Menu Close

Fomepizol, sejauh mana khasiatnya mengatasi keracunan etilen glikol?

Fomepizole seharusnya tersedia lebih banyak di Indonesia karena obat penting untuk menangkal keracunan obat dan lainnya. Kemenkes

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengimpor obat fomepizol dari Jepang, Singapura dan Australia. Obat ini digunakan sebagai obat penawar (antidot) terhadap keracunan etilen glikol.

Zat berbahaya ini ditemukan dalam obat sirup dan diduga sebagai penyebab gagal ginjal akut atipikal yang terjadi pada ratusan anak dalam beberapa bulan terakhir. Setidaknya, 190 anak meninggal.

Fomepizol termasuk dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya obat-obat yang perlu tersedia di suatu negara dan masuk dalam Formularium Nasional. Obat penawar racun ini tidak hanya bisa digunakan untuk mengatasi keracunan akibat etilen glikol tapi juga keracunan lainnya.

Ironisnya, pemerintah harus mengimpor karena fomepizol tidak ada di Indonesia. Tidak ada perusahaan farmasi tanah air yang memproduksinya. Padahal, struktur kimia dari fomepizol cukup sederhana. Ketersediaan obat dan harga yang terjangkau akan menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Keracunan etilen glikol

Etilen glikol adalah larutan yang tidak berwarna, tidak berbau, manis, dan larut dalam air yang digunakan dalam bahan pengawet, antibeku, dan pendingin lainnya.

Etilen glikol juga dapat berperan sebagai produk cemaran dari penggunaan pelarut pada obat-obat sirup seperti propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin.

Di dalam tubuh, etilen glikol akan diubah menjadi gliseraldehida dan asam glikolat dengan bantuan enzim alkohol degidrogenase (ADH). Ketika terjadi keracunan etilen glikol, asam glikolat menumpuk di dalam tubuh, menyebabkan keseimbangan kimiawi asam dan basa dalam darah terganggu.

Selanjutnya, asam glikolat diubah menjadi glioksilat, dan tubuh mencoba mengubah glioksilat menjadi zat-zat lain dengan sejumlah cara. Rute yang paling berbahaya adalah ketika glioksilat berubah menjadi oksalat (asam oksalat). Ketika kalsium dalam serum bertemu dengan oksalat, maka terbentuk kalsium oksalat.

Ketika seseorang minum terlalu banyak etilen glikol, kristal kalsium oksalat terbentuk dalam urin mereka. Kalsium oksalat dapat menumpuk di otak, paru-paru, jantung, pankreas, dan ginjal.

Etilen glikol dapat membuat seseorang merasa mabuk, yang membuat badan merasa lemas, membuat muntah, dan sakit perut. Kejang, detak jantung cepat, tekanan darah tinggi, dan depresi sistem saraf pusat dapat terjadi 3-12 jam setelah tertelan. Kegagalan ginjal dapat terjadi 24-72 jam setelah asupan.

Gagal ginjal akut dapat mereda dan ginjal kembali normal dalam beberapa hari atau beberapa minggu jika mendapat terapi yang tepat. Fomepizol merupakan obat yang tepat pada tahap awal keracunan tersebut.

Sejarah fomepizol

Pada 4 Desember 1997, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menyetujui fomepizol (4-metilpirazol) sebagai obat untuk keracunan etilen glikol atau dugaan keracunan etilen glikol.

Sebelum fomepizol disetujui, obat untuk mengatasi keracunan etilen glikol adalah etanol. Persetujuan fomepizol tersebut telah memicu perdebatan tentang manfaat komparatif antara fomepizol dan etanol, terutama pada harga, karena harga fomepizol jauh lebih mahal.

Sejak 1960-an, telah diketahui bahwa senyawa pirazol dan turunan 4-metilnya dapat menghambat enzim alkohol dehidrogenase (ADH), suatu enzim yang mengubah alkohol menjadi aldehida pada hewan dan manusia. Namun, fomepizol menjadi agen yang lebih menjanjikan karena tidak menyebabkan kerusakan hati dan merupakan penghambat ADH yang lebih kuat dibanding pirazol.

Fomepizol bekerja dengan menghambat enzim ADH, sehingga dapat menghentikan pengubahan etilen glikol menjadi produk sampingan yang berbahaya.

Etanol pun dapat berperan sebagai penghambat enzim ADH, tapi memiliki kelemahan pada sulitnya pengaturan dosis atau jumlah yang perlu disuntikkan ke pasien dan harus dalam dalam kualitas sangat tinggi dan murni. Selain itu, suntikan etanol bersifat mengiritasi vena dan dapat menekan sistem saraf pusat.

Sementara fomepizol dikeluarkan dari tubuh melalui urin, bertahan lebih lama di tubuh dibanding etanol, dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.

Fomepizol harus diberikan jika ada tanda-tanda kecurigaan keracunan yaitu adanya kristal oksalat dalam urin, kelebihan asam dalam darah (asidosis metabolik), atau kadar etilen glikol lebih dari 20 mg/dL. Fomepizol tersedia dalam sediaan cairan steril dalam wadah khusus, dan diberikan secara suntikan. Penggunaannya dapat dicampurkan dengan larutan dekstrosa atau larutan natrium klorida.

Setelah pemberian dosis awalan, obat berikutnya diberikan lagi beberapa kali, hingga kadar etilen glikol lebih rendah dari 20 mg/dL.

Fomepizol termasuk obat yang dapat terbuang saat dilakukan cuci darah (hemodialisis), sehingga jika hemodialisis dilakukan, maka fomepizol harus diberikan lebih sering sampai kadar etilen glikol dalam darah turun menjadi 20 mg/dL.

Efek samping fomepizol di antaranya menyebabkan sakit kepala, merasa mual, dan muntah.

Tak hanya untuk keracunan etilen glikol

Fomepizol tidak hanya dapat digunakan sebagai penawar etilen glikol, tapi juga untuk keracunan metanol, pengobatan bagi seseorang yang meminum obat disulfiram untuk kecanduan alkohol, bahkan untuk penawar keracunan parasetamol.

Pada 11 Desember 2000, fomepizol disetujui untuk obat keracunan metanol (spiritus) atau dugaan keracunan metanol. Sebuah laporan kasus yang diterbitkan di jurnal Pediatrics and Neonatology (2016), melaporkan seorang bayi 1,5 tahun yang tidak sengaja menelan metanol. Pemberian fomepizol pada si bayi dapat mengobati kelebihan asam dalam darah, secara cepat tanpa efek samping yang berarti.

Masih pada laporan yang sama, kasus-kasus keracunan metanol yang diobati dengan fomepizol pada anak-anak juga menunjukkan perbaikan.

Untuk kasus keracunan parasetamol, standar perawatan untuk penawarnya yaitu obat N-asetilsistein (NAC). Tetapi, fomepizol dapat memberikan manfaat sebagai penawar tambahan yang dikombinasi dengan NAC), pada kondisi keracunan parasetamol yang pemberian NAC saja belum cukup untuk meminimalkan risiko keracunan hati.

Tantangan ketersediaan obat

Salah satu masalah dari impor fomepizol adalah harga obat tersebut mahal, sekitar Rp 16 juta per wadah steril dalam volume 1,5 mL.

Jika dilihat lebih dekat dari strukturnya, fomepizol termasuk senyawa dengan struktur yang sederhana, yaitu berupa cincin lingkar lima mengandung nitrogen, dan memiliki gugus satu metil pada cincinnya.

Struktur kimia fomepizol. Wikipedia

Mengapa harga obat ini menjadi sangat mahal? Kemungkinan, produsen membutuhkan rute sintesis untuk mendapat fomepizol dalam ultra-murni, dengan pengotor pirazol kurang dari 0,5% dan pengotor lain dalam jumlah kurang dari 10 ppm.

Indonesia seharusnya bisa memproduksi sendiri fomepizol.

Beberapa literatur telah menyediakan bagaimana cara mensintesis senyawa fomepizol. Salah satunya menggunakan bahan awal propionaldehida dan trietil ortoformat, dilanjutkan dengan lima langkah reaksi pada kondisi suhu yang lunak, didapat fomepizol dalam ultra-murni.

Produksi fomepizol di dalam negeri dengan harga lebih murah tidak hanya sekadar mimpi. Pemerintah perlu menggalakkan kerja sama antara ahli farmasi, ahli kimia medisinal, ahli kimia organik, juga melibatkan pabrik petrokimia (TubanPetro) di Tuban, untuk memproduksi fomepizol.

Fomepizol memiliki banyak manfaat, dan perannya sebagai antidot, seharusnya mudah diakses. Kerja sama antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah perlu digarap untuk kemandirian obat di Indonesia, untuk meningkatkan ketersediaan obat fomepizol dan antidot-antidot lainnya di tanah air.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,200 academics and researchers from 4,952 institutions.

Register now