yang bersatu sebagai kekuatan kolektif.

Kekuatan orang banyak yang bersatu itulah yang membentuk tubuh sosial atau jejalin interaksi sosial, kooperasi dan kolaborasi, yang disebut Negri sebagai “multitude”.

Dengan mengadopsi konsep multitude dari Spinoza, Negri bergerak menjauh dari pandangan Marxis-Hegelian yang objektif. Ia melihat kapitalisme bukan lagi sebagai persaingan modal, tetapi sebagai spontanitas: rakyat yang majemuk akan secara spontan melawan penguasa.

Fase pekerja sosial

Namun, pada 1970-an, terjadi pergeseran lebih lanjut ketika Negri mengalami perubahan perspektif dan dituduh terlibat dalam kelompok teroris Brigade Merah. Di periode ini, ia mulai mengadopsi pemikiran antropologi filsafat dari Foucault, Deleuze, dan Guattari, mempertanyakan relevansi politik pekerjaan.

Transisi dari pemberontakan bersenjata ke penolakan terhadap pekerjaan dalam pandangan Negri merupakan perubahan peran subjek dalam kritik marxisme.

Artinya, pekerjaan dianggap sebagai alat dominasi kapitalisme. Pekerjaan adalah bentuk pemerasan yang menciptakan rantai eksploitasi. Pekerja dijadikan objek yang kondisinya sebagai subjek dieksploitasi. Untuk membebaskan dirinya, pekerja sebagai subjek yang dieksploitasi harus merusak sistem, pertama melalui revolusi, kemudian dengan menolak untuk bekerja.

Di sini, Negri mengembangkan konsep buruh sosial. Jika pada fase awal, pekerja dianggap tanpa kesadaran politik, Negri beralih ke konsep buruh sosial, yang menurutnya adalah pekerja yang menerima gaji. Dengan kata lain, semua orang adalah kelas pekerja.

Fase kiri kapital

Periode di Prancis menandai akhir fase marxis Negri. Di Prancis, Negri bertemu dengan pemikiran Nouveaux philosophes, para filsuf pendukung pemikiran postmodern, yang lahir dari kekecewaan terhadap marxisme tahun 1960\1970, di mana semua ideologi dianggap gagal.

Keterlibatan Negri dengan postmodernisme mengakhiri fase marxisnya. Negri mencoba meletakkan visinya tentang “pekerjaisme” dan mengarahkannya ke perspektif posmodern, yang kemudian menjadi dasar bagi karyanya yang utama, seperti Empire (kerajaan), Multitude (orang banyak), dan Commonwealth (persemakmuran)]

Negri memberikan interpretasi kritis terhadap globalisasi, yang diungkapkan dalam bukunya “Empire”. Negri menulis bahwa dalam praktiknya, globalisasi seharusnya diperluas, menghilangkan kategori “kerajaan dan imperialisme” dan secara otomatis menghilangkan kategori negara-nasional dengan menghindari hubungan modal dan tenaga kerja.

Hal ini menempatkan Negri dalam perspektif yang dekat dengan “kiri kapital”, yang merupakan kapitalisme tetapi dengan perspektif kiri. Negri tidak lagi memberi bobot lebih pada kelas pekerja yang selama ini menjadi pusat pemikirannya selama menulis tentang pekerjaisme, tetapi mengalihkan pemikirannya ke orang banyak, yang dibahas dalam karyanya yang berjudul Multitude.

Multitude inilah yang dalam pemikiran Negri berbenturan dengan pemikiran neoliberal dan globalisasi. Gerakan ini merupakan kombinasi antara perlawanan terhadap kapital dan komitmen terhadap keterbukaan demokrasi partisipatif.

Sifat subjektif dari pemikiran Marxis yang membayangkan mekanisme produksi, kerja, dan eksploitasi tidak ada lagi dalam perspektif Negri. Sebaliknya, Negri berargumen bahwa ada subjektivitas yang tidak bertentangan dengan kapitalisme tetapi justru merupakan produk dari kapitalisme itu sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now