Menu Close
Teknologi keuangan.
Perkembangan teknologi memungkinkan masyarakat melakukan berbagai transaksi keuangan hanya lewat ponsel. kentoh/shutterstock

‘Fintech’ tak hanya pinjol: Mengenal teknologi finansial dan potensi risikonya di Indonesia

Masyarakat kerap menyamakan financial technology (fintech) atau teknologi finansial (tekfin) dengan pinjaman online (pinjol). Bahkan, jika kita mencari definisi tekfin di Google, perangkat tersebut menampilkan “apakah tekfin sama dengan pinjol?” sebagai salah satu pertanyaan yang paling sering dicari.

Penting bagi kita untuk memahami teknologi ini sekaligus tantangan dan risikonya. Sebab, pertumbuhan jasa keuangan digital di Indonesia amat pesat.

Fintech atau tekfin adalah perangkat teknologi yang menjadi landasan model bisnis perusahaan rintisan yang bergerak di bidang keuangan.

Teknologi ini meliputi kecerdasan buatan (AI), blockchain, sains dan analitika data, dan keamanan siber. Tekfin bertujuan membuat layanan keuangan menjadi lebih cepat dan mudah lewat jasa pembayaran, pinjam-meminjam, perbankan digital, asuransi, investasi, pengelolaan keuangan pribadi, dan pengelolan keuangan bisnis.

Laporan yang diterbitkan AC Ventures dan Boston Consulting Group pada Maret lalu menyatakan jumlah perusahaan tekfin yang beroperasi di Indonesia meningkat enam kali lipat dari 51 pada 2011 menjadi 334 pada 2022. Sektor pembayaran menjadi penggerak utama pertumbuhan industri ini.

Perluasan jangkauan tekfin ke manajemen kekayaan (wealth-tech) dan asuransi (insurtech) menunjukkan bahwa ekosistem tekfin di Indonesia semakin matang. Perusahaan-perusahaan rintisan baru kini menawarkan berbagai produk dan layanan inovatif seperti pembelian saham, reksadana, asuransi, serta pengajuan klaim secara daring.

Pertumbuhan tekfin diharapkan mampu mempercepat inklusi keuangan di Indonesia, dengan semakin banyaknya masyarakat yang bisa mendapatkan layanan keuangan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pertumbuhan tekfin dengan berbagai masalahnya

Indonesia pertama kali mengenal tekfin pada 2007 ketika salah satu bank swasta nasional, BCA meluncurkan platform uang elektronik untuk memfasilitasi pembayaran.

Namun, industri tekfin di Indonesia baru menggeliat di tahun 2015 ketika perusahaan-perusahaan rintisan yang bergerak di layanan pinjaman online menjamur . Melihat perkembangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada 2016.

Pada awal 2017, OJK mewajibkan perusahaan rintisan tekfin untuk mendapatkan izin dari mereka. Salah satu alasannya adalah beberapa tekfin terlibat investasi bodong. Daftar perusahaan yang sudah diizinkan oleh OJK kemudian mulai dipublikasikan sejak awal 2018. Jumlahnya saat itu mencapai 40 korporasi. Jumlah ini terus berkembang mencapai sekitar 160 perusahaan di tahun 2020.

Pada 2020, OJK melakukan moratorium pendaftaran perusahaan tekfin. Tujuannya untuk memastikan bahwa platform yang sudah terdaftar menjadi berizin dan benar-benar patuh terhadap regulasi, memiliki kapasitas yang memadai, dan bisa menjaga keberlanjutan sumber daya mereka dalam menjalankan usaha.

Pada layanan tekfin pinjam-meminjam, permasalahan muncul baik dari sisi peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur). Maraknya pinjol ilegal yang menarik debitur potensial dengan persyaratan yang mudah berujung pada berbagai permasalahan seperti bunga yang mencekik, kebocoran data, hingga ancaman fisik dan psikologis saat penagihan.

Di sisi lain, kreditur-kreditur juga berpotensi merugi jika peminjam tak mampu melunasi utangnya. Apalagi jika dana yang disalurkan tidak diasuransikan oleh perusahaan tekfin.

Kasus gagal bayar TaniFund, yang menghubungkan antara kreditur dan debitur, misalnya, terjadi salah satunya karena para petani sebagai peminjam mengalami gagal panen.

Perkembangan regulasi

Apa yang dialami oleh Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Cina. Sebelum 2015, Cina mengambil pendekatan yang lunak terhadap layanan tekfin pinjam-meminjam untuk mengakselerasi praktik baru dan inovatif.

Namun, pada 2015, ledakan tekfin pinjam-meminjam menghadirkan banyak masalah. Pemerintah Cina terpaksa mengambil tindakan seperti pembatasan jumlah perusahaan tekfin pinjam-meminjam, peninjauan kembali perizinan dan persyaratan, dan pembatasan perilaku berisiko oleh peminjam dan pemberi pinjaman.

Berbeda dengan Cina daratan, Hong Kong menggunakan pendekatan yang lebih hati-hati melalui regulatory sandbox. Aturan ini memungkinkan perusahaan tekfin untuk menguji coba layanan dan produk mereka di ekosistem terbatas, sebelum meluncurkannya ke masyarakat luas. Otoritas keuangan dan perusahaan kemudian dapat menilai risiko dari layanan dan produk tersebut dari berbagai perspektif sehingga upaya mitigasi risiko dapat direncanakan dengan baik.

Pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan serupa sebagai landasan inovasi tekfin yaitu POJK 13 /POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan. Ada juga Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Regulatory sandbox yang diterapkan OJK ini bertujuan untuk memastikan penyelenggara inovasi keuangan digital memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya adalah inovatif, berorientasi ke depan, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, mendukung inklusi dan literasi keuangan, dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada, memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan data, dan menggunakan pendekatan kolaboratif.

Dengan adanya landasan hukum ini, pemerintah seharusnya bisa menilai dan mengevaluasi inovasi-inovasi tekfin lebih baik lagi.

Masalah tekfin apa yang berpotensi terjadi di Indonesia?

Penggunaan tekfin seperti perangkat teknologi yang berbasis algoritme (AI, pemelajaran mesin, dan sains data) memiliki konsekuensi merugikan jika tidak dikelola dengan baik dan didukung oleh regulasi yang jelas.

Penggunaan sistem algoritme ini berpotensi melanggar aspek-aspek etika seperti privasi, bias, dan akuntabilitas. Perusahaan-perusahaan yang mengumpulkan data-data pribadi dan rahasia dari pelanggan mereka harus berhati-hati mengelola, menganalisis dan menjaga keamanannya.

Kecerobohan perusahaan bisa menimbulkan masalah kebocoran data dan profiling yang tidak seharusnya (bias). Profiling merujuk pada penggunaan algoritme untuk menilai atau memprediksi aspek-aspek pribadi seperti perilaku, keadaan ekonomi, kesehatan, kepribadian, preferensi–biasanya untuk menentukan layak tidaknya seseorang menerima pinjaman.

Penggunaan algoritme AI untuk menentukan apakah calon debitor memiliki potensi gagal atau sukses bayar, juga berpotensi bias–baik karena datanya maupun algoritmenya. Bias ini dapat memperburuk ketimpangan kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas karena kurangnya representasi data mereka.

Di Indonesia, bias dalam penggunaan algoritme layanan tekfin ini memang belum terliput oleh media dan menjadi kasus. Namun, di Amerika Serikat, kasus ini sudah terjadi.

Studi yang dilakukan oleh University of California, Berkeley terhadap lembaga pemberi pinjaman, baik daring maupun luring memperlihatkan bahwa mereka cenderung membebankan suku bunga yang lebih tinggi kepada peminjam dari ras Afrika-Amerika dan Latin. Sebab, sistem algoritme dilatih dengan data yang bias dan tidak seimbang: data ras kulit putih yang bisa dianalisis secara digital lebih banyak dari data ras Afrika-Amerika dan Latin.

Studi lain di sektor asuransi menunjukkan adanya bias terhadap kelompok minoritas dan gender dalam penetapan premi asuransi.

Bias juga bisa terjadi karena adanya variabel proksi yang membuat algoritme AI melakukan diskriminasi. Variabel proksi punya korelasi dengan variabel lain, terutama yang bersifat pribadi atau yang seharusnya diproteksi (ras, gender, agama, dan lain sebagainya).

Karena korelasinya kuat, variabel proksi bisa saja mengungkapkan atau memprediksi data privasi seseorang ketika digunakan untuk melatih AI. Misalnya, kode pos di area tertentu bisa mengungkap apakah seseorang merupakan ras atau etnik tertentu.

Jika tidak dikelola dengan saksama, bias akan mengakibatkan diskriminasi digital di antara kelompok masyarakat.

Mitigasi risiko tekfin

Dalam menjelajahi potensi tekfin, pemerintah dan perusahaan perlu memperhatikan empat dimensi kritis, yaitu tata kelola, etika, hukum, dan dampak sosial.

Informasi yang dihasilkan dari sistem algoritme harus bisa dijelaskan (explainable). Proses pengambilan keputusan oleh sistem itu juga harus transparan. Sebab, jika terjadi masalah hukum, mekanisme penjelasan dan transparansi ini menjadi bukti untuk menentukan bagaimana permasalahan sistem algoritme ini harus diselesaikan.

Sebagai contoh, jika terjadi bias yang mengakibatkan seorang nasabah mendapatkan diskriminasi dan berdampak ekonomi, sistem peradilan harus bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum dan kompensasi harus dilakukan.

Di sisi teknis, ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk memitigasi resiko etika dan bias di algoritme. Contohnya dengan penggunaan teknik mitigasi bias algoritme AI; dokumentasi tata kelola dan analisis data seperti transparansi dalam pengumpulan, penyimpanan dan penggunaan dataset untuk melatih algoritme AI; juga antisipasi mengenai kemungkinan bias-bias yang bisa terjadi karena penggunaan algoritme seperti prediksi, klasifikasi, dan klusterisasi.

Di sisi regulasi, pemerintah harus berfokus kepada mitigasi risiko teknologi, perlindungan terhadap konsumen, dan aturan yang ketat terhadap penggunaan sistem algoritme. Uni Eropa, misalnya, sedang mengajukan usulan undang-undang kecerdasan buatan untuk menjamin kepastian hukum penggunaan teknologi yang berbasis algoritme.

Alih-alih memperkuat keuangan inklusif, pengabaian aspek tata kelola, etika, hukum, dan dampak sosial bisa memicu kesenjangan sosial. Warga negara juga bisa kehilangan kesempatan mendapatkan layanan keuangan yang lebih baik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now