Menu Close
Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bali. Nyoman Hendra Wibowo/Antara Foto

Hati-hati dengan ableisme: stigma diskriminatif yang berbahaya bagi penyandang disabilitas

Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada 10 Desember, tahun ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung slogan “dignity, freedom, and justice for all” (martabat, kebebasan, dan keadilan untuk semua).

Namun, slogan tersebut sepertinya masih belum bisa benar-benar dirasakan oleh kelompok marginal di Indonesia, terkhusus oleh penyandang disabilitas. Padahal, Indonesia turut mengadopsi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas PBB (UNCRPD) yang salah satu semangatnya adalah mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Sampai hari ini, penyandang disabilitas masih kerap menjadi korban ableisme (stereotip, prasangka, dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas) yang tak jarang berujung pada sikap diskriminasi. Yang lebih memilukan lagi, ternyata negara, pemimpin masyarakat, dan tokoh masyarakat juga seringkali berkontribusi memperparah praktik ini.

Ableisme ini sangat berbahaya karena kerap dilakukan tanpa sadar oleh masyarakat umum, menjadi pola pikir yang dianggap normal, bahkan tertanam di sistem negara. Konsekuensinya, penyandang disabilitas semakin merasa dibedakan dan dikucilkan.

Apa itu ableisme?

Ableisme adalah diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang dianggap inferior dan tak berdaya – bahkan terkadang disertai semangat untuk “memperbaiki” mereka agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Sayangnya, ableisme ini belum dipahami sebagai sebuah wujud stigma yang berbahaya.

Bentuk konkret praktik ableisme sendiri dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Di media, misalnya, pemberitaan tentang penyandang disabilitas lebih sering memunculkan mereka sebagai orang yang “menderita” atau “perlu dikasihani”. Kisah tentang mereka pun dibuat sedih untuk menguras air mata audiens, seperti kisah penyandang disabilitas yang dikucilkan oleh teman sebaya.

Cara penyandang disabilitas beraktivitas seakan tidak setara dan dianggap berbeda, atau dibedakan, dengan orang-orang yang bukan penyandang disabilitas.

Pandangan ableisme seperti ini justru sangat diskriminatif dan, bahayanya, hampir tidak disadari oleh masyarakat luas. Praktiknya juga telah mengakar dalam sistem kenegaraan.

Sistem pendidikan di Indonesia, misalnya, selama ini memisahkan siswa penyandang disabilitas. Mereka harus menempuh sekolah khusus agar tidak bercampur dengan siswa yang dianggap “normal”. Seakan ada dikotomi bahwa sekolah umum adalah untuk siswa yang dikatakan “normal”, sementara siswa yang memiliki “disabilitas” disediakan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Contoh lain bentuk ableisme adalah akses fasilitas publik yang tidak universal. Contohnya, selama ini kita terbiasa dengan cara kerja lampu lalu lintas yang hanya memberikan warna rambu tanpa akses suara, atau trotoar jalan raya yang dibuat berundak.

Padahal, penyandang disabilitas netra membutuhkan akses suara untuk menyeberang jalan. Trotoar pun harusnya bisa kita buat tidak berundak agar pengguna kursi roda bisa melewatinya. Hal-hal teknis seperti ini bisa dilakukan tanpa membuat penyandang disabilitas merasa diperlakukan berbeda.

Pada skala yang lebih luas, praktik ableisme sudah pasti berdampak pada seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, termasuk akses mereka terkait ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Akar masalah praktik ableisme yang telah menjadi stereotip umum masyarakat ini adalah karena rendahnya literasi pengetahuan tentang disabilitas.

Sulitnya bergeser ke paradigma berbasis HAM

Meluasnya perspektif ableisme tidak lepas dari pergeseran paradigma yang belum sepenuhnya terjadi dalam melihat persoalan disabilitas.

Setidaknya ada tiga paradigma dalam melihat persoalan disabilitas yang memberikan implikasi yang berbeda-beda pada penyandang disabilitas.

Pertama adalah paradigma medis, yakni menganggap penyandang disabilitas sebagai orang yang sedang sakit sehingga harus disembuhkan dengan pengobatan. Implikasi paradigma ini adalah kesetaraan formal yang diwujudkan melalui penyediaan akses layanan kesehatan dan pengobatan bagi penyandang disabilitas.

Kedua adalah paradigma sosial, yakni melihat isu disabilitas sebagai sebuah “permasalahan sosial”. Paradigma ini memposisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang butuh belas kasihan dan sebagai objek yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu oleh lingkungan sekitar dan juga negara.

Terakhir adalah paradigma HAM, yakni melihat bahwa penyandang disabilitas setara dengan warga negara yang lain, hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga negara perlu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan tersebut.

Paradigma HAM ini menekankan pada menghilangkan hambatan fisik dan sosial sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian, pilihan, serta kontrol. Dalam paradigma ini, pengambilan dan perubahan kebijakan mensyaratkan keterlibatan penuh penyandang disabilitas. Hal ini dikenal dengan slogan nothing about us withous us (tidak ada satupun mengenai disabilitas tanpa keterlibatan disabilitas).

Di Indonesia, paradigma sosial atau belas kasih masih mendominasi. Pergeseran menuju paradigma HAM masih sangat kurang dan lambat. Ini karena paradigma belas kasih juga berasal dari pemerintah sendiri.

Berbagai program yang semestinya dapat meningkatkan harkat dan martabat penyandang disabilitas, justru semakin melanggengkan stigma di masyarakat. Salah satu contohnya adalah program “Indonesia mendengar, Indonesia melihat, dan Indonesia melangkah” yang digagas oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Ini adalah program pemberian bantuan alat bantu, seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan kacamata khusus.

Walaupun mendapat dukungan dari berbagai pihak, program ini jelas bernuansa belas kasih sehingga justru berpotensi melanggengkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Penyediaan alat bantu memang sangat penting bagi penyandang disabilitas, tapi alat bantu tersebut juga harus disesuaikan dengan ragam dan derajat disabilitasnya, tidak asal pukul rata.

Selain itu, pemerintah tak bisa semata-mata menyelesaikan persoalan disabilitas hanya dengan pemberian alat bantu. Pada dasarnya, hambatan yang dirasakan penyandang disabilitas tidak terkait mobilitas fisik saja, namun mencakup segala aspek kehidupan.

Akan jauh lebih baik jika pemerintah mulai merujuk kembali pada UNCRPD dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk memberikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Ini termasuk mengatasi semua hambatan akses pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Tanggung jawab semua pihak

Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah terlebih dulu bergeser ke paradigma HAM.

Pergeseran tersebut akan melahirkan perspektif bahwa semua orang adalah subjek hukum aktif dan, dengan demikian, penyandang disabilitas perlu berpartisipasi di semua lini kehidupan. Mereka harusnya punya posisi dan kesempatan yang setara dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Perubahan paradigma ini juga akan mendorong tata kelola kebijakan disabilitas di Indonesia, karena seluruh kebijakannya menjadi harus berperspektif pada perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Selain perlunya aksi nyata dari negara, keterlibatan komunitas dan masyarakat sipil juga berperan penting dalam menggeser paradigma serta menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Indonesia pun bisa belajar dari sistem pendidikan di negara maju yang sudah memberikan akses seluas-luasnya bagi seluruh warga negara, termasuk bagi penyandang disabilitas. Kisah penyandang disabilitas tuli-netra pertama yang berhasil lulus dari Fakultas Hukum Harvard University, Amerika Serikat (AS), pada tahun 2013 menjadi inspirasi bagi banyak warga tentang kesamaan akses pendidikan ini.

Praktik ableisme ini tanpa disadari sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, mungkin tanpa sadar kita menjadi bagian dari hal tersebut.

Saat ini, Indonesia memang sudah mempunyai Rencana Induk Pembangunan Disabilitas (RIPD) yang menjadi rujukan dalam Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) maupun Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RADPD).

Sayangnya, belum semua daerah memiliki RADPD yang komprehensif dan konsisten yang dapat menjadi upaya untuk mengurangi stigma terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu, perlu ada monitoring oleh semua pihak, termasuk oleh organisasi penyandang disabilitas, untuk terus mengontrol dan mengawasi kebijakan terkait disabilitas, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now