Menu Close
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) di Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. (Sumber: Hafidz Mubarak/Antara)

Desa bisa jadi ujung tombak energi bersih Indonesia dan menggenjot akses energi daerah terpencil

Demi mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, pemerintah Indonesia merencanakan energi terbarukan yang ramah lingkungan bisa berkontribusi terhadap 25% penggunaan energi nasional pada 2025.

Sayangnya, tiga tahun menjelang waktu yang ditentukan, pencapaian penggunaan energi bersih masih jauh dari target, hanya 12,8%. Bahkan, sebanyak 142 proyek energi terbarukan senilai Rp 1,17 triliun justru ditemukan mangkrak dan hanya berjalan sesaat.

Kesenjangan target dan pencapaian energi terbarukan Indonesia. (Sumber: BPS, ESDM)

Pemerintah semestinya meninjau kembali pelaksanaan kebijakan pengembangan energi bersih. Hal ini penting agar pencapaian target tersebut tak hanya di atas kertas, tapi juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Saat ini masih terdapat 19.565 desa di Indonesia yang belum memiliki akses aliran listrik. Kebutuhan mereka sepatutnya dipenuhi dengan sarana yang lebih baik – mengedepankan sumber energi yang bersih dan berkelanjutan.

Studi yang saya lakukan bersama tim (dipaparkan di Konferensi Nasional Energi Baru Terbarukan Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2022, belum dipublikasi) di Desa Muara Enggelam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, membuktikan bahwa pengembangan energi bersih yang direncanakan bersama masyarakat dapat efektif menjamin keberhasilan proyek, sekaligus menjaga keberlanjutannya.

Model pengembangan energi bersih berbasis desa ini dapat diperbanyak di berbagai wilayah di Indonesia untuk mencapai dua target: peningkatan kapasitas energi bersih nasional dan meningkatkan akses masyarakat terhadap energi.

Memanfaatkan otoritas desa

Dalam perencanaan pengembangan energi bersih berbasis warga ataupun komunitas, pemerintah desa dapat menjadi pangkalnya. Pemerintah desa bisa melibatkan peran warga sebagai pengelola yang bernaung dalam satu badan hukum tertentu.

Contoh yang saya analisis adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Komunal Desa Muara Enggelam yang dikelola oleh masyarakat desa yang tergabung dalam badan usaha milik desa (BUMDes) Bersinar Desaku.

Video seputar Desa Muara Enggelam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Meski PLTS merupakan bantuan dari pemerintah, pengelolaan oleh warga memastikan fasilitas tersebut bisa terus menerangi rumah warga. Iuran bulanan juga memperkuat arus kas perusahaan untuk mengelola unit usaha lainnya seperti air bersih, pasar, pengolahan kayu, hingga televisi kabel.

Kajian saya bersama tim menganalisis keberhasilan tersebut berhulu dari komitmen bersama para warga, pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten. Komitmen ini memastikan kelancaran dalam proses perencanaan, pembangunan, hingga pemantauan proyek. Itikad tersebut kemudian diperkuat dengan kebijakan yang memadai, infrastruktur, serta ketersediaan badan hukum warga sebagai wadah pengelolaan bersama.

Contoh sukses lainnya adalah Koperasi Masyarakat Desa Kemanggih, badan usaha yang mengelola pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan jaringan biogas bersama di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Berbasis iuran dari warga sebesar Rp 20 ribu per bulan, koperasi ini bisa mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) secara berkelanjutan, bahkan menjual kelebihan setrumnya ke PT PLN. Listrik pun menjadi penggerak warga yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan peternak.

Kerja sama antarlembaga

Selain komitmen, faktor kolaborasi juga merupakan strategi kunci yang harus dibangun antara masyarakat desa dan pemangku kepentingan untuk pengembangan EBT berbasis komunitas di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Kerja bersama ini melibatkan:

1) Pemerintah Pusat melalui bantuan infrastruktur. Misalnya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian memberikan bantuan alat pengolahan biogas untuk Desa Urutsewu di Kebumen, Jawa Tengah, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan bantuan pembangunan infrastruktur PLTS di Desa Muara Enggelam.

2) Pemerintah Daerah melalui upaya perencanaan pembangunan. Misalnya Dinas ESDM dalam pembangunan PLTS Komunal di beberapa desa terisolasi di Kutai Kartanegara

3) BUMN: PT PLN membeli energi terbarukan desa, memberikan listrik PLTMH gratis, operator profesional PLTMH, dan memberikan PLTMH tambahan di Desa Kamanggih. Ada juga ada PT PGN (anak usaha PT Pertamina) yang memberikan bantuan infrastruktur PLTMH baru di Desa Andungbiru di Probolinggo, Jawa Timur.

4) Swasta atau lembaga Donor: Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) mengadakan penelitian kelayakan pemanfaatan PTMH dan membantu desa menyusun proposal pendanaan PLTMH kepada HIVOS, dan memberikan bantuan PLTS. HIVOS, merupakan lembaga donor internasional yang memberikan bantuan infrastruktur dalam membangun PLTMH utama di Desa Kamanggih, dan ada juga Millenium Challenge Account Indonesia (lembaga donor asal Amerika Serikat) yang menghibahkan PLTS Komunal di Desa Rawasari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.

5) Perguruan tinggi: Peran Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Brawijaya, Malang, yang digandeng PT PGN membantu melakukan survei dan uji kelayakan pengembangan PLTMH. Universitas Gadjah Mada juga membantu mengkaji kelayakan dan potensi ekonomi pengembangan PLTS Komunal.

Tantangan kebijakan

Pengelolaan energi terbarukan berbasis partisipasi masyarakat memerlukan dukungan regulasi. Sejauh ini, skema pendanaan dan pembangunan infrastruktur EBT termuat dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBT Serta Konservasi Energi.

Pengembangan energi terbarukan sebenarnya sempat masuk dalam prioritas alokasi Dana Desa tahun 2021. Namun, pada prioritas tahun 2022, alokasi ini justru dihapus.

Oleh karena itu, agar pengembangan energi bersih di tingkat desa lebih konsisten, pemerintah dapat mengatur kebijakan pengelolaannya, khususnya di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Pengaturan ini dapat dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan yang tengah dirumuskan DPR. Hal-hal yang dapat diatur adalah:

1) Pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan dapat memprioritaskan pembangunan infrastruktur EBT di daerah 3T, menjadi fasilitator dengan memberikan pelatihan teknis dan manajerial secara berkala pasca pembangunan infrastruktur EBT. Hal ini pernah dilakukan pada pengelola PLTS Komunal Desa Muara Enggelam.

2) Pemerintah daerah menjadi salah satu penggagas aktif dengan mengkoordinasi berbagai pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi setempat untuk melakukan kajian potensi EBT, mengajukan proposal pendanaan kepada pemerintah pusat, swasta, lembaga donor, dan menyusun rencana pengelolaan jangka panjang dan melakukan evaluasi pengelolaan EBT secara berkala.

3) Pemerintah desa harus membentuk kelompok usaha masyarakat desa dalam bentuk BUMDes, koperasi, badan usaha lainnya dan menjadikan EBT sebagai unit usaha agar pengelolaannya berkelanjutan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now