Menu Close
Warga menyaksikan kapal tongkang bermuatan batubara terdampar di pantai wisata Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Ampelsa/antara

Gasifikasi dan pencairan batu bara: Cara Indonesia melanggengkan “kecanduan” terhadap batu bara

Indonesia berusaha menyongsong ‘matahari terbenam’ bagi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus meredam laju perubahan iklim.

Pemerintah telah mencoret rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru yang belum mencapai tahap konstruksi. Ada juga program ‘pensiun dini’ alias penutupan operasional sejumlah PLTU berkapasitas total 9,2 gigawatt (GW) dapat dimulai pada dekade ini.

Tapi, seiring rencana itu, ada beleid ‘matahari terbit’ untuk meningkatkan penggunaan batu bara di sektor lainnya melalui proyek pengolahan batu bara menjadi gas (gasifikasi) dan pencairan batu bara. Kebijakan ini kerap disebut ‘hilirisasi (penghiliran) batu bara’.

Salah satu proyek penghiliran adalah proses pengolahan batu bara menjadi gas sintetik (synthetic gas atau syngas). Material ini dapat diolah untuk menghasilkan beraneka produk turunan: mulai dari bahan bakar minyak, pengganti liquified petroleum gas (LPG) rumah tangga, hingga bahan baku plastik.

Berbekal segudang peluang itu, pemerintah lantas memprioritaskan proyek pengolahan batu bara dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Proyek Strategi Nasional.

Proyek ‘strategis’ gasifikasi batu bara pertama akan dikembangkan oleh perusahaan pelat merah PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Sedangkan pencairan batu bara menjadi metanol diinisiasi konsorsium swasta pimpinan PT Bakrie Capital Indonesia di Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Penyematan status ‘strategis’ menandakan bahwa proyek tersebut akan mendapatkan berbagai sokongan kebijakan dan kemudahan dari pemerintah.

DPR pun setali tiga uang. Melalui perumusan rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT), parlemen menggolongkan produk hasil gasifikasi maupun pencairan batu bara sebagai energi baru, sehingga berpeluang mendapatkan insentif lebih besar sampai kemudahan perizinan.

Alih-alih bermanfaat, program penghiliran ini justru berisiko memperparah “kecanduan” Indonesia terhadap batu bara dan sederet potensi masalah lainnya.

Kenapa hilirasi batubara bermasalah?

Penempatan hasil pencairan batubara dan gasifikasi batubara sebagai energi baru sebenarnya tidak tepat. Beberapa metode pengolahan sudah dicoba sejak puluhan tahun silam.

Misalnya, metode Fischer-Tropsch untuk mengkonversi syngas menjadi BBM sudah diterapkan sejak 1920 untuk menyalakan mesin perang Nazi di perang dunia Ke-II.

Nah, meski sudah lama, metode pengolahan tak kunjung populer lantaran terbentur masalah-masalah ini.

1) Proses pengolahan tidak efisien

Di Kutai Timur, proses pengolahan syngas untuk menghasilkan satu ton metanol akan membutuhkan sekitar 3,3 ton batu bara.

Sedangkan studi menunjukkan pembuatan satu ton olefin (bahan baku plastik) dari syngas akan membutuhkan sekitar 4,1 ton batu bara.

Upaya produksi satu ton dimethyl ether(DME) dari syngas batu bara (sebagai pengganti LPG) yang digarap PT Bukit Asam Tbk akan membutuhkan batu bara lebih besar lagi. Jumlahnya sekitar 4,6 ton.

Produksi yang tidak efisien itu tak dibarengi kualitas yahud. Misalnya, nilai kalor DME terhitung hanya mencapai 64% dari nilai kalor LPG. Akibatnya, proses memasak dengan DME akan membutuhkan waktu 20% lebih lama dibanding LPG.

2) Ongkos produksi yang mahal

Biaya pengolahan batu bara menjadi dimethyl ether di Sumatera Selatan terhitung lebih mahal dua kali lipat ketimbang LPG.

Jika pemerintah memaksakan program substitusi LPG ke DME, maka kenaikan harganya akan ditanggung jutaan rumah tangga di Indonesia – atau bahkan menambah beban kas negara.

Di Cina, pengolahan batu bara menjadi olefin (bahan baku plastik) juga lebih mahal dibanding produk serupa, hasil pengolahan minyak maupun gas bumi.

3) Emisi berlipat-lipat

Dalam kegiatan penghiliran, batubara memiliki dua fungsi: bahan baku dan bahan bakar. Agar dapat menjadi produk turunan seperti syngas, DME, dan lainnya, produsen perlu membakar batubara dalam jumlah yang banyak.

Hal ini menjadikan proses pengolahan batu bara justru menghasilkan emisi yang lebih buruk dibandingkan produk yang digantikannya.

Studi di Amerika Serikat menaksir, penggunaan bahan bakar minyak hasil pencairan batu bara akan menghasilkan jejak karbon sekitar dua kali lipat dibandingkan penggunaan bahan bakar minyak.

Di Sumatera Selatan, penggunaan DME berbasis batu bara diperkirakan memiliki jejak emisi gas rumah kaca lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dari gas LPG yang digantinkannya.

Sementara, penelitian di Cina juga menunjukkan risiko kenaikan emisi akibat pemakaian olefin (bahan baku plastik) berbasis metanol dari batubara (sekitar dua kali lipat).

Bahkan, riset tim dari Australian National University di Australia memperkirakan pengolahan batubara menjadi hidrogen lebih berkontribusi pada pemanasan global ketimbang pembakaran langsung di PLTU.

Lalu untuk apa proyek pengolahan batu bara?

Pemerintah telah membuat janji besar agar sektor ketenagalistrikan tak lagi ketergantungan terhadap batu bara. Namun pada sisi lain, pemerintah justru membuat proyek-proyek baru yang sangat konsumtif terhadap sumber energi kotor tersebut.

Pemerintah semestinya memfokuskan kebijakan, perencanaan, strategi, dan anggaran untuk untuk memuluskan transisi penggunaan energi fosil ke energi bersih, bukan mencari alasan untuk melanggengkan pengerukannya.

Memaksakan program ini saja memperpanjang pelepasan emisi akibat aktivitas pengerukan maupun pemanfaatan batu bara, sekaligus membiarkan inefisiensi terjadi – yang berisiko menggerogoti kas negara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now