Menu Close
Komodo tampak dari depan dengan lidah menjulur.
Komodo dipertontonkan secara ilegal di kebun binatang. Anna Kucherova/Shutterstock

Gugatan hukum atas kebun binatang di Sumatra Utara angin segar melawan perdagangan satwa liar secara global

Baru-baru ini, lembaga swadaya masyakarat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan sebuah gugatan hukum yang memiliki dampak global.

Organisasi ini menggugat kebun binatang mini milik PT Nuansa Alam Nusantara di Padang Lawas Utara, Sumatra Utara, yang memamerkan spesies langka secara ilegal , termasuk komodo dan orang utan Sumatra.

Perdagangan ilegal satwa liar merupakan industri bernilai miliaran dolar yang mengancam keberadaan spesies secara global, mulai dari gajah hingga anggrek.

Pada kasus ini, tumbuhan, satwa dan jamur dari alam dijual secara ilegal ke seluruh penjuru dunia, baik sebagai atraksi di kebun binatang, hewan peliharaan, untuk makanan, suvenir atau sebagai obat.

Para pelaku kejahatan perdagangan ilegal satwa liar biasanya akan diadili secara pidana, , di mana pengadilan menjatuhkan denda atau hukuman penjara untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku.

Namun, dalam kasus ini, para aktivis lingkungan justru mengajukan gugatan perdata, yang menuntut pengelola kebun binatang memulihkan kerugian akibat mempertontonkan satwa-satwa langka tersebut secara ilegal.

Dalam siaran pers gugatan hukum mereka, WALHI Sumatra Utara (WALHI Sumut) dan LBH Medan (Lembaga Bantuan Hukum di kota Medan) menggugat biaya perawatan 1 orang utan Sumatra yang disita dari kebun binatang dan biaya monitoring habitat untuk memastikan pemulihan populasi spesies orang utan di alam liar.

Tuntutan mereka mencapai nilai hampir Rp 1 miliar rupiah.

Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sanksi pidana untuk kejahatan perdagangan satwa liar di Indonesia yang hanya sekitar Rp 50 juta.

Orang utan menjulurkan jari keluar dari kandang.
Salah satu orang utan yang disita dari kebun binatang itu pada 2019. Walhi Sumatra Utara, Author provided

Para aktivis lingkungan juga meminta pengelola kebun binatang untuk meminta maaf secara terbuka dan menggelar pameran pendidikan yang menjelaskan tentang perdagangan ilegal satwa liar dan kerugian bagi alam dan manusia.

Sayangnya, strategi hukum semacam ini yang bertujuan untuk memulihkan kerugian lingkungan, alih-alih menghukum pelaku, tidak terlalu mendapatkan perhatian dari para konservasionis di banyak negara.

Gugatan terhadap kebun binatang di Indonesia dapat menjadi pendekatan hukum baru untuk melindungi satwa liar yang terancam punah.

Belajar dari sejarah

Gugatan terhadap kebun binatang ini sama pentingnya dengan kasus pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya, misalnya tumpahan minyak Exxon Valdez di Alaska pada 1989 dan Deepwater Horizon di Teluk Meksiko, di mana pemerintah dan warga negara menuntut pertanggungjawaban (dalam hal ini, perusahaan minyak) untuk membersihkan tumpahan minyak, memberikan kompensasi kepada korban, dan memulihkan habitat yang terdampak.

Hal ini juga mirip dengan gugatan hukum terkait perubahan iklim, yang menuntut perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia membayar pembuatan tembok laut, dan tindakan mitigasi perubahan iklim lainnya.

Pendekatan hukum yang serupa belum menjadi bagian utama dalam strategi penegakan hukum bidang konservasi.

Tetapi, bersama dengan Conservation Litigation, sebuah proyek yang dipimpin oleh para konservasionis dan pengacara, kami bekerja untuk mengajukan gugatan hukum sejenis ini secara global.

Banyak negara sudah memiliki peraturan yang mengakomodasi gugatan hukum ini, termasuk di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi, seperti Meksiko, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia.

Konvensi PBB di Rio De Janeiro tahun 1992 bahkan meminta negara-negara untuk “menyusun hukum nasional mengenai kompensasi bagi korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya”.

Meski sudah ada undang-undang yang mewajibkan pelanggar untuk memulihkan kerusakan lingkungan, kasus gugatan terhadap kebun binatang di Indonesia menjadi unik karena pertama kali diterapkan untuk kejahatan terhadap satwa liar.

Pongo the Stolen Orangutan: How Law Can Heal (Indonesian Version)

Kasus ini dapat memengaruhi pandangan dan kebijakan publik terkait keanekaragaman hayati.

Hal ini merupakan manfaat penting dari gugatan hukum, seperti yang terjadi pada gugatan hukum terhadap perusahaan tembakau dan produsen opioid.

Selama bertahun-tahun, gugatan ini telah menghasilkan kompensasi untuk biaya perawatan kesehatan, pengakuan bersalah kepada publik dari para eksekutif perusahaan dan iklan korektif untuk mengklarifikasi kesalahan informasi sebelumnya.

Kasus-kasus ini tidak hanya menguntungkan korban individu, tetapi juga membantu mengubah sikap dan kebijakan kesehatan masyarakat dan praktik perusahaan.

Gugatan terhadap kebun binatang ini bisa mencapai hasil serupa dengan meminta korporasi bertanggungjawab atas kerugian lingkungan yang terjadi akibat keterlibatannya dalam perdagangan ilegal satwa liar.

Dengan meminta permintaan maaf kepada publik dan dukungan untuk program pendidikan, gugatan tidak hanya memulihkan kerugian lingkungan terhadap individu satwa dan spesiesnya, tetapi juga membentuk persepsi dan kebijakan publik.

Hal penting lainnya adalah kasus ini diajukan oleh LSM lingkungan, bukan pemerintah.

Pada penegakan hukum pidana, dakwaan dan tuntutan hanya bisa diajukan pemerintah, LSM lingkungan tidak bisa mengajukan tuntutan pidana tersebut kepada para pelaku kejahatan.

Sementara itu, gugatan perdata memberikan ruang lebih luas bagi masyarakat dan organisasi lingkungan untuk berpartisipasi dalam menuntut pemulihan lingkungan.

Banyak negara membolehkan warga negara dan kelompok masyarakat sipil mengajukan gugatan perdata atas kerusakan lingkungan, hal ini memperluas potensi tindakan konservasi publik.

Sayangnya, jenis gugatan seperti ini sering terhambat oleh kesulitan membayar pengacara, korupsi dalam sistem hukum dan intimidasi terhadap aktivis.

Dengan lebih dari satu juta spesies menghadapi kepunahan, penting untuk mengenali dan mendukung kasus langka seperti ini yang menguji cara baru melindungi spesies terancam dan rentan di planet ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now