Menu Close
(Tom Kirschey/iNaturalist)

Gelombang kepunahan massal keenam: bagaimana pariwisata Indonesia berpotensi meredamnya

Pakar biologi konservasi dari Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, sempat menyitir istilah kepunahan massal yang keenam sebagai kemungkinan kerusakan bumi yang dapat terjadi lantaran ulah manusia.

Istilah kepunahan massal keenam merupakan gambaran kondisi bumi yang mengalami kehilangan biodiversitas secara massal dan cepat. Kata “cepat” dalam konteks ini mengacu pada rentang waktu kepunahan dalam lima gelombang kepunahan massal yang pernah terjadi di bumi, yakni kurang dari 2,8 juta tahun.

Gelombang kepunahan keenam kerap dibicarakan karena angka kehilangan spesies saat ini begitu cepat, sekitar 10 ribu kali lebih cepat dibandingkan lima kepunahan sebelumnya. Sebab-sebab seperti perubahan iklim, perburuan, pemangkasan habitat spesies, hingga polusi dianggap menjadi biang keladinya.

Prediksi ini, kata Jatna, semestinya dijadikan sebagai catatan pengingat untuk berubah, khususnya di Indonesia yang menjadi tempat bagi 15% dari seluruh keanekaragaman hayati yang ada di seluruh dunia.

Langkah cepat untuk merawat biodiversitas harus dilakukan pemerintah, tanpa menihilkan tujuan negara untuk mencapai kemakmuran. Pemerintah dapat memikirkan opsi-opsi pengembangan perekonomian yang harmonis dengan alam, misalnya dengan pariwisata yang mengambil manfaat dari kelestarian biodiversitas.

“Keanekaragaman hayati seharusnya jangan dilihat sebagai penghalang tapi sebagai opportunitas,” kata Jatna dalam Widjojo Nitisastro Memorial Lecture yang diadakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta pada Kamis, Oktober 2022.

Pariwisata yang mengubah cara pandang

Wisata konservasi gajah di salah satu taman nasional. (Antara)

Jatna mengatakan, pariwisata berbasis biodiversitas amatlah krusial untuk mengubah stereotipe berbagai kalangan di Indonesia seputar keanekaragaman hayati maupun satwa liar.

Selama ini, biodiversitas dianggap menjadi beban bagi aktivitas perekonomian. Misalnya, ketentuan yang mewajibkan pengusaha menjaga kawasan bernilai konservasi tinggi yang dijadikan beban perusahaan.

Dalam kesempatan yang berbeda, Jatna juga mengatakan keanekaragaman hayati pun terpisahkan dalam rencana pembangunan yang mengutamakan pada keuntungan sesaat. Akibatnya, biodiversitas menjadi aspek pertama yang terdampak dari pembangunan.

Buktinya pun terang. Laporan dari organisasi lingkungan Worldwide Fund for Nature (WWF) menaksir bahwa bumi telah kehilangan 60% individu dari satwa bertulang belakang sejak cepatnya pembangunan selama 1970-2012.

Istilah “satwa liar” turut mengalami penyempitan makna karena keterbatasan pengetahuan seputar spesies tertentu dan anggapan bahaya terhadap manusia. Contohnya stigma negatif terhadap ular yang dianggap berbisa dan harus dibunuh. Padahal, kata Jatna, hanya 10 persen spesies ular yang berbisa – mereka pun kemungkinan besar akan menjauhi manusia.

“Persepsi satwa liar turun temurun karena culture ini,” tutur Jatna.


Read more: Bagaimana ilmu sosial dapat membantu pelestarian gajah di Way Kambas?


Melalui pariwisata, kata Jatna, masyarakat dapat dikenalkan ke berbagai spesies flora dan fauna, serta pentingnya manusia untuk hidup berdampingan dengan mereka. Misalnya, kehilangan harimau akan mengakibatkan tingginya serangan hama babi, sehingga mengganggu aktivitas pertanian.

Pariwisata juga dapat mempromosikan Indonesia sebagai negara megabiodiversitas. Ada sekitar 300 ribu satwa liar di Indonesia. Sebagian di antaranya, misalnya tarsius dari Sulawesi ataupun komodo di Flores, merupakan satwa endemik wilayah setempat.

Perubahan cara pandang ini melalui pariwisata juga bisa berdampak ke warga sekitar. Aktivitas pariwisata yang membuka lapangan kerja dapat mengurangi konflik warga dengan satwa. Pada akhirnya, warga turut andil dalam pelestarian biodiversitas.

Contohnya ada, tinggal diperluas

Wisatawan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. (Anton Diaz/Flickr)

Indonesia sudah memiliki contoh pariwisata berbasis satwa liar. Misalnya, pariwisata melihat aktivitas orangutan di habitat aslinya di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah; Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat; Taman Nasional Leuser di Sumatra bagian utara. Ada juga destinasi wisata yang dikelola masyarakat di Tangkahan, Sumatra Utara.

Guna memastikan pengelolaan tujuan wisata yang mendukung pelestarian biodiversitas, pengelola dapat mematok tarif yang sepadan dan berbasiskan kajian ekosistem. Tarif bisa lebih tinggi jika kawasan tersebut menjadi habitat spesies endemik. Kajian ini pernah dilakukan Jatna saat mengevaluasi daya dukung dan daya tampung wisata di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.

Indonesia dapat meniru langkah Rwanda yang berani mematok tarif mahal untuk melihat gorila, sekitar US$ 120 (Rp 1,85 juta). Langkah serupa juga dilakukan Malaysia untuk destinasi wisata orang utan yang melebihi US$ 100 (Rp 1,5 juta).

Kendati begitu, pendekatan ini tak bisa dilakukan oleh pengelola destinasi wisata semata. Kerja sama pakar lintas disiplin, misalnya pakar biologi dan pakar ekonomi, penting untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan pariwisata berbasis biodiversitas.


Read more: Nasib Indonesia: titik panas ancaman populasi satwa, tapi kekurangan data untuk mengukurnya


Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro, berpendapat senada dengan Jatna. Menurut dia, warga dunia membutuhkan perubahan pendekatan terhadap alam, dari sebelumnya mengeruk dan menghisap (ekstraktif) menjadi pengelolaan yang selaras dan memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan warga menjadi penting, kata Satrio, karena kehidupan sekitar 48 juta masyarakat Indonesia bergantung secara langsung dari alam.

“Prinsip memanusiakan manusia menempatkan masyarakat sebagai subjek dan mengupayakan pelibatannya dalam seluruh siklus pengelolaan lingkungan dan biodiversitas. Dengan ini empati kita akan kuat, memanusiakan mereka dan menganggap sebagai solusi membangun menjaga memanfaatkan potensi alam dengan penuh tanggung jawab,” tutur Satrio.


AIPI adalah Mitra Tuan Rumah The Conversation Indonesia

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now