Menu Close

Data Bicara: Keterwakilan perempuan Indonesia sebagai duta besar kurang dari 6%, strategi pengarusutamaan gender perlu diperkuat

Data jumlah duta besar berdasarkan gender dan era presiden. Author provided

Keterwakilan dan kiprah perempuan di bidang politik luar negeri serta aktivitas diplomasi masih sangat terbatas. Selama ini, isu luar negeri memang masih identik dengan urusan yang didominasi laki-laki dan bercorak maskulin.

Hal ini sejalan dengan temuan beberapa studi global yang menunjukkan bahwa jumlah perempuan di posisi strategis seperti Duta Besar (Dubes) hanya berada di kisaran 15%-20%.

Secara global, ada 42 perempuan yang kini tengah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) di sejumlah negara. Di benua Asia, hanya 17 negara yang tercatat pernah atau sedang memiliki Menlu perempuan. Khusus di Asia Tenggara, hanya Filipina, Timor Leste, Myanmar dan Indonesia yang pernah berpengalaman memiliki Menlu perempuan.

Retno LP Marsudi, seorang diplomat karir, menjadi Menlu perempuan pertama di Tanah Air. Ia telah memimpin korps diplomatik Indonesia selama delapan tahun terakhir.

Kepemimpinan Retno – sebagai perempuan – dalam posisi strategis di bidang politik luar negeri ini tentu menunjukkan adanya progres atas keterwakilan perempuan sebagai bagian dari strategi pengarusutamaan gender.

Namun bagaimana dengan keterwakilan perempuan Indonesia sebagai Dubes, dan apa maknanya bagi pengarusutamaan gender?

Keterwakilan perempuan diplomat

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, tim pengajar dan mahasiswa dari Centre for Business and Diplomatic Studies (CBDS), Universitas Bina Nusantara (BINUS), menyusun basis data Dubes Indonesia.

Data yang diluncurkan pada 15 Desember 2022 dan dapat diakses di www.DataDubes.com ini menyajikan lebih dari 1.200 Dubes Indonesia yang sedang dan pernah menjabat sejak 1947 hingga 2022, lengkap dengan data biografi mereka seperti gender, negara penempatan, latar belakang profesional, tahun pelantikan, serta presiden yang melantik mereka.

Data yang kami susun menunjukkan bahwa semakin ke sini, semakin banyak jumlah perempuan yang menjadi Dubes (Tabel 1).

Jika pada era Presiden Soekarno persentase perempuan sebagai Dubes sebesar 1,14% atau hanya dua orang dari total 175 Dubes, pada masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, angka ini melonjak menjadi 13,46% atau 21 orang dari total 156 Dubes.

Tabel 1. Pola Penugasan Dubes oleh Presiden (1947-2022)

Akan tetapi, meski polanya mengalami kenaikan, rata-rata keterwakilan perempuan sebagai Dubes secara keseluruhan dalam 75 tahun terakhir hanyalah sebesar 5,28% atau 65 perempuan dari 1.230 penugasan.

Selain itu, sebaran penugasan Dubes perempuan juga tidak merata. Dapat dilihat dari Gambar 1 bahwa perempuan Indonesia tidak pernah ditugaskan untuk memimpin misi diplomatik di negara-negara besar (big powers) seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman, Cina, dan Inggris.

Persentase keterwakilan Dubes perempuan Indonesia paling tinggi tercatat di Bosnia dan Herzegovina, Panama, dan Ekuador. Di negara-negara ini, satu dari tiga Dubesnya adalah perempuan atau tingkat representasinya sebesar 33,33%. Berikutnya adalah Denmark dan Finlandia (masing-masing 30,77%), Norwegia (27,27%), Kroasia, Ceko, Rumania, Slovakia, dan Ukraina (masing-masing 25%), Swiss (21,05%), serta Selandia Baru dan Peru dengan masing-masing 20%.

Gambar 1. Persentase Dubes Perempuan

Dari pola keterwakilan tersebut, terlihat bahwa Dubes perempuan cenderung ditempatkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara-negara yang memiliki karakteristik: (1) misi diplomatik relatif baru dibuka, (2) masuk dalam wilayah Skandinavia, atau (3) pernah dilanda perang.

Kecenderungan ini menunjukkan bahwa ada ekspektasi tertentu atas peran dan pendekatan diplomat perempuan dalam memimpin kantor perwakilan di negara dengan karakter di atas.

Misalnya, karena negara-negara Skandinavia – seperti Norwegia dan Swedia – memiliki paradigma kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, maka menunjuk diplomat perempuan akan sejalan dengan orientasi kebijakan negara setempat, sehingga diharapkan hubungan bilateral kedua negara lebih hangat dan efektif.

Rendahnya tingkat keterwakilan diplomat perempuan Indonesia tersebut, baik dalam hal jumlah maupun sebaran penugasan, menunjukkan masih lemahnya komitmen pengarusutamaan gender di lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Pengarusutamaan gender di lingkungan kerja diplomat

Selepas era Orde Baru, Indonesia memasuki periode Reformasi yang salah satu bentuk reformasi politiknya adalah peningkatan keterwakilan perempuan di berbagai level dan instansi, salah satunya melalui strategi pengarusutamaan gender.

Pengarusutamaan gender merupakan strategi pembangunan dan pengembangan institusi, organisasi, dan kebijakan yang implementasinya berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender.

Menlu Retno telah memberi perhatian khusus terhadap pentingnya perspektif gender dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia. Kemlu sudah memberlakukan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No. 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kemlu sebagai panduan bagi lembaga tersebut dalam upaya menciptakan lingkungan kerja yang profesional dan kondusif.

Kebijakan pengarusutamaan gender di lingkungan Kemlu ini tidak hanya mengatur tentang perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, namun juga pendanaan dalam mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan.

Kebijakan ini kemudian diterapkan di kantor-kantor perwakilan pemerintah Indonesia, khususnya KBRI, dan di struktur organisasi, termasuk dalam hal komitmen pemberdayaan sumber daya manusia yang setara.

Implementasi kebijakan pengarusutamaan gender secara umum telah menjadi komitmen nasional sejak 2000, namun pelaksanaan di setiap kementerian dan instansi pemerintah bervariasi. Umumnya, komitmen penerapan pengarusutamaan gender ini diwujudkan melalui pembentukan unit khusus di internal institusi yang merumuskan dan melaksanakan kebijakan terkait, contohnya adalah pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender di Kemlu.

Meski demikian, di Indonesia, kebijakan semacam ini masih cenderung menggunakan “integrative approach” atau pendekatan integratif, yaitu ketika suatu institusi telah memasukkan agenda kesetaraan gender dalam kebijakan, tapi belum berorientasi pada perubahan struktur serta relasi kuasa yang lebih seimbang. Jenis pendekatan ini memang berhasil memperkenalkan pengarusutamaan gender secara formal dalam kebijakan suatu lembaga, tapi kurang efektif dalam implementasinya.

Ke depannya, pengarusutamaan gender perlu lebih menggunakan agenda-setting approach atau pendekatan dalam pengaturan agenda. Pendekatan ini tidak hanya berhenti di memperbaiki kebijakan formal yang telah ada, tapi juga melakukan transformasi terhadap akar-akar persoalan yang sifatnya struktural untuk mencapai keseimbangan gender.

Agenda pengarusutamaan gender di lingkungan diplomat – dalam hal ini Kemlu – perlu lebih dari sekadar meningkatkan keterwakilan perempuan dalam posisi Dubes dan pimpinan diplomat lainnya, tapi juga harus secara transformatif dan konsisten mensosialisasikan pentingnya kesadaran akan kesetaraan gender secara meluas di berbagai level.

Sosialisasi dan kesadaran atas perspektif gender dalam diplomasi ini penting karena aktivitas diplomasi tidaklah netral gender. Dalam tradisi diplomasi, masih terdapat norma-norma, aturan dan praktik yang bias gender.

Fakta bahwa diplomat perempuan kerap ditempatkan di KBRI negara tertentu tidak dapat dilepaskan dari norma maskulin dan hierarkis yang telah berakar dan terinstitusionalisasi. Itu sebabnya, ketika perempuan menempati posisi stretegis seperti Menlu dan Dubes, maka mereka telah mendobrak norma konvensional gender dalam lingkungan diplomatik.

Optimisme untuk masa mendatang

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah akankah jumlah Dubes perempuan dan laki-laki menjadi sama atau seimbang pada masa mendatang?

Mengingat separuh dari diplomat yang diterima Kemlu dalam beberapa tahun terakhir adalah perempuan, sebagian pihak optimis bahwa jawabannya adalah “ya”.

Namun, sebagian pihak lainnya tetap pesimis, karena jabatan Dubes yang sangat politis ditambah budaya patriarki yang masih kental akan menjadi tantangan bagi keterwakilan perempuan yang lebih substantif.

Di tengah pesimisme tersebut, kita tetap perlu mengapresiasi adanya kemajuan dalam komitmen dan strategi pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini terlihat tidak hanya dari peningkatan bertahap jumlah keterwakilan perempuan dalam posisi strategis, tapi juga meningkatnya keaktifan dan inisiatif Indonesia pada agenda memajukan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di kancah global.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now