Menu Close
Data dari para pasien COVID-19 sangat penting untuk memajukan ilmu pengetahuan melalui riset. Sirichai Saengcharnchai/Shutterstock

Geger ilmiah Lancet-gate: mengapa bisa terjadi skandal riset COVID-19 di tengah pandemi

Jurnal ilmiah bidang kedokteran terkemuka di dunia terbitan Inggris The Lancet pada 5 Juni mencabut sebuah artikel hasil riset yang setelah tayang selama sekitar 15 hari baru diketahui bahwa datanya kurang kredibel.

Skandal yang dikenal sebagai “Lancet-gate” ini menjadi perbincangan hangat bukan hanya karena melibatkan jurnal ilmiah yang dikenal memiliki standar publikasi yang paling ketat di dunia tapi juga melibatkan isu penggunaan obat anti-malaria, hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID19.

Artikel ini melaporkan risiko kematian yang tinggi di kalangan pasien COVID19 yang “diobati” pakai hidroksiklorokuin. Sehingga memunculkan keyakinan bahwa pemberian hidroksiklorokuin lebih banyak mendatangkan kematian daripada kesembuhan.

Melihat besarnya jumlah subjek yang diteliti, sebanyak 15.000 pasien dari 671 rumah sakit di seluruh dunia, secara sepintas temuan ini tepercaya. Namun ternyata belakangan para ilmuwan menyangsikan keaslian data yang dijadikan acuan untuk analisis. Terdapat juga keraguan atas kredibilitas lembaga pengelola data tersebut.

Usaha The Lancet untuk menginvestigasi secara independen atas artikel ini mengalami kendala karena lembaga pengelola data tersebut menolak membuka data mentahnya, sehingga akhirnya artikel ini harus dicabut.

Artikel yang dicabut setelah terbit beberapa hari di The Lancet.

Kronologi

Untuk mengetahui masalah ini, mari kita mulai rententan kejadiannya.

Pada 22 Mei The Lancet mempublikasikan laporan penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan hidroksiklorokuin untuk COVID19 membawa risiko kematian yang signifikan.

Para ilmuwan sepakat bahwa The Lancet termasuk di antara jurnal-jurnal ilmiah yang paling berpengaruh di dunia dalam bidang kedokteran. Sementara itu, penulis utamanya, Mandeep Rajinder Mehra, adalah seorang guru besar ahli penyakit jantung dan pembuluh darah Harvard Medical School yang sangat disegani.

Sehari setelah artikel tersebut terbit, WHO yang mengendalikan uji klinik Solidarity Trial COVID19 di seluruh dunia, termasuk untuk hidroksiklorokuin, menghentikan sementara penggunaan hidroksiklorokuin pada uji klinik ini karena kekhawatiran risiko kematian yang ditunjukkan artikel The Lancet.

Otomatis, seratusan lebih negara yang terlibat dalam Solidarity Trial menghentikan penggunaan hidroksiklorokuin dalam uji klinik mereka.

Lalu pada 28 Mei, Reuters melaporkan bahwa negara-negara Uni Eropa mengeluarkan larangan penggunaan hidroksiklorokuin untuk perawatan COVID-19.

Pada hari yang sama, 120 ilmuwan dari 24 negara mengirimkan surat terbuka kepada Mandeep R Mehra, penulis utama artikel, dan Richard Horton, Pemimpin Redaksi The Lancet. Mereka mempertanyakan validitas pangkalan data dan analisis yang digunakan para penulis untuk membuat kesimpulan mengenai tingginya risiko kematian akibat penggunaan hidroksiklorokuin. Mereka meminta investigasi independen atas hasil penelitian ini.

The Lancet, pada 3 Juni, mengeluarkan “Pernyataan Kewaspadaan” atas temuan-temuan artikel ilmiah ini dan mengumumkan dimulainya investigasi independen.

Sehari setelah itu, WHO mengumumkan pengaktifan kembali uji klinik hidroksiklorokuin sebagai bagian dari Solidarity Trial. Pada hari berikutnya The Lancet mengumumkan pencabutan artikel ilmiah tersebut.

Pencabutan ini diminta sendiri oleh seluruh penulis artikel, kecuali satu orang, karena lembaga pemasok data, Surgisphere, tidak bersedia membuka data mentah sehingga investigasi independen tidak dapat dilaksanakan. Satu-satunya penulis yang tidak meminta pencabutan adalah CEO dan pendiri Surgisphere, Sapan Desai.

Persoalan pada Surgisphere, pengelola pangkalan data

Data yang dijadikan basis analisis dalam riset tersebut dikelola oleh lembaga bernama Surgisphere yang berbasis di Amerika Serikat. Surgisphere mengklaim telah mengumpulkan data rekam medis elektronik 96.000 pasien dari 671 rumah sakit di seluruh dunia, yang selalu diperbarui secara real-time dan otomatis.

Lembaga ini didirikan pada 2008 dan berbasis di Chicago oleh Sapan Desai, dokter ahli bedah dan salah satu penulis artikel tersebut.

Investigasi jurnalistik yang dilakukan The Guardian dan The Scientist menghasilkan temuan-temuan yang mengejutkan atas kredibilitas Surgisphere sebagai lembaga pengelola data berskala raksasa.

Orang-orang yang bekerja di Surgisphere tidak memiliki latar belakang dan pengalaman ilmiah yang memadai. Editor sains di lembaga ini adalah seorang penulis science-fiction, bukan peneliti atau ilmuwan.

Eksistensi Surgisphere sebagai perusahaan yang mengklaim mengelola pangkalan data rumah sakit terbesar di dunia patut diragukan. Akun LinkedIn Surgisphere hanya memiliki 250 follower dan 1 karyawan (12 Juni 2020). Pada 7 Juni 2020 akun Twitternya memiliki 574 follower dan tidak ada posting antara Oktober 2017–Maret 2020. Dua hari kemudian akun Twitter ini dihapus.

Bandingkan dengan Explorys, perusahaan besutan IBM yang juga mengelola pangkalan data rumah sakit berskala raksasa. Akun LinkedIn Explorys memiliki 4.730 follower dengan 40 karyawan (12 Juni 2020) dan akun Twitternya memiliki 44.600 follower (12 Juni 2020).

Kepemilikan dan pengelolaan data rekam medis dalam jumlah besar memerlukan perangkat kelembagaan yang rumit dan canggih melibatkan sistem komputerisasi yang masif dan sistem kurasi data yang ketat. Hal ini diperlukan sehingga akurasi data selalu terjamin.

Sapan Desai terlibat dalam tiga gugatan malpraktek yang sedang disidangkan di pengadilan Cook County, Illinois pada 2019. Ia membantah tuduhan ini melalui The Scientist.

Pada 2008, Desai meluncurkan kampanye penggalangan dana di situs Indiegogo untuk mempromosikan apa yang diklaimnya sebagai “perangkat augmentasi yang mampu membantu manusia mencapai apa yang tidak mungkin”. Usaha ini tidak ketahuan hasilnya.

Per 12 Juni 2020 situs web Surgisphere telah dihapus, termasuk laman yang sebelumnya memuat respon atas tuduhan-tuduhan skandal Lancet-gate juga tidak dapat lagi diakses.

Persoalan analisis dan integritas data

Persoalan analisis dan integritas data digambarkan dalam surat terbuka oleh 120 ilmuwan dari 24 negara yang ditujukan pada para penulis artikel dan pemimpin redaksi The Lancet. Di bawah ini poin-poin pentingnya.

  1. Tidak memadainya analisis penyesuaian faktor-faktor perancu seperti tingkat keparahan penyakit dan perbedaan dosis obat. Faktor-faktor perancu memiliki pengaruh pada hasil pengobatan, sehingga perlu dilakukan analisis penyesuaian agar dapat dibedakan pengaruhnya dengan faktor obat yang diteliti (hidroksiklorokuin).

  2. Para penulis tidak mematuhi praktik standar penggunaan data yang diakui komunitas yang berkompeten. Artikel tidak memuat informasi ketersediaan data mentah untuk akses publik, padahal The Lancet adalah salah satu penandatangan Wellcome Statement mengenai komitmen keterbukaan akses data penelitian COVID19.

  3. Laporan penelitian tidak menyebutkan persetujuan dari Komite Etika Penelitian, tidak menyebutkan negara/rumah sakit dari mana data berasal dan tidak memberi pengakuan atas kontribusi mereka. Penulis menolak ketika dimintai informasi tentang hal ini.

  4. Data yang diambil dari Australia tidak kompatibel dengan laporan pemerintah di negeri Kanguru. Artikel The Lancet melaporkan 73 kematian di Australia per 21 April, padahal saat itu hanya diumumkan 67 kematian. Rumah-rumah sakit utama yang menangani COVID19 di Australia membantah keterkaitan dengan Surgisphere. Temuan ini juga dikonfirmasi oleh laporan The Guardian.

  5. Artikel ini melaporkan sebanyak 4.402 pasien dari Afrika. Dengan mempertimbangkan fasilitas kesehatan di benua ini, ilmuwan-ilmuwan dari Afrika membantah rumah sakit mereka memiliki sistem rekam medis elektronik yang mendetil untuk pasien sebanyak ini.

  6. Salah satu tabel data yang membandingkan berbagai variabel dasar pasien-pasien antarbenua menunjukkan variasi yang terlalu kecil.

  7. Rerata dosis harian hidroksiklorokuin lebih tinggi 100 mg daripada rekomendasi lembaga otoritas farmasi Amerika Serikat (FDA), sementara 66% data berasal dari negara ini.

  8. Rasio perbandingan penggunaan klorokuin vs hidroksiklorokuin yang mustahil untuk beberapa lokasi. Misalnya, untuk Australia disebutkan 49 pasien menerima klorokuin dan 50 hidroksiklorokuin. Klorokuin, yang memiliki efek samping jauh lebih buruk dari hidroksiklorokuin, tidak digunakan secara rutin di Australia dan penggunaannya memerlukan prosedur yang rumit.

  9. Tingkat ketepatan analisis statistik yang terlalu tinggi untuk ukuran jumlah kasus kematian di negara tertentu.

Apa pelajaran yang dapat ditarik?

Pertama, sebelum dipublikasikan, naskah ilmiah wajib melalui proses peer-review (telaah sejawat), oleh para ilmuwan lain dalam bidang yang sama. Setelah lolos proses ini dan disetujui oleh pemimpin redaksi baru naskah tersebut dapat dipublikasikan. Proses ini pada umumnya tidak melibatkan telaah detail atas data mentah, terutama jika melibatkan data yang ukurannya besar.

Lolosnya artikel The Lancet dari telaah sejawat menunjukkan bahwa proses ini tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan.

Kedua, temuan dan interpretasi hasil penelitian diperoleh dari analisis atas kumpulan data. Validitas analisis sangat ditentukan oleh validitas data. Jika data yang diperoleh tepercaya, seharusnya analisisnya juga terpercaya, demikian sebaliknya. Dalam kasus ini, karena sumber datanya diragukan validitasnya, maka analisis dan interpretasinya juga diragukan.

Ketiga, publikasi ilmiah atas suatu temuan penelitian tidak serta merta menjadikannya bagian dari ilmu pengetahuan. Suatu teori atau temuan riset seorang ilmuwan dipublikasikan dengan maksud agar dapat diuji validitasnya oleh komunitas ilmuwan lain. Walau artikel The Lancet tersebut lolos dipublikasikan dengan standar yang sangat tinggi, komunitas ilmuwan bebas mengkritik nilai ilmiah temuan yang dipublikasikan tersebut.

Jadi, suatu temuan penelitian baru dapat diterima sebagai bagian ilmu pengetahuan setelah ia lolos dari proses kritik yang panjang dan keras dari komunitas ilmuwan lain. Proses ini telah berjalan ratusan atau bahkan ribuan tahun dalam dunia ilmu pengetahuan. Memang begini kebenaran ditentukan dan dinilai dalam proses ilmiah.

Keempat, ilmuwan bukan orang yang bebas dari kesalahan, baik yang sifatnya ilmiah maupun non-ilmiah. Ada ilmuwan yang salah hitung. Ada ilmuwan yang salah menggunakan rumus atau konsep teori. Ada juga ilmuwan memalsukan hasil penelitiannya.

Dunia ilmu pengetahuan membentuk proses-proses formal dan informal untuk meminimalkan kesalahan-kesalahan ini. Secara formal, lembaga-lembaga penelitian membentuk komite ilmiah untuk menelaah bobot ilmiah suatu penelitian dan manfaatnya bagi umat manusia. Juga ada komite etika penelitian yang menelaah kepatuhan peneliti terhadap aturan-aturan etika penelitian yang ketat seperti perlindungan atas hak-hak peserta penelitian.

Secara informal, para peneliti umumnya menghargai budaya keterbukaan dan saling mengkritik yang dianggap bagian dari proses pematangan suatu temuan ilmiah, di antaranya dicapai melalui publikasi ilmiah dan interaksi di ajang konferensi ilmiah.

Kelima, pada akhirnya, ilmu pengetahuan diterima sebagai sebuah kesepakatan sejauh kemampuan berfikir kolektif dan interaksi manusia. Berfikir dan berinteraksi secara intelektual adalah kemampuan unik yang hanya ada pada manusia.

Berfikir dan berinteraksi secara intelektual adalah bagian esensial dari pemecahan masalah umat manusia, seperti pandemi yang sekarang melanda kita, dengan tetap waspada akan kemungkinan menarik kesimpulan ilmiah yang salah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now